Ada yang mengatakan bahwa selalu ada permulaan bagi segala
sesuatu. Dan ada akhir bagi semua permulaan. Untuk beberapa kasus, akhir bagi
sesuatu berarti awal bagi yang lainnya. Begitu seterusnya. Reaksi berantai.
Untuk kisah kita, aku tak benar-benar yakin mana yang menjadi
permulaan. Apakah titik itu berawal dari pertemuan kita? Apakah
rantai kembali memulai siklusnya pada saat kecelakaan itu memaksa Athina pergi untuk selamanya? Atau
mungkin vonis dokter yang tak memungkinkan
rahimku menjadi rumah bagi bayi mungil lainnya? Ataukah keputusan
Arion untuk bekerja di luar kota dan meninggalkanku sendiri di sini bersama Ibu
yang memicu keinginanku untuk menjalin kisah denganmu?
Entahlah. Satu yang kuyakini kisah kita akan segera dimulai. Aku
tak mau memikirkan akhirnya seperti apa. Setidaknya saat ini.
--
Kamu ingat pertama kali kita berkencan? Saat kita malu-malu saling
menghindari pandangan yang akhirnya kembali tertuduk pada masing-masing buku
yang kita pegang? Atau sedikit aksi curi-curi yang membawa kita kembali
mengedarkan pandangan ke hiruk pikuk taman saat tak sengaja bola mata kita
saling bertumbukan?
Aku bertaruh, saat itu sama sepertiku, jantungmu berdebar kencang
mengalahkan deburan ombak saat laut pasang. Dan semakin menjadi ketika entah
darimana kekuatan itu datang, jari jemari kita bersinggungan dan saling erat
berpagutan.
“Lihat, betapa bahagianya mereka,” lentik telunjukku
membuatmu menoleh pada sekumpulan bocah menggemaskan yang bermain bersama
bundanya di taman. Kamu ikut mengamati mereka, sedikit tertawa. Aku mencuri
pandangan ke semu pipi merahmu, kamu sungguh memancarkan pesona.
Saat itu aku tahu, kita memeluk mimpi yang sama.
Athina di surga, aku kembali jatuh cinta.
--
Pertemuan pertama kita tidaklah
mudah. Saat aku memergokimu bersandar di dinding sekolah dengan peluh
bercucuran dan wajah teramat lelah. Beberapa buku dan majalah berhamburan dari
dekapan tanganmu saat aku menyapamu, “Maaf, ada yang bisa aku bantu?” Kamu
menggeleng kuat, berusaha keras mengindari untuk memandangku. Berusaha
menepiskan gugup, kamu membereskan apa yang tercecer. Buru-buru aku berlari ke
dalam ruang kelas, mengambil kantong plastik dan menyodorkan padamu. Kamu
mengucapkan terima kasih dengan tetap menunduk dan segera berlalu dengan tiga
kakimu.
Sorot matamu yang kutangkap dengan
tidak sengaja, adalah hal pertama yang membuat aku jatuh cinta. Nyalang
menyiratkan semangat, namun terbungkus kepedihan mendalam. Itulah senjatamu
dalam menaklukkan hatiku. Namun kupikir, kamu hanya sosok ingin tahu yang
sekadar ingin sejenak melepas dahaga. Hanya itu.
--
Pertemuan kedua kita terjadi tanpa
sengaja. Saat aku berteduh dari derasnya hujan di sebuah halte sepulang
bekerja. Air yang tegenang membanjiri jalan membuat lalu lintas menjadi tak
bersahabat. Dan metro mini tampak enggan untuk menepi meskipun puluhan tangan
melambai menawarkan rezeki.
Aku berdesakan entah dengan berapa
puluh orang di bawah kanopi. Saat dengan lembut aku merasakan hentakan di
tanganku. Spontan aku menepis. Itu kamu.
“Mari ikut aku,” katamu sedikit
memerintahku yang sejenak menjelma menjadi seekor kerbau yang dicucuk
hidungnya.
Kamu memberikan tempat dudukmu di
samping deretan koran dan majalah padaku. Sedang kamu tetap berdiri sambil
memegang sebuah buku yang mampu membuat aku terkejut. “Sejarah Tuhan”.
Bagaimana mungkin?
“Aku berdiri saja,” kataku dengan
gugup.
Kamu hanya memandangku. Pandangan
melarang. Dan aku hanya diam.
Arion, aku jatuh cinta lagi.
--
Pertemuan ketiga kita. Pagi hari.
