*
Sumpah aku ingin waktu berputar. Lalu
kau bisa katakan itu sedari awal, Pram. Agar rasanya setara dari sekadar
tersenggol kerikil. Tidak semacam ini, serupa kau robek jantungku dengan bedil.
Tanpa
Reply.
----
Mataku
adalah jangkar. Tertancap begitu dalam pada deretan huruf yang tersusun sahut
menyahut di layar telepon pintarku. Setiap aku coba memalingkan tatapan
darinya, setiap itu pula tecongkel air dari kantung mata.
Terpekur
aku memandang nanar deretan kata terakhir itu. Sampai saat ini mereka tidak
berbalas.
Sekali
lagi aku menggeserkan trackpad ke
arah atas. Kembali membaca sejarah percakapan antara aku dan dia.
Aku lakukan itu dengan terpaksa, Ra. Tolong cermati alasanku. Tak ada yang lebih patut diyakini bahwa akan ada jalannya jika memang bersama adalah takdir kita. Namun jika ini adalah akhirnya, kita harus terima.
Mendadak
kepalaku pusing.
Salahkan
siapa bila aku akhirnya tergoda untuk membuka kotak Pandora? Patutkah aku
menyalahkan mereka yang memutuskan berbondong-bondong pulang kampung pada waktu
yang sama? Haruskah aku memaki atasanku yang baru mengeluarkan keputusan
dimulainya libur bersama di minus tiga hari raya? Atau mungkin memarahi diri
yang tidak cepat-cepat memesan tiket pesawat sehingga terjebak di pelabuhan
Merak dalam kendaraan berkapasitas 56 nyawa?
Ah,
Tidak. Semua salah. Jawabannya jelas. Aku harus meludahi diriku sendiri yang
tidak punya keberanian menghancurkan prasasti kisah dia dan aku. Sehingga
akhirnya tergoda mengisi waktu membaca lagi dan lagi percakapan itu.
Aku
melirik ke pergelangan tangan. Pukul 8 lebih 24 menit. Matahari sudah beranjak
naik sedari tadi. Tapi bis ini belum juga beranjak satu senti pun semenjak berjam
yang lalu.
Aku
menoleh ke beberapa wajah yang gelisah. Hingar bingar tangisan anak kecil, umpatan
yang sia-sia terhadap antrian kendaraan di pelabuhan yang enggan bergerak,
lenguhan kekesalan pemuda yang gadgetnya
memutuskan untuk mati suri sejenak. Gemeretak gigi yang mengunyah dan harum
makanan yang tak lagi sembunyi-sembunyi keluar dari bungkusnya. Semua godaan
ini perlahan membuat perutku mual.
Terutama
godaan untuk menjenguk deretan kata yang teruntai dari jariku dan dia. Mereka
masih ada di situ. Seperti sebelumnya. Lagi dan lagi mataku mencengkeram setiap
huruf yang bersandingan.
“Permisi,
mau ikut turun? Sekadar meluruskan kaki. Pegal sekali seluruh badan ini.” Ajakan
pria muda yang duduk di sampingku merampas mataku untuk menoleh ke arahnya
dengan paksa.
Entah
harus berterima kasih atau mengumpat dalam hati atas gangguan yang tiba-tiba, tersenyum
aku menjawab. “Terima
kasih. Saya tunggu di sini saja,” jawaban sesopan mungkin aku rangkai.
“Baiklah.
Saya turun dulu kalau begitu.” Sejurus
kemudian ia membalikkan badan. Tampak ragu, ia bertanya, “Hmmm….Maaf, mungkin
ada yang mau dititip? Makanan atau minuman mungkin?”
Aku
menggeleng. Ia tersenyum, lalu pergi.
Mungkin
si pria berpikir aku tidak kuat, sama sepertinya. Dalam keadaan seperti ini kami
memang bisa dikategorikan sebagai musafir. Atau tidak? Entahlah.
Pelabuhan
Merak benar-benar telah membuatku muak. Namun aku lega. Akhirnya aku sendiri.
Kamu tidak pernah membiarkan aku tahu sebelumnya. Kamu biarkan selama ini aku meraba tanpa tahu apa yang nyata. Jadi akan bagaimana, Pram? Akan bagaimana?
Ya,
jadi akan bagaimana?
Aku
merasa kacau. Aku benci menafsirkan rajah raut wajah yang membayang dari
jendela di sebelahku. Potongan kisah aku dan dia menari-nari di sana. Matahari
yang mulai garang membombardir masuk dalam bentuk cahaya. Menyilaukan mata.
Pram, besok aku ke Bandung. Rindu aku? Aku bisa menyempatkan untuk bertemu. Tempat biasa, apakah memungkinkan?
Terjawab.
Mengapa tidak? Aku tunggu. Tempatku saja.
Aku
mual. Tanganku gemetar mengusap peluh. Pendingin udara semacam kehilangan
kesaktiannya di pelabuhan yang sesak.
Mataku
tertumbuk pada benda terbuat dari kulit di pergelangan tanganku. Lama aku
meraba penunjuk waktu pemberiannya.
