Akhir
minggu kemarin akhirnya pikiran saya benar-benar teracuni perayaan Waisak di
Borobudur. Iya, pikiran yang sudah tercemar itu akhirnya melewati ambang
batas kadar polusi juga. Berawal dari bujukan seorang teman yang mengajak
mengunjungi Yogyakarta, kemudian dilapisi dengan rencana beberapa orang lainnya
yang kebetulan ingin pula pergi ke sana. Akhirnya jadilah kami, sekira 16
orang, yang berasal dari daerah yang berbeda berkumpul di kota Gudeg untuk
melewati perayaan Waisak bersama.
Perayaan
Waisak tahun 2556 berlangsung selama 4 hari. Di mulai dari Pindapata,
Pengambilan air, Pengambilan api dan di tutup dengan Upacara di Candi Borobudur
dengan penerbangan lampion sebagai acara puncaknya. Nah, upacara penutupan di candi Borobudur, terutama
festival Lampion, inilah yang benar-benar kami tunggu. Pada awalnya, kami
berencana mengikuti prosesi sejak di Candi Mendut. Namun dengan beberapa
pertimbangan, salah satunya ingin menjaga kekhusukan ibadah/meditasi umat Budha
disana, maka kami memutuskan untuk langsung menuju Borobudur. Di sana kami
menunggu kedatangan rombongan. Saat akhirnya mereka tiba, entah mengapa rasa
haru tiba-tiba menyeruak. Semua terasa begitu agung. Di bawah guyuran hujan,
sekitar 160 bikhu dan jemaat lainnya yang berasal dari berbagai aliran Budha melakukan
pawai sekira 3 km dari candi Mendut ke Borobudur sebagai bagian dari prosesi
Waisak. Bahkan bikhu yang berasal dari Thailand,Nepal, dan Bhutan pun ada. Barisan bikhu dan bikhuni serta umat Budha terlihat berjalan
dengan mengucap doa. Mereka berjalan sembari membawa bunga sedap malam. Bahkan,
untuk memeriahkan prosesi tersebut, beberapa kesenian tradisional, seperti
topeng ireng dan Reog Ponorogo juga ikut serta.
Prosesi
puncak dilakukan di candi Borobudur sekira lepas jam 18.00 WIB. Dimulai dengan
acara Pradaksina dan akhirnya pelepasan lampion. Saya, teman-teman, dan ribuan
orang lainnya bergabung dengan umat Budha menyimak rangkaian doa dan ceramah. Meskipun sejujurnya saya tidak mengerti dan lebh banyak terkantuk-kantuk. Sekira
pukul 22.00, WIB ritual doa dan ceramah berakhir. Bulan yang tadinya malu-malu
tertutup awan, tiba-tiba muncul dengan bentuk yang bulat. Ya, fullmoon over Borobudur temple. And it was
beautiful. Kemudian dilanjutkan dengan prosesi mengelilingi bagian luar candi
Borobudur sebanyak 3 kali. Kami tentu saja ingin sekali ikut serta. Setelah berjuang
mendapatkan lampion dan lilin, bersama-sama kami mengikuti rombongan memasuki
kawasan candi yang dijaga ketat. Beruntung, karena setelah kami masuk, akses
masuk ditutup untuk menjaga kekhusukkan prosesi. Membawa lilin sebagai penerangan,
dengan tertib kami mengikuti rombongan. Terus terang, kembali bulu kuduk saya
berdiri. Suasana syahdu terasa kental, terlebih diiringi dengan kidung doa. Kami
hanya mengelilingi candi sebanyak satu kali, lalu meletakkan lilin di atas
semacam alas yang dibentangkan di tanah. Jangan salah sangka, yang saya lakukan tidak lebih dari menghormati prosesi yang sedang terjadi. Meskipun rasa takjub terbentuk dari magisnya suasana yang terbangun.
|
full moon over Borobudur Temple |
Akhirnya,
acara pelepasan lampion tiba, diawali dengan pelepasan lampion oleh para bikhu
di altar. Saat lampion pertama diterbangkan, semua kepala mendongak ke arah langit
dan seperti dikomando, bersorak. Gaduh yang mencampurkan perasaan senang dan
haru. Langit yang gelap semerta disinari oleh lampion yang semakin membumbung
tinggi. Itu adalah harapan. Yang bisa menerangi bahkan keadaan yang tergelap
sekalipun. Filosofis.
