Dear, Ed...
Tahukah kamu berapa waktu yang kuperlukan untuk
mengumpulkan keberanian dan mulai menuliskan balasan suratmu ini? Hampir 24
jam, Ed. Terhitung dari terakhir aku menyesap kopi dan menyeduhnya kembali.
Ah, seandainya tidak perlu ada awalan untuk
segala hal. Betapa sulit untuk memulai berkata-kata kembali setelah sekian
lama. Tapi bukankah selalu ada awal untuk segala sesuatu? Seperti halnya
pertemuan tak disengaja kita di conveyor belt saat itu, saat jemari kita menggugat
koper yang sama. Awal yang membawa pada perbincangan di sebuah kedai kopi,
keterpukauan di antara karya seni, perdebatan di depan deretan poster film, dan
pertemuan-pertemuan yang selalu meninggalkan lengkung senyum di bibirku
sesudahnya.
Tak pernah mudah untuk tidak mengingat hal-hal terkait
kamu, Ed. Betapa di antara waktu-waktu aku berusaha melangkah ke depan, aku
masih sesekali berpaling ke belakang. Betapa aku masih mengharapkan kamu
melangkah masuk ke dalam ruanganku dengan tiba-tiba, sekadar untuk
mengecup keningku sebelum kamu sendiri bekerja. Betapa aku masih mengharapkan pesan
darimu di pembuka hari, sebuah penyemangat yang dulu tidak pernah alpa kamu
lakukan, lalu perlahan menjelma menjadi kealpaan itu sendiri. Dan deretan
lagu yang mengiringi perjalanan sesudah pertemuan terakhir kita, tiba-tiba
merupa lengking suaramu yang selalu terdengar merdu di gendang telingaku.
Aku rindu caramu menunjukkan kasih padaku, Ed.
Aku rindu caramu menunjukkan kasih padaku, dulu.
Tapi kamu telah memutuskan untuk melangkah menjauh dariku, semakin jauh,
semakin jauh. Sejujurnya, aku tidak benar-benar memahami apa yang terjadi hari
itu. Atau apa yang terjadi sebelum hari itu, atau jauh sebelum hari itu. Kupikir
semua yang terjadi di antara kita adalah baik-baik saja. Atau aku yang pada saat
itu terlalu naif, Ed, hingga menjadi tidak pandai membaca pertanda. Sampai pada
titik akhirnya kamu lelah dan memutuskan meninggalkanku untuk menjalani hidup
yang telah kaurancang, tanpa aku di dalamnya.
Aku banyak mendengar tentangmu sesudahnya, Ed. Beberapa asumsi aku tegakkan,
dan satu kesimpulan aku kemas. Aku tidak menyalahkanmu atas apa yang terjadi.
Terkadang ketika seseorang ingin melanjutkan hidupnya, kita harus kuat untuk
mampu merelakan. Meski aku tak lagi menjadi tokoh utama dalam ceritamu, namun aku
bersyukur pernah hadir dalam satu babak hidupmu.
Bagaimana Tokyo, Ed? Aku harap apa yang kamu lakukan di sana sesuai apa yang
kamu impikan. Aku pikir begitu. Baiklah aku akan mengaku, diam-diam aku mencari
tahu tentangmu setelah hari itu.
I miss you, Ed. A lot. Oh by the way, i always love the way you call me Bets. More than you
know.
Bandung, 2 Februari 2014
Bethany
PS:
Kopiku sudah
semakin dingin, Ed. Tapi tidak sedingin jemariku saat menulis namamu di undangan
ini. Akhirnya nama kita tertulis bersama di bawah kata Wedding. Tapi entahlah,
sulit menamakan apa yang saat ini kurasa.
Terhitung 28
hari setelah kuterima suratmu, Ed, hidupku akan memulai babak baru.
--
merupakan balasan dari
http://dennyed.blogspot.com/2014/01/masih.html?m=1 …
No comments:
Post a Comment