sketch by Bety Oktarina |
1
April 2012.
3
tahun. Sore ini.
Seharusnya
ia sudah masuk Playgroup. Belajar bersosialisasi dan berbagi bersama anak
sebayanya. Mendengarkan guru-gurunya bercerita sambil tertawa terkekeh.
Sekarang.
Seharusnya ia sedang bermain di istana pasir
bersama teman-temannya. Berebut menaiki jungkat jangkit dan ayunan di taman
sekitar kompleks di sore hari. Atau mungkin sedang tidur setelah merengek
dibuatkan susu olehku.
Seharusnya.
Dia
sedang aku peluk dengan damai. Saling berbagi wangi di tengah gelungan tubuh di
atas ranjang. Memaksa aku untuk menyanyikan lagu pengantar tidur siang. Dan
sebuah atau beberapa boneka untuk menemani sampai ia terlelap.
Damai.
3
tahun. Anak itu. Seharusnya sedang apa ia sekarang?
*
Pagi. Nopember
2008.
Akhirnya tonjolan dalam perutku tak lagi malu-malu menunjukkan keberadaannya.
Akhirnya tonjolan dalam perutku tak lagi malu-malu menunjukkan keberadaannya.
“Sudah
4. Ini sudah 4 bulan lebih! Oh Tuhan…..” jerit Mama tak tertahankan.
Aku
menangis. Tanpa suara. Aku sudah tidak sanggup. Aku hanya terpekur menatap
lantai. Papa bahkan tidak sudi lagi melihatku.
Petra
memandang nanar ke arahku. Satu tangannya masih memeluk Mama. Aku tahu apa yang
ada di pikirannya. Aku tak lebih dari sampah yang sama sekali tak pantas menjadi
contoh bagi adiknya.
Papa
mengepalkan tangannya. Aku tahu apa yang ia harap mampu untuk lakukan.
Memukulku sekeras-kerasnya. Tapi sekali lagi, Papa hanya diam. Diam yang mampu
membunuhku.
“Kamu
tahu apa yang harus kamu lakukan, Padma. Tinggalkan lelaki itu. Dan enyahkan
dia,” telunjuk papa tajam menusuk perutku.
“Semoga
Tuhan memaafkanmu. Semoga Tuhan memaafkanku.” Dengan langkah tak lagi tenang, Papa yang
berbalut seragam meninggalkan kami.
Petra
membopong tubuh Mama masuk ke dalam kamar.
Dan
Mbok Sur dan Pak Kijan tergopoh memapah tubuhku memasuki mobil. Aku tahu aku akan dibawa
kemana.
*
Siang
hari. Nopember 2008.
Aku
menahan sakit. Sumpah, ini sakit. Bukan memikirkan aku. Tapi dia. Dia yang dipaksa
untuk keluar dari tubuhku. Dia yang selama ini aku jaga. Dia yang selama ini
aku sembunyikan di tempat yang ternyaman. Dia yang menjadi penguat aku bertahan.
Sekarang ia menjerit. Aku bisa mendengar raungannya.
“Bunda!!!
Tolong aku. Apa yang mereka lakukan dengan rumahku, Bunda? Mereka mengusir aku.
Mereka berusaha menggusur aku. Aku akan dibawa kemana, Bunda? Bunda, hentikan ini.
Sakit, Bunda. Sakit!”
Aku hanya
menjerit. Seiring tangan kasar mengurut perutku.
Maafkan Bunda, Nak. Maafkan.
*
Malam.
Oktober 2008.
“Kamu
harus bertanggung jawab, Krisna! Kita harus bertanggung jawab!” erangku
memegang tangannya.
“Tanggung
jawab apa, Heh???” matanya melotot ke arahku. Tidak ada lagi panggilan sayang.
Tidak ada lagi tatapan mesra dari matanya.
“Ya.
Kita akan sama-sama menghadap Papa. Kita akan bicara baik-baik,” bujukku meyakinkannya.
“Sialan!
Harusnya kamu minum pil yang aku berikan bulan lalu. Nggak akan begini jadinya.
Kamu pikir aku bodoh? Mengakui kepada Papamu sama aja bunuh diri!”
“Krisna!
Itu sama saja dosa,” isakku.
“Dosa?
Lalu yang kita lakukan waktu itu apa? Perbuatan suci? Heh, dengar ya. Aku nggak
mau jadi orang tolol. Lagian nggak ada bukti kan kalau itu anakku?” tertawa Krisna
meninggalkanku.
"Aku masih punya mimpi yang lebih bagus daripada memiliki anak si usia muda, Padma. Ingat itu!" teriaknya.
"Aku masih punya mimpi yang lebih bagus daripada memiliki anak si usia muda, Padma. Ingat itu!" teriaknya.
Dan Krisna tak
pernah kembali lagi.
*
April
2012.
“Selamat
ulang tahun kamu.”
Pedih
aku membayangkan dirinya. Seperti apa rupanya? Apakah dia lelaki atau perempuan.
Apakah wajahnya seelok Krisna?
Rasa
sesak tetiba menyergap. Aku bahkan tidak tahu dimana kuburnya.
Aku
mengelus perutku.
Samar
terdengar suara mendesis.
“Bunda,
aku senang tinggal di sini, ini rumah yang nyaman sekali. Terima kasih atas
kado ulang tahunnya. Terima kasih, Bunda.”
*
No comments:
Post a Comment