Suara tersengal setengah berbisik
menyelinap melalui celah kecil di daun pintu.
"Ara."
Tubuhku gemetar di malam yang memang dingin.
Setelah bertahun, akhirnya dia datang memanggil namaku.
"Ara."
Tubuhku gemetar di malam yang memang dingin.
Setelah bertahun, akhirnya dia datang memanggil namaku.
"Aku tahu kau di sana," katanya. "Perawat memberitahu aku."
Degub jantungku terdengar seperti dentuman meriam. Bahkan di tempat sesunyi ini.
"Atau tidak," gumamnya. Terdengar ia membalikkan tubuhnya.
"Aku di sini!" seruku tertahan, menekan kedua tanganku di pintu.
"Aku di sini, aku di
sini!" Ujung-ujung jariku menggaruk perlahan.
Suara langkah kakinya yang perlahan menjauh, menjadi lebih dekat sekarang.
"Ara, pintu itu ini terkunci. Dan aku memegang kuncinya. Aku akan masuk jika kau membiarkan aku masuk "
"JANGAN!" kataku. "Aku bilang, jangan."
"Biarkan aku masuk." Suaranya menuntut.
Aku menyandarkan tubuhku dengan lemas pada daun pintu.
Suara langkah kakinya yang perlahan menjauh, menjadi lebih dekat sekarang.
"Ara, pintu itu ini terkunci. Dan aku memegang kuncinya. Aku akan masuk jika kau membiarkan aku masuk "
"JANGAN!" kataku. "Aku bilang, jangan."
"Biarkan aku masuk." Suaranya menuntut.
Aku menyandarkan tubuhku dengan lemas pada daun pintu.
"Aku tidak bisa."
"Aku tidak meminta. Aku memaksa.” Lanjutnya.
"Aku tidak meminta. Aku memaksa.” Lanjutnya.
"Sekarang, Ara."
Lututku meluncur seakan mau copot, dan bahuku merosot ke pintu.
Lututku meluncur seakan mau copot, dan bahuku merosot ke pintu.
"Kau tidak akan mati hanya karena menemuiku, Ara. Sekarang aku akan membuka pintu ini."
"Tapi jika kamu masuk ,"
kataku, "Aku pasti akan mati."
Aku mulai terisak.
Namun pria itu seakan mengalirkan rasa nyaman ke seluruh tubuhku dengan suaranya.
"Psst, tenanglah. Perawat yang memberiku kunci ini." Suaranya bergetar sedikit. "Semua aman."
Aku terdiam. Seakan menganggap itu adalah bentuk persetujuanku, perlahan pria itu memutar anak kunci.
Namun pria itu seakan mengalirkan rasa nyaman ke seluruh tubuhku dengan suaranya.
"Psst, tenanglah. Perawat yang memberiku kunci ini." Suaranya bergetar sedikit. "Semua aman."
Aku terdiam. Seakan menganggap itu adalah bentuk persetujuanku, perlahan pria itu memutar anak kunci.
Dua detik kemudian aku melihatnya di sana. Tampak gagah. Bayangan yang sama seperti yang tersisa di benakku setelah bertahun berlalu.
Mataku mengerjap terbuka.
Ia memperhatikan sekujur tubuhku. Tanpa kecuali.
Mataku mengerjap terbuka.
Ia memperhatikan sekujur tubuhku. Tanpa kecuali.
"Kamu berbeda, Ara. Kamu terlihat begitu sakit," suaranya lebih kuat
sekarang.
"Apa lagi yang membuatmu seperti ini?" katanya sambil menghampiriku.
Aku gemetar memegang lututku.
"Semuanya. Segala sesuatunya terasa terlalu. Semuanya adalah beban. Semuanya adalah salah," nafasku memburu.
Ia memeluk tubuhku dengan erat. “Lihat dirimu, Ara. Seperti bertahun lalu."
"Apa lagi yang membuatmu seperti ini?" katanya sambil menghampiriku.
Aku gemetar memegang lututku.
"Semuanya. Segala sesuatunya terasa terlalu. Semuanya adalah beban. Semuanya adalah salah," nafasku memburu.
Ia memeluk tubuhku dengan erat. “Lihat dirimu, Ara. Seperti bertahun lalu."
Ia memandang mataku dalam. Menembus jantungku.
"Ini semua.... tidak boleh terulang lagi. Sudah cukup. Harus berakhir. Dan sekarang kamu harus ikut aku.” Ada
kesan memaksa dalam suaranya.
“Tapi aku takut, Bara. Aku begitu
takut,” akhirnya aku punya kekuatan untuk menyebut namanya.
