Source Pinterest |
Dari balik rimbun pohon aku
menjalankan kebiasaan yang kulakoni setiap akhir minggu. Ya, pagi itu
kuputuskan kembali mengintainya, sahabatku sendiri. Saat semburat kuning
keemasan belum tercumbu oleh asap ratusan kendaraan yang akan melintasi rumah
kecil bercat khaki di ujung jalan.
Seperti yang sudah kuduga, ia
berdiri di depan rumah. Menyedekapkan kedua lengan merangkul dada ringkihnya.
Sementara dadaku berdegub kencang merutuki angin dingin di pagi yang membuat dua
tonjolan mungil di sana menegang. Aku dan dia sama-sama bergidik. Aku merapatkan
baju hangatku yang sedikit tersingkap. Melihatnya begitu pucat membuat seluruh
tulangku serupa remuk redam. Tak butuh waktu lama, bulat matanya menangkap sosokku.
Aku tak pandai bersembunyi darinya. Aku
tak bisa menghindar.
“Apa yang kau lakukan di luar sepagi
ini?” tanyaku setelah kami
berhadapan.
“Aku sedang menunggunya.” Lalu ia menyeruput capucinno kesukaannya yang terlihat tak lagi mengepulkan asap.
“Mengapa?”
Matanya menatap mataku seakan tak
percaya pertanyaan yang baru saja kulontarkan. “Aku menunggunya untuk datang dan mencintaiku.”
Alis mataku bertaut. “Jangan gila!”
“Jangan pernah mengatakan aku gila!”
Bibirnya gemetar.
“Dia tidak akan datang. Dia
seharusnya sudah kamu lupakan. Berpikir waraslah.” Perlahan aku semakin
mendekatkan tubuhku padanya. Ia masih berdiri lemah. Aku mencoba menyentuh
rambut dan wajahnya. Dibalas oleh tepisan tangan.
“Kamu tahu? Kamulah yang gila.
Pergilah.” Kembali matanya nanar
menatap ujung jalan.
“Aku akan pergi,” aku mengerang, ”Tapi aku akan tetap
kembali.”
Ya,
aku akan tetap kembali. Lagi dan lagi. Karena kegilaanku berasal dari cintaku
yang maha padamu. Bisikku dalam hati dengan getir
Lalu dengan langkah berat aku
berlalu. Kembali menyusuri jalan yang sama sejak dua bulan lalu. Aku sadar,
waktunya belum saat ini.
--
Dua bulan lalu. Pertemuan tak
sengaja menjelang akhir minggu membawaku dan dia berdiri di bawah atap halte
bus yang sama. Terpaan air hujan membingkai wajah ayunya. Terlalu canggung
bagiku untuk berpura-pura sibuk dengan lagu yang mengiang di kepalaku.
Kau adalah obsesiku
Tak mau sekejap pun berpaling dari
wajahmu
Kau adalah obsesiku
Kau membuatku ingin menghentikan
waktu
Meski aku bukan siapamu
Mengalah dan berlalu darimu ku tak
mampu
Ia tersenyum dan mendekat ke arahku.
Tubuhku yang sudah dingin oleh air hujan menjadi semakin kaku.
“Hai, apa kabar? Lama tak bertemu.” Buru-buru
kumatikan rokok yang belum habis aku hisap. Dia tidak suka rokok. Tepatnya, dia
tidak suka melihat aku merokok.
Ia memelukku sambil menjawab, “Luar biasa. Kamu?”
“Sedikit disibukkan dengan urusan
kantor. Biasalah, namanya juga anak bawang.” Aku mengoreksi letak
kacamataku yang bergeser.
“Bagaimana tempat kerja baru? Sudah
ada yang menarik hatimu?” Ia
tersenyum sedikit nakal.
“Kamu tahu, aku tak punya waktu
untuk kehidupan asmara.” Gugup aku mengelap kacamataku. “Lalu bagaimana dengan dirimu dan dia?” Aku
menelan ludah dengan sulit saat menyebut nama kekasihnya.
