source: wollipop.com |
FRISTO
Aku memerhatikan
kalender duduk yang tergeletak di meja kamar hotelku. Tak lama lagi. Tak lama
lagi sebelum semua kebenaran terkuak.
Aku menghela napas panjang dan menatap
foto-foto yang berserakan di atas kasur. Kuraih satu foto. Kubelai dengan
lembut sosok yang terekam. Rayna. Cerdas. Manis. Anggun. Mereka bilang ia akan
sempurna untuk berdiri di sampingku. Apa lagi yang kurang? Ya, apa lagi?
Aku menekan satu nomor
di telepon genggamku. Ramon harus kuhubungi secepatnya untuk mematangkan
rencana.
“Ya, Fris? Ada apa
malam-malam begini?” sahut suara yang sangat akrab di telingaku.
“1 April. Lakukan
sebelum tanggal itu. Bagaimana? Bisa?” tanyaku dengan nada menuntut.
“Tentu saja. Kau tahu
kau bisa mengandalkanku. Tapi apa kau yakin? Apa lagi sih yang perlu kau
buktikan?”candanya.
“Haha. Tidak ada. Hanya
sedikit kejutan saja. Oke, kalau ada apa-apa kau tahu harus bagaimana. Thanks,
Mon.”
“Oke. Count on me, Bro!” suara riang Ramon
begitu yakin.
Itu menenangkan. Jadi
semuanya sejauh ini lancar.
Brother. Ya, saudaraku Ramon
akan membantuku.
Perlahan aku membuka
tirai jendela. Udara Singapura malam ini begitu panas.
*
RAMON
“Oke. Count on me, Bro!” suara riangku terasa
begitu meyakinkan.
Padahal semua palsu.
Dengan tangan gemetar
aku menekan sebuah nomor. Sedikit gugup aku melonggarkan dasi yang terasa mulai
mencekik. Tenang. Harus tenang.
“Ya, Sayang?” suara
manjanya terdengar di ujung sana.
“Dia baru saja telepon.
Menanyakan perkembangan rencananya.”
Satu teguk Don Perignon
mengaliri kerongkonganku.
Terdengar suara jerit
tertahan.
“Mon, serius dia
benar-benar akan melakukan itu? Dia tidak mencurigai kita, kan?”
Aku berusaha
menenangkannya.
“Bukan. Dia tidak
curiga dengan kita. Dia hanya ingin memantapkan hatinya padamu. Itu saja.
Kalau kita bisa memainkan semua skenario kita dengan mulus, percayalah, dia
tidak akan pernah lagi melepaskanmu.”
“Mon, aku takut.”
“Boleh takut. Tapi
jangan itu membuatmu jadi bodoh. Tenang. Kita sudah melakukan ini
bertahun-tahun. Jangan kita kacaukan dalam satu hari. Sekarang istirahatlah,
Sayang. Siapkan barang-barangmu. Besok kujemput. Love You.”
Pelan aku menuju
wastafel. Membasuh wajah aku menengadah. Tatap mataku menghujam kaca.
“Aku mungkin berhutang
banyak hal padamu, Fris. Tapi demi Tuhan aku tidak akan melepas dia untuk
membayar semua hutang budiku.”
*
RAYNA
“I love you too, Sayang.” Aku melayangkan kecupan pada sosok di
ujung sana sebelum mengakhiri percakapan.
Aku terlonjak kaget
ketika teleponku bordering.
Dia.
“Malam, Honey. Sudah selesai meetingnya?” ceria
suaraku tak berhasil menutupi detak jantung yang berdentum.
“Sudah, Sweety. Capek. Andai kamu ada di sini,”
hangat suara pria di ujung sana. Aku benar-benar malu.
“Maafin aku, Honey. Tapi memang pekerjaanku begitu
menumpuk. Apa kabar London? Awas ya kalau matamu jelalatan melihat bule-bule
yang cantik-cantik itu,” aku tertawa manja.
“Aku yang minta maaf Sweety, sempat memaksamu ikut. Setengah bulan
nggak ketemu kamu benar-benar menyiksa. Tunggu aku seminggu lagi, oke?”
“Aku juga kangen. Sepi
sekali nggak ada kamu di sini. Seminggu lagi. Janji ya? Masak aku hunting perlengkapan pernikahan kita sendirian?”
aku pura-pura merengek.
“Maaf ya, Sweety. Sebenarnya aku ingin Ramon yang
menemanimu. Hanya dia yang aku percaya untuk menjaga kamu, hartaku yang tak
ternilai. Tapi kamu tahu kan, perusahaan sangat butuh dia selama aku nggak ada.”
Tanpa sadar keringat
dinginku mulai mengucur deras. Maafin aku, Fris. Kau tak tahu rencana kami.
*
FRISTO
Entah apakah Rayna bisa
membaca kepalsuan dalam suaraku. Entahlah. Besok aku akan mengetahui semuanya.
