“Maaf,
aku sibuk,” kataku saat kau menyapa. Mengingatkanku untuk meluangkan waktu
bercengkerama denganmu di tengah deadline
yang menghimpit.
Aku bertingkah seolah aku tidak punya waktu. Ya, memang begitu
kan? Aku harap kamu mengerti.
*
“Tolonglah
mengerti! Kamu tidak lihat aku sedang sibuk? Argghhh!” Aku berteriak padamu. Saat
hasil lemburku bermalam-malam ternyata hanya dianggap sampah.
Lihat! Lihat,
bahkan mulai malam ini dipastikan aku tidak akan tidur demi membuat revisi.
*
“Selamat
ya! Kapan kau merayakannya denganku?”, kamu bertanya saat presentasiku disambut
dengan baik.
“Oh,
ya tentu saja. Akhirnya jerih payahku tidak sia-sia bukan? Tapi maaf, aku harus
mempersiapkan diri. Yah, promosi di depan mata,” seruku berteriak kegirangan.
Aku tertawa. Yah, lucu. Buat apa aku merayakan denganmu? Ini kan hasil jerih payahku?
Kamu diam.
Kamu diam.
*
“Gila!
Kamu tahu, ini semua gila!” umpatku saat tahu rekanku yang mendapat promosi.
Berkat kerja kerasku!
“Dasar
penjilat!” Aku memukul kasurku dengan hebat.
“Ini
tidak adil. Kamu tahu ini tidak adil! Jadi ini permainan yang kamu tawarkan? Heh,
apa salahku? Katakan, apa salahku?”
Kamu diam.
"Heh, kenapa diam? Daripada hanya diam, lebih baik kamu pergi!"
Mulai saat itu kamu tidak lagi mengusikku.
"Heh, kenapa diam? Daripada hanya diam, lebih baik kamu pergi!"
Mulai saat itu kamu tidak lagi mengusikku.
*
“Hei,
kamu dimana? Jangan lari! Katakan padaku, ini semua apa?” Air mataku tumpah. Tidak
hanya promosi jabatan yang gagal aku terima. Rekanku, yang sekarang menjadi
atasan, mendepakku karena persaingan.
Aku hancur. Aku meradang.
Kamu tetap tidak ada.
*
Aku
marah padamu. Ya, aku marah. Kemana kamu saat aku butuh jawaban? Kemana kamu saat aku butuh tahu apa rencanamu dibalik ini semua. Ketidakadilan macam apa
yang harus aku jalani?
Satu
bulan. Kamu tetap tidak tampak.
*
Aku
lelah untuk marah. Mungkin karena itu pula kamu marah dan memilih untuk tidak
mendengarkanku dan akhirnya pergi?
Oke,
aku mengalah.
Sekali
lagi aku mencoba menghubungimu. Mencoba meredam kekecewaanku atas ketidakperdualianmu
ketika aku butuh kamu.
Perlahan
aku membasuh kedua wajahku. Dalam gelap aku berlutut. Aku mencoba menjamahmu
sekali lagi.
Lirih,
aku memanggil namamu.
“Kamu.
Tolong, maafkan aku. Selama ini aku tidak berbicara dengan cara yang benar
kepadamu. Aku sadar, terakhir kali kita bicara, aku sangat marah. Aku minta
maaf karena sudah berteriak kepadamu, dan memintamu untuk keluar dari hidupku. Maafkan
aku karena sudah mendorongmu dari diriku terlalu jauh, seakan aku tidak
membutuhkanmu lagi. Pasti kau berpikir aku tidak ingin berhubungan denganmu lagi.”
Aku
mendesah. Masih tidak ada jawaban dari dirimu. Apakah kamu begitu marah? Ataukah
diammu karena sedang mengurai penyesalan dalam setiap kata yang aku ucapkan?
Aku
tidak tahu. Tapi aku masih berharap.
“Ya.
Aku terlalu merasa hebat. Aku mencoba sekuat hati menangani semua urusan
hidupku. Tanpamu. Dan aku sadar bahwa mungkin saat ini aku sudah tidak sanggup
lagi.”
Tak
ada suara.
“Tolong,
bicaralah. Marahlah padaku! Ya, aku sudah menyalahkanmu atas semua hal buruk
yang terjadi padaku. Dan aku akhirnya menyerah, menyerah atas apa yang aku
perjuangkan selama ini.”
“Aku
lelah. Ya, aku lelah. Mungkin tak selelah kamu dalam menghadapi sikapku. Ya,
aku tahu. Tolong dengarlah aku. Saat ini aku hanya ingin meminta maaf. Dan aku
akan melakukan apapun untuk mendapatkanmu kembali dalam hidupku. Tapi tolong
bantu aku, karena aku tidak bisa melakukannya sendiri.”
Aku
merasakan pipiku basah. Saat aku mendengar kamu menjawab.
“Anakku,
mengapa kau berpikir aku marah kepadamu? Atas semua perlakuanmu kepadaku?
Tidak. Sama sekali tidak. Jika kamu berpikir aku tidak perduli kepadamu,
maafkan. Maafkan aku karena tidak menggapaimu saat kamu butuh aku. Tapi kamu
tahu? Itu karena aku sibuk. Ya aku sibuk memberikan kesempatan kepadamu untuk menyadari
bahwa sesungguhnya kamu punya kekuatan untuk melalui semua tantangan yang kau
temui. Aku sibuk menunggumu untuk mengerti bahwa mungkin tidak semua berjalan
sesuai apa yang kamu inginkan. Aku sibuk berharap bahwa pada satu titik kamu
menyadari selalu ada hal yang bisa kamu ambil manfaatnya atas semua kejadian
yang menimpa. Dan ketika aku diam tadi, aku sibuk mencari cara untuk dapat
memelukmu kembali, kamu dengan dirimu yang baru, yang lebih menghargai hidupmu.
Maafkan aku. Aku harap kamu mengerti.”
Oh,
aku sungguh malu. Mendengar semua alasan yang kamu berikan, aku benar-benar malu.
Aku tahu, seharusnya aku tidak meragukan kamu yang selalu ada untuk aku.
Aku
puas menangis. Tetap dalam gelap. Tapi hatiku tidak.
Perlahan
aku tersenyum. Dan berkata kepadamu.
“God,
thank you. I’m so sorry for everything I’ve done. Please, hold my hand, and
keep me in your arms as I live the life you have given me.”
*
Ah, sediihh :(
ReplyDeleteMakasih Ayu, sudah mampir. Iya, begitu pula kata seorang temanku. Miris, tapi dewasa ini banyak terjadi. Sebagai pengingat saja. :)
ReplyDelete