Ed,
Kali ini aku membaca suratmu
sembari menghirup aroma vanila dalam larutan teh alih-alih dalam secangkir larutan
pekat yang sudah terlalu mengadiksi. Saat
kamu menginginkan secangkir kopi, aku justru menginginkan menjadi kamu. Mencoba
memahami apa yang kamu berusaha dapatkan dalam setiap seruput teh yang dulu
selalu kuanggap pahit. Aku menyecapnya secara perlahan, seperti cara aku
menikmati kopi. Aku terkejut, Ed, karena betapa suatu hal yang pernah begitu
kita hindari bisa menjadi sangat berbeda ketika kita bersedia membuka diri dan
menyelami lebih dalam lagi.
Ah, lupakan tentang teh dan kopi
ataupun ‘tidak’ dan ‘bukan’. Kupikir kita harus meminta maaf kepada mereka karena
telah menjadi salah satu korban perdebatan kita di masa lalu.
Mengapa berpikir aku tidak mau
mendengar kabar darimu, Ed? Bukankah sudah kukatakan semenjak hari itu aku
adalah detektif yang memburu setiap kabar terkait kamu? Bukan untuk mencari
jawaban atas kepergian kamu, bukan. Melainkan untuk memastikan, bahwa kamu
baik-baik saja. Meski aku tahu, tidak ada yang perlu dikawatirkan dari kamu. Dan
seharusnya aku sadar sedari dulu, kamu akan jauh lebih dari sekadar baik-baik
saja tanpa aku.
Ed, sadarkah bahwa kita pernah
memaksa menjelma sepasang kruk bagi satu sama lain? Dan kita berpikir dengan
begitu kita akan dapat saling menopang dan menguatkan. Tapi kita lupa, bahwa
terkadang ada masa di mana salah satu dari kita butuh untuk melangkah sendiri,
meski dengan satu kaki. Hal yang baru kusadari setelah kepergianmu yang tanpa kata. Maafkan, aku pernah merasa begitu nyaman sampai membuat kamu merasa terkekang.
Mungkin saat itu kita berada di
waktu yang salah. Mungkin kita adalah kesalahan itu sendiri. Tapi aku tidak
pernah menyimpan penyesalan, terlebih dendam. Jadi jika kamu bertanya apakah
aku akan tetap tersenyum dan menyapa jika satu saat kita bertemu di belahan
dunia yang entah, jawabnya ya. Tentu saja ya. Mungkin saat itu kita akan menertawakan
kekonyolan kita dan mulai kembali membahas hal-hal tidak penting. Atau mungkin
aku tanpa sadar telah menyesap teh di cangkir ke dua sembari mendengarkanmu
bercerita mengenai serunya bertualang keliling Eropa.
Satu hal yang pasti kuingin saat
hari itu tiba adalah, tak ada lagi rahasia di antara kita.
PS:
I’m happy you’re comeback in my
life and I hope we continue being friends. Saat kita bertemu nanti, bawalah Ed
yang pertama kali kukenal. Happy Euro trip. Sepenggal cerita dari setiap tempat
luar biasa yang kausinggahi tentu akan membuat aku lebih dari sekadar baik-baik
saja. :’)
--
balasan dari "Secangkir Juga Untukku" dennyed.blogspot.com/2014/02/secang… …
Surat sebelumnya: 30harimenulissuratcinta.poscinta.com/?p=709
ini balas2an ya ceritanya mbk :D
ReplyDeleteIya, begitulah. Terima kasih sudah mampir dan membaca. :')
Deleteaku nyaris mewek di bahasan sepasang kruk. ish, aku mellow amat :'(
ReplyDeleteVan.... :'(
Delete