Hanya Ramon yang aku
beri tahu bahwa aku ada di sini menunggu mereka. Tentu saja Rayna sudah
berjaga-jaga. Aku yakin itu. Dia wanita cerdas. Dia akan tahu bahwa aku
menyimpan suatu rencana untuknya. Dia akan lebih berhati-hati.
Aku memejamkan mata.
Suara Rayna menggema di kepalaku.
“Kita ketemu di Singapura.
Fristo masih akan dinas sampai minggu pertama April. Mungkin ini kesempatan
terakhir kita melepas rindu. Sebelum aku seutuhnya menjadi milik dia. Tolong,
jangan kecewakan aku. Kita akan bersenang-senang di sana. Aku janji.”
Aku mengepalkan tangan.
Aku tidak pernah gagal,
Rayna. Aku tidak pernah gagal.
*
RAMON
Jadi begini rencananya.
Fristo meminta aku memata-matai Rayna yang ingin belanja ke Singapura. Aku yang
ia percaya agar Rayna tidak kembali menemui mantan kekasihnya. Ia tidak ingin
menyewa orang bayaran yang mungkin akan mengacaukan semuanya.
Apakah Fristo
benar-benar mempercayaiku? Apakah ini tipu dayanya? Bagian dari rencana yang ia
buat?
Aku meraih bungkusan kecil dari laci meja. Aku harus memikirkan
kemungkinan terburuk.
*
RAYNA
Aku memandangi foto
kami bertiga.
Fristo dan Ramon. Dua
pria yang menghiasi hidupku. Menjagaku yang hanya sebatang kara.
Ramon, pria pertama
yang aku cintai. Mungkin untuk selamanya.
Fristo, pria yang harus
aku cintai. Jika aku ingin hidupku sejahtera selamanya.
Ramon bilang ini untuk
sementara. Aku tidak tahu apa artinya.
*
APRIL MOP!
Malam itu tiba-tiba
Fristo sudah berada di depan meja Rayna yang baru saja akan memesan menu di restoran.
“Sayang, kamu! Kamu jahil
sekali. Bukannya kamu masih di London?” teriak Rayna dengan keterkejutan yang
tampak dibuat-buat.
Ah benar kata Ramon.
Jadi ini kejutan yang dimaksud Fristo. Bahwa ia menyuruh Ramon membuntutiku ke
Singapore untuk melihat apakah aku benar-benar sendiri. Untung Ramon sudah
pergi dari sini sedari tadi, pikir Rayna menghela napas sambil memeluk Fristo.
“Maafin aku. Isn’t it
the happiest April Mop?” tanya Fristo sambil mengacak rambut Rayna.
“It is! Oh, I’m so
happy you’re here with me now!” peluk Rayna erat.
“Ayo, aku sudah siapin makan
malam romantis buat kita.”
*
Turun dari taxi, Fristo Menutup mata
Rayna dengan kain dan menggandeng lembut tangannya menuju tempat rahasia yang
sudah ia siapkan.
“Harum! Kita di mana
ini, Sayang?” tanya Rayna.
Sayang. Dia tidak
menyebutku Honey. Getir Fristo tersenyum.
Perlahan Fristo membuka
kain yang mengikat mata Rayna.
Rayna terpekik.
Sebuah meja makan
lengkap dengan hidangan makan malam dan buket bunga tertata rapi di kamar yang
dipesan oleh Fristo. Cahaya remang menambah suasana romantis.
Perlahan Rayna
mendekati meja. Tiba-tiba ia tercekat. Kakinya menabrak sesuatu yang tergeletak
di lantai. Apa? Siapa?
“Ra…Ramon?” Rayna
terpekik. Ia membalikkan badan dan menjerit.
Tubuh Ramon terbujur kaku bersimbah darah di balik pintu menuju balkon.
“Fris!!!”
“April Mop, Sweety,”
ucap Fristo sambil meledakkan pistol dalam genggamannya.
Fristo tertawa kecut. “Kalian
pikir akan bisa membodohiku?” geramnya sambil meremas beberapa kertas di dalam
saku.
Beberapa foto Ramon dan
Rayna. Berpelukan mesra. Berdua. Tanpa dia.
Fristo tertawa ke arah mayat Ramon, "Kau pikir bisa mengakhiriku dengan serbuk putih itu? Bodoh!!!"
"Senjataku lebih ampuh. AKu bilang, aku tidak pernah gagal, Ramon. Tidak pernah," Fristo menatap dingin dua tubuh di depannya.
Perlahan Fristo keluar dari kamar. Anak buahnya akan mengurus semua.
Fristo tertawa ke arah mayat Ramon, "Kau pikir bisa mengakhiriku dengan serbuk putih itu? Bodoh!!!"
"Senjataku lebih ampuh. AKu bilang, aku tidak pernah gagal, Ramon. Tidak pernah," Fristo menatap dingin dua tubuh di depannya.
Perlahan Fristo keluar dari kamar. Anak buahnya akan mengurus semua.
kereeennn...........
ReplyDeleteTerima kasih sudah membaca, Ayu. Terima kasih banyak. Late idea, nih. :))
ReplyDelete