Kembali di halte yang sama.
“Boleh kupinjam buku yang kamu baca
waktu itu?” tanyaku saat kita berhadapan.
“Akan aku selesaikan sebentar lagi.
Anda bisa mengambilnya sepulang bekerja nanti.” Lalu kamu kembali asyik
menekuni kegiatanmu.
Aku tersenyum. “Terima kasih. Sampai
nanti.”
Itu adalah salah satu hari terbaikku.
Sore nanti aku akan berkencan denganmu.
Ibu, anakmu sedang jatuh cinta.
--
“Kamu yakin, Aretha?” tanya Ibu
setelah kencan kedua kita.
“Aku yakin, Bu.”
“Arion?”
“Dia setuju. Setidaknya itu yang ia
bilang. Kita lihat saja akhir minggu ini.” Aku tersenyum.
Ibu menghela nafas. Ibu tidak bisa
menolak, aku tahu. Semenjak kepergian Athina, aku tak pernah sebahagia ini. Meskipun keseharianku
di kelilingi oleh para bocah di tempatku mengajar. Ibu mengangguk.
Kencan kedua kita begitu manis,
bukan? Saat kamu tanpa malu membawaku ke tempat tinggalmu yang kau sebut
istana. Saat kamu memperkenalkan aku pada ayahmu yang sakit-sakitan. Betapa
beliau begitu mengagungkanmu. Betapa kamu adalah pria tangguh yang menjadi
pelindungnya. Betapa kamu
sukses menjalankan peran sebagai pengganti ayah sekaligus ibu bagi kedua adikmu yang bisa bersekolah dari hasil kerja
kerasmu.
Betapa aku tidak akan menyesal
memilih kamu, itu kata hatiku.
--
Aku sudah meyakinkan Arion untuk
bertemu kamu.
“Dia begitu istimewa, Arion. Aku
memujanya. Dia cerdas, dia kuat, dia bersahaja, dia mencintai
keluarganya. Dia punya cita-cita.”
Arion mengernyitkan dahi. Aku tahu,
perkataanku tidak akan mengaburkan pemahamannya bahwa tetap Athina yang berada
di pusat kenangan termanisku.
Dia setuju bertemu kamu.
Kencan ketiga begitu istimewa. Aku,
kamu, Arion, di sebuah sudut kafe yang hangat di permulaan senja.
Aku tahu Arion terkejut melihat kamu
tidak gugup. Kamu menunjukkan bahwa kamu pria dengan kualitas. Arion jelas
menghormati kamu. Kalian berbincang begitu akrab mengenai banyak hal. Kamu tahu
bagaimana harus bersikap saat berargumentasi dalam diskusi. Atau saat didepanmu ada makanan menggugah selera yang menanti
untuk kau lahap.
Setelah menimbangmu begitu lama,
Arion memberi isyarat setuju padaku. Ia tidak pernah main-main dengan
keputusannya. Ia memandang ramah padamu dan berkata, “Semua akan kami urus
secepatnya.”
Aku tahu, selangkah lagi kamu
milikku. Aku tersenyum.
Lembut aku sentuh tanganmu. Bola
matamu yang bisanya tajam kini berkaca-kaca.
“Aku sangat bahagia. Terima
kasih…”
“Bunda… Mulai hari ini kamu bisa
panggil aku Bunda, Nak.”
“Dan kamu bisa memanggil aku Ayah,”
Arion menepuk pundakmu.
Aku terlalu bahagia. Erat aku memeluk tubuh ringkihmu yang bertopang
tongkat.
Kali ini aku kembali dapat memeluk
tubuh kecil yang menangis di dadaku. Ah, bagaimanapun kamu masih bocah, Nak.
Senja kali ini begitu indah. Akhirnya
aku dan Arion memiliki anak lagi, setelah kepergian Athina untuk selamanya.
Oh bukan, ini bukan akhir. Ini adalah
permulaan.
Let it go, let it roll right off your shoulder
Don?t you know the hardest part is over?
Let it in, let your clarity define you
In the end we will only just remember how it feels
Our lives are made in these small hours
These little wonders, these twists and turns of
fate
Time falls away but these small hours
These small hours still remain
Let it slide, let your troubles fall behind you
Let it shine until you feel it all around you
And I don’t mind if it’s me you need to turn to
We’ll get by, it’s the heart that really matters in
the end
Terinspirasi dari lagu Little Wonders oleh Rob Thomas.