For the Home |
“Berapa umurku? Setua apa aku bagimu?”
Dia
duduk di hadapanku. Wajahnya tersembunyi dalam geraian rambut bergelombangnya
yang lolos dari ikatan. Dua helai rambut putih ikut berkilau di antaranya.
Secangkir teh vanilla yang masih mengepulkan asap perlahan ia jauhkan dari
bibirnya yang tak lagi berwarna merah muda meski masih bervolume penuh.
Aku
menatap sekerat kue tart sisa semalam yang belum juga ia sentuh sedari
tadi.
“Tepat pukul dua belas malam tadi kamu menambah satu umurmu
menjadi 41. Ya, jauh lebih tua dariku.”
”Dan itu mengganggumu?” Dia kembali bertanya. Kemudian
mengarahkan matanya keluar jendela dapur. Lurus menatap deretan bunga yang
tumbuh di halaman belakang rumah kami. Sinar matahari pukul setengah tujuh pagi
sekelebat menjadi lebih terik dan menyilaukan matanya. Ia mengerjap. Ada
kilatan bening di iris matanya.
Aku
tahu ia menginginkan jawaban jujur dari mulutku. “Tidak. Haruskah?” Aku
menyondongkan tubuh ke arahnya, mengarahkan wajahnya untuk menatapku. Dan
membelai lembut lengannya mungkin akan menambah keyakinan bahwa aku berkata
jujur.
“Tidak. Tentu saja tidak. Tapi lihatlah kulitku. Bukankah ia
semakin mengeriput? Perhatikan juga kantong mataku yang kini menggelanyut.
Perlahan orang-orang akan semakin menyadari perbedaan kita. Dan mereka akan
menyangka aku mbakyumu, bahkan mungkin tantemu.”
Aku
mendesah. Kutatap matanya yang terlihat lelah dan menarik bibirku membentuk senyuman.
“Lalu apa perduliku? Bagiku kamu tak terlihat tua sama
sekali. Masih ada jiwa mudamu. Meski kadang kamu tampak tidak memakai otak yang
ada di kepalamu dan mulai mempertanyakan hal-hal yang tak semestinya kamu
perdulikan.”
“I told you not to fall in love with me.”
“But I was too stubborn.”
“Cukup keras kepala untuk menikahiku.”
“Salahmu karena telah membuat aku takluk. Dan sekarang kamu
harus mau hidup denganku. Selamanya.”
“Selamanya?”
“Kupikir kamu meyakini, bahwa tak ada jeda usia dan durasi
dalam cinta sejati.”
“Meski hanya berdua? Meski aku mungkin tak mampu memberi
anak apalagi cucu kepadamu?” Ia mulai memotong-motong kue di piringnya dengan
sendok. Tanpa menyuapkan ke mulutnya. Ia sedang gelisah. Aku mengangkat dagunya
dari piring kue yang sedang ditatapnya.
“Jika memang itu tidak terjadi, lalu apa yang kamu mau aku
lakukan? Meninggalkanmu? Pergi kemana otak warasku?”
“Otak warasmu hilang lima tahun lalu saat kamu melamarku.”
“Mungkin karena waktu itu aku bocah lelaki berumur duapuluh
tiga tahun yang masih ingusan.”
“Bocah ingusan yang mungkin menderita Oedipus Complex.”
Ia menyubit hidungku. Kegiatan kesukaannya yang membuat aku ketagihan.
“Jika begitu, jangan biarkan aku bertemu tuan Freud. Bahkan
dalam mimpi.”
Dia
tertawa. Sangat cantik, meski dalam usianya yang tak lagi muda. Meski dalam kondisinya semenjak kecelakaan lalu lintas lebih dari setahun lalu. Aku masih mencintainya.
Ia
menyesap tehnya perlahan. Lalu bertanya, “Haruskah kita kembali ke kamar
tidur?”
Aku
meneguk tetesan terakhir kopi dalam cangkirku.
“Jika itu yang kamu mau. Kita masih punya setengah jam untuk
bersiap ke kantor.” Aku berbisik di telinganya.
Perlahan
jemariku melucuti jubah tidur dari tubuhnya yang masih terduduk. Kuangkat
tubuhnya dari kursi roda dan kugendong ke kamar.
Aku
berharap usaha kami untuk mendapatkan buah hati pagi ini tidak sia-sia.
---
Cerpen ini keren... Saya senang membacanya! Terima kasih sudah menuliskannya... :D
ReplyDeleteTerus semangat berkarya!
Terima kasih. Senang Kak Bintang menikmati ceritanya. Mari, terus semangat berkarya. :')
DeleteHai... Kadang2 suka nulis fiksi juga tapi masih belajar. :) Terima kasih sudah menjenguk blog ini. Aku sudah lihat blog Mimin, menarik. InshaAllah ada kesempatan untuk ikutan. semangat! :')
ReplyDelete