Monday, November 19, 2012

Sang Peracau



leadershipfreak.wordpress.com

Dia mulai meracau lagi. Kata demi kata. Laporan tahunan, pendapatan perusahaan yang terus menurun, bla bla bla. Ada beberapa orang yang bisa kau dengarkan ocehannya terus-menerus. Seakan suara mereka dengan mudahnya meresap ke dalam seluruh pori-pori tubuhmu, meskipun kamu sebenarnya tidak mau. Aku kenal dengan salah satunya. Dia sedang berdiri di depanku.
Sekarang ia memaksaku mendengarkan ocehannya mengenai  bagian  pemasaran. “Apa yang dikerjakan mereka setahun ini? Satupun tak ada  proyek yang lolos. Apa aku harus turun langsung?” bentaknya sambil mendelik.
Ah, dia kembali mengisi ruangan ini dengan gas beracunnya, menciptakan polusi bicara. Dan aku tidak bisa membuka jendela untuk membersihkan udara.  

Jadi, aku pecahkan saja kacanya dan melemparkan tubuhnya keluar jendela.

--
#111Kata
File under : Polusi

Saturday, November 17, 2012

Curhat Colongan



fc08.deviantart.net



Berhubungan dengan sampah tidak selalu tak menyenangkan. Setidaknya menurutku. Mungkin karena pekerjaanku menuntut begitu. Hampir setiap hari aku harus memunguti sampah yang dicurahkan oleh orang-orang. Setidaknya bayaran yang kuterima memuaskan.
“Vi, aku butuh ketemu. Secepatnya!” Isak Yala melalui telepon.
Untuk Yala aku harus mau. Aku harus mengingat kebaikan orangtuanya yang sudah menyekolahkanku.
“Datanglah ke tempat praktikku sekarang.”
--
 “Papa, Vi. Papa selingkuh.” 
“Bagaimana….”
“Bagaimana aku bisa tahu?” Yala melemparkan telepon selularnya. Di layar terpampang foto papanya yang sedang berciuman dengan wanita.
Aku gemetar.
“Anjing!” Tamparan Yala di pipiku cukup menyakitkan. 
Oh tak mengapa. Setidaknya hari ini aku mendapatkan sebuah telepon selular baru, seekor anjing, dan sebuah bonus tak terhingga.
Papa Yala.
---
#111Kata
File under: Sampah

RESTU



source: flickr.com


“Aku sudah menemukan bapak kandungku,” ucap Marni gembira. Aku yang mendengar berita tersebut girang tak terkira. Akhirnya akan ada yang menjadi wali bagi Marni.
“Jadi kapan Mas bisa menemui bapakmu?” tanyaku menggenggam tangannya.
“Secepatnya, Mas. Segera setelah kita dapat ijin, kita menikah.”
Jantungku berdetak cepat. Ibunya Marni sudah setuju. Semoga dari bapaknya aku bisa mengantongi restu. 
---
“Kamu memang hebat, Le.” Tepukan warga membuat dadaku membuncah. Peluh di sekujur tubuhku tak ku hiraukan.
Di pinggir sungai, teronggok sosok reptil putih yang meresahkan desa selama ini. Setelah bertarung sampai lelah, akulah pahlawannya.
Dari kerumunan warga muncul Marni dengan wajah pucat.
“BAPAK!” Jeritan Marni melemaskan lututku.
Di malam satu suro, aku kehilangan restu.

---
111Kata
File under: Sungai