|
taken from bistip.com |
Senja hari.
Ribut-ribut lagi. Disusul oleh isak tangis Ibu.
Sudah
seminggu ini suruhan Bos besar datang ke gubuk kami. Menyuruh kami pergi dari lahan miliknya di sudut kota Kembang.
Lahan yang dipinjamkan oleh ayahnya kepada ayahku berpuluh tahun lalu, sebelum
aku lahir. Lahan yang telah berhasil membuat kami sekeluarga bertahan hidup.
Tidur, dan menjalankan usaha sehari-hari.
Sekarang
Ayah sudah tiada. Hanya tinggal aku dan Rayi, adik lelakiku yang masih SD. Dan sebuah
gerobak Baso Tahu.
Ibu masih
terisak. Sambil membereskan piring kotor bekas jualan, tangan keriputnya
menyeka air mata. Aku yang memperhatikan semua kejadian itu dari balik rimbun
pohon tak kuasa ikut menangis.
Jadi ini
akhirnya? Jika benar lahan ini akan dipakai untuk usaha pujasera oleh Bos, lalu
kami akan tinggal di mana? Lalu sekolahku dengan ujian kelulusan yang di depan
mata akan bagaimana? Dengan gemetar aku menatap amplop teguran dari sekolahku.
Sudah 2 bulan aku menunggak uang SPP.
Tuhan, apa
yang harus aku lakukan. Andaikan Ayah masih hidup. Meski beliau hanya buruh
lepas, tapi tentu ia akan berusaha keras agar kami terlepas dari beban hidup
ini. Ayah tentu akan berusaha menjelaskan kepada Bos mengenai keadaan kami,
dan mencari jalan keluarnya.
Aku
terduduk lemas. Apakah mungkin? Ya, tentu saja. Aku harus berusaha untuk
menemui Bos dan meminta bantuannya.
*
Malam itu
aku menghampiri Ibu.
“Bu, tolong
bikinkan aku semangkok Baso Tahu yang paling enak. Besok pagi akan aku antar ke
rumah Pak Bos.”
“Untuk apa,
Raya?” wajah ibu diliputi tanya .
“Ibu, ini
usaha terakhir kita. Siapa tahu kita bisa ikut berjualan di Pujasera miliknya,”
kataku berapi-api.
Akhirnya
dalam beberapa malam ini, aku bisa melihat ibu menyunggingkan senyum lagi.
*
Pagi-pagi
sebelum ke sekolah, aku mengantarkan semangkok baso tahu ke kediaman Pak Bos
tak jauh dari rumah kami.
Bos besar sudah pergi ke kantor. Istrinya
yang menyambutku. Dengan cemoohan, ia membanting mangkok.
“Tak sudi
kami makan makanan kampung seperti ini! Cepat pergi, kamu membuat kami
terlambat sampai di bandara!” bentaknya sambil menyeret koper besar.
Aku geram.
Sekuat tenanga aku lari ke makam ayah. Aku mengadu di sana. Sebagai anak tertua
apa yang bisa aku lakukan? Aku benci pada diriku. Saat Ibu begitu
membutuhkanku, aku kelu.
Siang menjelang
sore aku pulang. Ibu menyambutku dengan harap.
“Bagaimana,
Bos besar suka?”
Dengan
menyunggingkan senyum selebar mungkin aku menjawab, “Tentu saja, Bu! Istrinya
memuji Baso Tahu buatan Ibu. Bahkan sore ini Bos minta diantarkan satu mangkok
lagi.”
Aku
menggigit lidahku. Maafkan atas kebohonganku, Bu. Tapi ini mungkin langkah
terakhir.
*
Senja hari
sehabis mandi, aku mengantarkan semangkok Baso Tahu lagi kepada Bos besar.
Bukan ke rumahnya, tapi ke kantornya.
Aku mematut
diriku di cermin. Aku cantik. Tubuhku molek. Aku pakai baju terbagus yang aku
miliki. Aku yakin, Bos besar tidak akan mampu menolak semangkok Baso Tahu yang
aku bawa, bersama diriku yang masih belia. Aku akan menemani dia menikmati semangkok Baso Tahu hangat. Saat istrinya sedang tidak ada.