Sunday, March 15, 2015

Telepon Selular Ayah


Ayah ulang tahun. Jangan tanya berapa usia atau helai uban di kepalanya. Aku tak mau repot-repot menghitung. Yang kutahu ayah berhak bahagia. Kusuruh asistenku membeli telepon selular untuk ayah di kampung. Belilah yang mahal agar ayah senang! Esoknya asistenku melapor, kemarin ayahku menitikkan air mata bahagia.

---

Ayah ulang tahun. Jangan tanya berapa usia atau helai uban di kepalanya. Aku tak mau repot-repot menghitung. Yang kutahu ayah berhak bahagia. Kusuruh asistenku membeli kue untuk ayah di kampung. Belilah yang mahal agar ayah senang! Esoknya asistenku melapor, kemarin ayahku menitikkan air mata lara.

Kutelepon ayah. Kutanya mengapa.

Ayah menangis sambil tertawa. Danu! Ayah pikir telepon ini rusak. Sudah setahun tak berdering, isaknya.

Athazagoraphobia



Jemari lelaki itu masih saja gemetar, seperti sabtu lalu dan entah berapa sabtu yang sudah terlewati, saat menggoreskan pesanan sang perempuan.
Aku tahu persis, lelaki itu jatuh cinta yang sangat. Diam-diam. Dengan langkah kikuk, ia akan kembali ke dapur untuk menyerahkan pesanan. Lalu melesat ke dalam kamar mandi, melepaskan hasrat yang menggelegak. Karena sang perempuan. Sendirian. Diam-diam.
Sendirian? Ah, dia tidak sadar. Ada aku mengintip setiap gerik. Dan aku tidak tahan lagi.

Sabtu ini. Kembali sang perempuan memanggilnya untuk memesan. Aku sudah tidak tahan. Kali ini aku tidak mau menuruti keinginan lelaki yang kusayang. Alih-alih menera pada kertas order, aku memilih menancap pada leher sang perempuan.
Lelakiku, sekarang milikku seorang.

Lawan Sepadan



Ini gawat. Pedangku sungguh tak lagi tajam. Bukan karena ia jarang digunakan. Aku mengira-ngira penyebabnya. Mungkin hasratku untuk berlaga sudah sirna. Atau memang tak lagi ada lawan yang sepadan baginya.
Puncaknya tadi pagi. Pedangmu tak lagi digdaya, istriku berkata. Melengos, kembali ia menekuni berita selebriti di televisi.
Lunglai, aku kembali menyarungkan pedangku dan beranjak ke luar untuk menghisap cerutu. Kau sungguh-sungguh perlu mengasahnya, teriakan istriku jelas terdengar. Dia benar. Dan bukan tak pernah aku melakukannya.
Dari balik kursi bar aku mengedar pandang. Seharian aku berpikir dan akhirnya menemukan jawaban. Aku perlu mengasah pedangku dengan cara berbeda.
Ya, bukan dengan wanita. Mungkin dengan pria berdada bidang yang duduk di pojok ruangan.

Warisan yang Hilang


“Keris bapak hilang!” Ragil berbisik. Lemas, ia membantuku membawakan sisa dagangan batik hari ini. Dua yang laku. Sedikit rupiah dapat kusisih sebelum kusetorkan pada Bu Ratmi. Aku menghela nafas yang semakin berat.
“Itu warisah bapakku, Las! Harganya bahkan bisa membeli sawah!” Suamiku mengejar masuk ke kamar. Dadanya naik turun. Amarahnya mencapai ubun-ubun.
Lalu mengapa tak kau jual untuk modal bekerja alih-alih memujanya hampir setiap waktu? Aku membendung setiap kata. Diam, pilihan terbaik.
“Cari! Planga-plongo saja bisamu!” Kesal, suamiku menghempaskan tubuhnya ke atas dipan yang sudah tak ia sentuh selama berbulan. Degub dadaku begitu kencang.
Terdengar jeritan. Akhirnya suamiku menemukan apa yang hilang. Tegak menembus bantal dan tempurung kepalanya, keris yang kusembunyikan.

Tongkat, Air, dan Tanah Surga


“Orang bilang tanah kita tanah surga. Tongkat, kayu, dan batu bisa jadi tanaman,” ucap Ki Somad pada bocah perempuan di suatu petang.
“Tanah kita ini?” Mata bocah berkilat, tak percaya. Ki Somad terkekeh. Ia mengetuk-ngetukkan tongkatnya ke tanah retak. Musim sudah memasuki penghujan. Namun kemarau yang berkelanjutan membuat lahan di dusun menjadi tandus.
“Seharusnya begitu. Tapi tak ada air…”
“…kalau ada air, sedikit saja, apa bisa?”
Ki Somad berpikir. Kilat berpindah ke matanya. Ia punya tongkat. Ia bisa menghasilkan cairan. Sementara sang bocah memiliki tanah surga.
“Kita bisa menumbuhkan sesuatu, Nduk. Tapi kita harus bekerja sama.” Bersemangat, Ki Somad menuntun sang bocah masuk ke dalam kamar.
Di luar langit sudah gelap.