Membawaku
kembali ke satu bulan lalu di apartemenku.
”Selain
kamu, tak ada yang lebih cocok mengenakan benda ini. Pun aku. Percayalah.
Selamat ulang tahun, Sayang.” Jarinya yang halus menyentuh pergelanganku.
Malam
itu ia datang membawa kejutan. Penunjuk waktu.
“Waktu
itu sebenar-benarnya cinta sejati. Ia akan selalu mendampingi. Tidak pernah
ingkar karena ia selalu menyertai setiap langkah kamu. Mau kamu melupakan
ataupun menghianati pun ia akan tetap ada.”
“Jadi,
dia memberikan kamu apa? Jangan bilang menghadiamu cinta. Pasti tidak akan
sebesar rasa yang aku punya,” lembut ia menyisir rambutku dengan jarinya.
Apakah
ini saat yang tepat untuk aku merangkai kata yang mungkin akan merobek hatinya?
Aku ragu. Perlahan
aku melepaskan pagutan lengannya dari leherku.
“Dia akan memberiku hadiah terindah, enam
bulan lagi. Lelaki kecil.”
Entah
harus aku sebut apa ekspresinya saat itu. Sedetik kemudian aku bersumpah ingin
menghilang untuk selamanya.
Tapi
ternyata bukan aku. Melainkan dia.
Marah?
Jelas. Menghiba dan bertanya? Ia patut untuk begitu.
Aku
diam. Ia menghilang dari hidupku.
Potongan
gambar memudar dari jendela. Si pria muda sudah kembali ke sebelahku. Aroma
rokok tercium, tajam menusuk hidung.
Menghindari
pembicaraan yang berusaha keras ia rangkai, aku kembali menumbukkan mataku pada
layar telepon.
Aku sudah berjuang untuk kamu, Pram. Walau terkadang caraku salah. Tapi apakah kamu sudah berhenti untuk berjuang? Ini menyiksa. Kamu tahu?
Terjawab.
Maafkan aku atas semua ini. Maafkan. Tapi aku bisa apa, Ra? Aku harus memikirkan mereka.
Pengecut kamu, Pram.
Terserah kamu sebut aku apa. Kamu tidak akan percaya. Sulitkan membagi cinta? Jika itu yang kamu tanya, lihatlah diriku sekarang. Kamu tahu apa jawab yang sebenarnya.
Omong kosong!
Tak
ada jawaban. Untuk waktu lama.
Jangan sembunyi kamu.
Isi
otakku. Bunyi mesin beratus kendaraan yang semerta dihidupkan. Klakson yang
berebut menjerit. Lenguhan kepuasan dari sekeliling. Dan sesosok angsa besi
yang bersandar dengan malu-malu di dermaga.
“Akhirnya,”
tanpa ragu-ragu si pria muda menepukkan tangan sambil tertawa.
Aku
perduli apa? Kembali aku menelusuri rangkaian kata terakhir.
Sumpah aku ingin waktu berputar. Lalu kau bisa katakan itu sedari awal, Pram. Agar rasanya setara dari sekadar tersenggol kerikil. Tidak semacam ini, serupa kau robek jantungku dengan bedil.
Merangkai
jawaban yang tertunda sekian lama, tanganku gemetar.
Maaf aku sudah membebani kamu dengan perasaanku yang pernah terungkapkan. Bagaimanapun aku tidak mempermainkan kamu. Aku tahu dengan pasti hatiku. Aku tahu siapa yang pantas aku jatuhi rasa sayang. Setelah kejadian ini, aku terlalu yakin bahwa kita benar-benar bisa menjadi sahabat. Ternyata aku salah. Sikapmu menunjukkan kita tidak bisa. Maafkan aku. Aku pikir inilah akhirnya. Selamat tinggal.
Delievered, dan
Read.
Lalu
apa yang aku harapkan? Dia menangis menghiba aku untuk memilihnya? Itu
sudah ia lakukan. Pada saat itu, aku yang diam.
Kringgg….
Teleponku
bergetar. Dia.
“Mas
Pram, Mas sudah sampai mana? Anakmu sudah rindu. Perlu aku jemput ke pelabuhan
Bakau?” lembut suara wanitaku ditimpali jerit si wanita kecil. “Papa… aku dan
Mama mau bantuin Eyang bikin ketupat. Papa cepetan kesini.”
Aku
tersenyum. Melihat ke arah dermaga. Merayap bis yang aku tumpangi mencoba
mencari celah.
“Sabar,
Sayang. Sebentar lagi Papa datang. Jaga Mama dan adik bayi untuk Papa, bisa?”
Aku
menutup telepon. Istriku dan si wanita kecil baik-baik saja. Pun lelaki kecil
yang ada dalam rahim wanitaku.
Ya.
Itu alasanku. Bahwa ternyata cinta pada wanitaku lebih besar.
Kembali
membaca histori pesan. Kali ini dia yang tidak menjawab.
Tanpa
gemetar tanganku menekan satu tombol. Delete.
Ini
saatnya aku hancurkan.
Maafkan
aku Hanggara. Mulai kini tak ada lagi prasasti milik kita.
*