Sejurus kemudian rona merah
menghiasi wajahnya. Sesuatu yang mampu menghadirkan berjuta kupu-kupu dalam
perutku.
“Doakan aku untuk secepatnya
menikah. Ia berkata akan segera meminangku.”
Ia berkata dengan senyum mengembang. Sedikit rona kemerahan di pipinya menegaskan bahagia
yang tengah ia rasa.
Oh, seharusnya aku tak bertanya.
Kini dadaku terasa tertusuk duri yang sangat tajam, menekan dan terus menekan.
Menyisakan lubang dalam yang tak mampu disembuhkan. Lalu ribuan rintik hujan
semakin memekakkan telinga. Satu-satunya yang bisa menghindariku dari
ketidakwarasan adalah kehadiran bus yang bisa membawaku pergi dari sini. Tapi
Tuhan tak mendengar doaku. Karena sejurus kemudian ia yang meninggalkanku
terlebih dulu. Berlalu bersama kekasih hatinya. Tangan kananku melambai ke arah
mereka. Senyumku merekah. Hatiku meneteskan air mata.
Kembali aku menggumamkan laguku
dengan kepalan tangan yang terasa menyakitkan.
Aku akan memilikimu
Suatu hari aku akan memilikimu
Aku akan mencari jalan untuk memilikimu
Menyimpanmu hanya untukku
Dalam gelas kaca berwarna biru
Ya, aku akan memilikimu
--
Malam itu, aku kembali menatap
wajahnya. Aku menumpahkan segala perasaan yang selama ini begitu menyesakkan.
Malam ini aku mengutukmu.
Aku mengutukmu atas percikan asa
yang tak sempat terpadamkan.
Aku mengutukmu atas pelukan yang
sempat berulang kau tawarkan.
Aku mengutukmu atas genggaman tangan
yang pernah kau ulurkan.
Aku mengutukmu atas mimpi
berkepanjangan yang tak terhentikan.
Aku mengutukmu atas rapalan doa yang
teruntai dalam desah diam-diam.
Aku mengutukmu atas senyum yang
terkirim dalam mimpi di gelap malam.
Aku mengutukmu atas jalinan harap
dalam helaan di antara kesunyian.
Aretha, aku mengutukmu untuk hanya
denganku merajut kebahagiaan.
Gemetar tanganku membakar dupa.
Lembut aku mencium wajah yang terbingkai dalam sketsa. Lalu membiarkan api
mencumbu gambar wanitaku.
Oh wanitaku yang ayu…. Dia tak akan
pernah mencintaimu. Aku, hanya aku yang mampu. Meski butuh waktu berminggu, berbulan
bahkan bertahun lagi. Jangan ragukan kesungguhanku.
Sembari menikmati aroma dupa yang
terbakar, aku kembali menikmati alunan lagu yang mengalun sendu dalam kepalaku.
Kau adalah obsesiku
Tak mau sekejap pun berpaling dari
wajahmu
Kau adalah obsesiku
Kau membuatku ingin menghentikan
waktu
Meski aku bukan siapamu
Mengalah dan berlalu darimu ku tak
mampu
Aku akan memilikimu
Suatu hari aku akan memilikimu
Aku akan mencari jalan untuk
memilikimu
Menyimpanmu hanya untukku
Dalam gelas kaca berwarna biru
Ya, aku akan memilikimu
Aku menari mendekati cermin. Menyusuri
setiap lekuk wajah dah tubuhku. Kulepaskan kacamataku. Lembut aku menyisir
rambutku yang sebahu. Perlahan kuusapkan bedak di pipiku yang tirus. Bukankah
aku pantas untuk dia?
“Ya, cuma butuh ini saja.” Hati-hati
kupoleskan perona di bibir tipisku.
Selesai. Kami akan menjadi sepasang
wanita yang sempurna.
Aunty emang suka yang psiko psiko ni...hehe
ReplyDeleteBagus bagus bagus...
Keep writing Aunty
Makasih Ben. Sedang belajar... Ditunggu masukan buat karya yang lain. :))
Delete