“JANGAN BILANG SIAPA-SIAPA! Dan kita
akan tetap aman.” Suaranya begitu meyakinkan.
“Sekarang berdirilah. Jangan jadi orang yang lemah. Pegang tanganku.”
Dengan perasaan campur aduk aku
memegang tangannya. Menyeberangi ruangan menuju ke arah luar. Di sampingnya semerta aku merasa kuat.
*
Setelah beberapa menit melewati jalan setapak berbatu, akhirnya kami mencapai danau.
Ah! Aku berhasil! Aku benar-benar berhasil!
Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Melepaskan genggaman tangan Bara, aku menapaki setiap bagian danau. Aku tertawa bahagia. Aku belum pernah melihat gambaran yang lebih indah daripada pemandangan ini. Warna-warni malam menyambut di depan mataku.
Ah! Aku berhasil! Aku benar-benar berhasil!
Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Melepaskan genggaman tangan Bara, aku menapaki setiap bagian danau. Aku tertawa bahagia. Aku belum pernah melihat gambaran yang lebih indah daripada pemandangan ini. Warna-warni malam menyambut di depan mataku.
Udara begitu dingin. Bulan bulat menjadi cahaya mewakili harapan yang ada di benakku sekarang. Apakah ini akan menjadi keputusan terbaik?
Lelah, aku duduk di sebuah batu besar di tepi danau. Bara mengambil saputangan dari sakunya dan perlahan-lahan menyeka keringat dari dahi dan bibirku. Detak jantungku mulai melambat. Napasku menjadi lebih santai. Bara memelukku erat.
Bernapas dalam, rakus aku menelan udara, menusuk tajam ke paru-paruku yang sesak. Sinar bulan memantulkan bayanganku di permukaan danau. Membawa kembali kenangan gelap sejak bertahun lalu di tempat itu. Saat Mama dan suaminya mendorong tubuhku ke pojok kamar yang dingin.
Lelah, aku duduk di sebuah batu besar di tepi danau. Bara mengambil saputangan dari sakunya dan perlahan-lahan menyeka keringat dari dahi dan bibirku. Detak jantungku mulai melambat. Napasku menjadi lebih santai. Bara memelukku erat.
Bernapas dalam, rakus aku menelan udara, menusuk tajam ke paru-paruku yang sesak. Sinar bulan memantulkan bayanganku di permukaan danau. Membawa kembali kenangan gelap sejak bertahun lalu di tempat itu. Saat Mama dan suaminya mendorong tubuhku ke pojok kamar yang dingin.
Tidak. Sudah cukup aku tersiksa
tanpa ampun. Bau alkohol yang selalu tercium dari mulut Mama. Tangan suami Mama
yang selalu menjamahku. Dan Papa kandung yang lebih menyayangi keluarga barunya
dibandingkan aku.
Aku sendiri. Selalu sendiri.
Dan ketika Bara datang, aku tahu
semua akan berbeda. Dia akan melindungiku. Selalu. Ini janji dia. Ini rahasia kami. Jangan
bilang siapa-siapa. Aku akan terlindungi.
Aku tak mau meluncur kembali ke
dalam lubang gelap tanpa harapan. Aku tidak mau lagi menjadi pesakitan. Aku memandang permukaan danau yang diterangi
sinar bulan. Permukaannya merefleksikan wajah Bara. Ia tersenyum ke
arahku yang juga sedang tersenyum. Kami begitu serupa. kami ditakdirkan bersama.
"Aku tahu apa yang sedang kamu pikirkan, Ara. Kamu mau mengakhirinya? Dengan aku disampingmu, kamu akan lebih bahagia. Kita tidak akan lagi terpisahkan" Suara Bara merasuki setiap sinaps dalam kepalaku. Kembali menjadi candu. Lebih kuat dibandingkan bertahun lalu.
Tak ada yang bisa menghalangi aku kali ini. Tak ada yang bisa memsahkan aku dan Bara.
Kemudian aku menutup mata. Perlahan memasuki dinginnya air danau. Dan membiarkan seluruh semesta meledak di sekelilingku.
Tak ada yang bisa menghalangi aku kali ini. Tak ada yang bisa memsahkan aku dan Bara.
Kemudian aku menutup mata. Perlahan memasuki dinginnya air danau. Dan membiarkan seluruh semesta meledak di sekelilingku.
*
Pagi hari. Seorang perawat terbujur
kaku di kamar bernomor 07. Lalu mereka sibuk mencari tubuhku di setiap sudut Rumah Sakit.
http://freys.deviantart.com/art |
No comments:
Post a Comment