Setelah
pelepasan lampion oleh para bikhu utama, kami dipersilahkan untuk menyalakan
lampion kami masing-masing. Kelompok kami memiliki 4 lampion yang bergantian
kami terbangkan. Semua terlihat tampak mudah, kita hanya perlu membakar bantalan dan
kemudian lampion akan terbang. Tapi apakah benar semudah itu? Saat sumbu
lampion pertama dibakar, sempat khawatir apakah lampion kami akan berhasil
terbang tinggi? Pada kenyataannya tidak. Semua butuh perencanaan. Ya, lampion
sebagai lambang harapan harus diterbangkan dengan proses penuh pertimbangan. Kami
harus memastikan bahwa api yang membakar bantalan lampion cukup menjadi bahan
bakar, tidak terlalu kecil dan tidak terlalu besar. Kertas lampion harus
benar-benar dikembangkan agar bisa membumbung dengan sempurna. Bahkan waktu
untuk melepaskan lampion pun harus diperthitungkan. Sama seperti harapan. Ia butuh
bahan bakar yang mampu menyulut semangat, perencanaan yang matang, dan timing yang tepat. Dan kunci utama,
jangan ragu saat akan menerbangkannya.
Lampion
pertama kami berhasil membumbung tinggi, dilanjutkan dengan lampion kedua dan
ketiga. Saya tetap merasakan sensasi yang sama. Saya rasa semua yang ada di
situ pun begitu. Kami kembali menjadi kanak-kanak yang berbahagia, penuh
semangat, bahu membahu untuk saling mendukung dalam menerbangkan harapan. Saling
berdoa dan mengaminkan. Sungguh benar-benar suasana kebersamaan yang hangat.
Tiba
pada lampion terakhir. Lampion yang ditulisi harapan dari seorang teman yang juga
mewakili harapan kami semua. "Bahagia Tanpa Jeda. Tuhan, Berikan Aku Kekuatan
Untuk Melihat Cahaya Kembali." Sebisa mungkin kami semua memegang pinggir
lampion, sebagian mengabadikan, dan sebagian membantu proses pembakaran. Ini lampion
kami semua. Ini adalah lambang harapan kami semua. Bahagia tanpa jeda. Meski kami
tahu bahwa itu adalah harapan yang tampak sempurna, tapi intinya kami berharap
kami masih tetap memetik makna positif dari setiap proses yang kami lalui dan apapun situasi yang akan kami
hadapi. Sambil menunggu proses pembakaran, kami semua mengambil waktu untuk
berdoa. Begitu pula saya. Doa kebahagiaan orangtua yang utama, dan doa lainnya.
Terus terang, saat bersama-sama mengucapkan, “Amin,” rasanya ingin menangis
bahagia. Ini mengharukan.
Entah
kenapa untuk lampion terakhir ini kekhawatiran lebih besar. Rasanya ia belum
siap diterbangkan. Kami bersama-sama berusaha memperbaiki bentuk lampion yang
tampak belum sepenuhnya terisi udara. Begitu akhirnya lampion terbang, kekhawatiran
semakin tebal. Ia tidak terbang ke atas, melainkan ke samping kearah pohon di
sisi kanan. Ia tidak bergabung dengan lampion lainnya. Apakah ia akan menabrak
pohon dan terbakar? Apakah perjalanannya menerangi langit hanya sesaat saja? Kami
sama-sama berharap ia dapat terbang lebih tinggi.
Serentak
kami bersorak. Sesaat sebelum menabrak pohon, lampion kami tiba-tiba membumbung
tinggi ke langit. Seperti mendapatkan energi tambahan yang entah datang dari
mana. Seperti ia tahu bahwa pohon itu adalah hambatan yang harus ia lalui agar
bisa bertahan. Seperti ia tahu bahwa usahanya harus lebih ditingkatkan agar
bisa kembali mengarungi langit. Dan kami semua bersorak, karena akhirnya
lampion kami menjadi lampion paling terang yang ada di langit. Ia terbang
semakin tinggi, tinggi, dan tinggi. Membawa harapan kami semua. Tanpa kami tahu
kapan dan di mana lampion itu akan mati dan terjatuh. Tanpa tahu siapa yang
akan menemukan harapan kami yang tertulis di kertas lampion tersebut.
Ya,
ini adalah bahagia kami semua. Bahagia tanpa jeda.
|
Our lampion, the brightest in the sky |
Tonight we are
so young
So let’s set
te sky on fire
We can go
brighter than the sun
Terima
kasih teman-teman:
@lionychan
- Alfa the magnificent driver - @omemdisini - @oppsyshanty - @MungareMike - @naminadini
- @SutradaraTop - @JiaEffendie - @agastiazirtaf - @mmychaan - @tyazmaniandevil -
@__aih – Nunu – @ukakuiki - @ellavaniea - @rairahmanindra