Episode
Pertama.
Kita bertemu
di bandara, tepatnya di conveyor belt. Aku memandangimu, lebih dikarenakan jemari
kita yang berpagut pada pegangan bibir koperku. Lalu kita bertemu lagi di kedai
kopi depan bandara sesudah itu, terpaut beberapa meja. Aku kembali memandangimu
karena kamu juga memandangiku. Setelah berbalas senyum yang canggung, kamu
berpindah tempat menjadi tepat di depanku. “Hai, aku Ed,” katamu. Dan
kusebutkan namaku.
Aku semakin
mengenalmu seiring bergulirnya waktu. Semakin mengenal baik, hingga aku tak
lagi ingat kapan tepatnya aku mulai menjatuhi rasa yang lebih padamu. Kita
mulai sering bertemu, entah dalam suasana romantis ataupun tidak, dan aku mulai
terjerat pada rasa yang semakin dalam.
Aku mengingat
dengan baik malam di mana untuk pertama kalinya kamu mengatakan bahwa kamu
pikir kamu mulai menyukai aku. Aku ingat, aku hanya bisa tersenyum karena pekik
bahagiaku sudah habis bergema dalam hati. Apakah dengan hanya tersenyum berarti
aku bersandiwara? Tidak. Karena jika kamu perhatikan, mataku merah karena
menahan tangis haru. Ah, betapa kamu tidak tahu Ed, bahwa aku sudah menunggu
lama untuk kamu menyatakan hal itu padaku.
Waktu
semakin bergulir. Aku pikir, kita semakin tidak terpisahkan. Namun tiba satu
babak, di mana kita berada
di ujung-ujung jembatan. Kita
mulai berjalan menuju satu sama lain dengan senyum mengembang, hingga tiba-tiba
badai menghadang. Kamu
melihat awan gelap, berhenti sejenak untuk memicingkan mata, dan mulai
berjalan kembali sembari meyakinkan diri
sendiri bahwa matahari tidak akan pernah bersinar lagi jika kita tetap bersama.
Aku
terus berjalan di tengah hujan mengharapkan badai secepatnya berhenti,
mengharapkan menyaksikan matahari bersinar lagi di sampingmu, bersama-sama. Namun
badai belum berkenan mereda, meski aku sudah berdoa dalam langkah yang tatih. Akhirnya,
ketika aku sampai di ujung yang lain, aku menemukan bahwa kamu telah memutuskan
untuk melanjutkan perjalananmu tanpa aku. Semenjak
itu, berjalan sendirian dalam hidup tidak pernah lebih sulit.
Because
I love you,
Ed. Because there is no room for anyone else.
---
Episode Yang Entah.
Kita bertemu
di bandara, tepatnya di ruang tunggu kedatangan. Aku memandangimu, lebih
dikarenakan aku ingin menangkap utuh sosokmu. Lalu kita berjalan berdua menuju kedai kopi
depan bandara sesudah itu. Aku kembali memandangimu karena kamu juga
memandangiku. Setelah berbalas senyum yang canggung, tatapanmu berpindah tempat
menjadi tepat di jari manisku. “Cincin yang manis, Bets,” katamu. Aku
mengangguk setuju. Dan cerita pun berlanjut sebagaimana ia seharusnya,
sekarang.
Because I
loved you, Ed. Because there was no room for anyone else.
Bandung, 16
Februari 2014
PS:
Ed, kita mungkin tidak berhasil sebagai pasangan. Tapi aku percaya, kita masih bisa menikmati senja sebagai teman.
PS:
Ed, kita mungkin tidak berhasil sebagai pasangan. Tapi aku percaya, kita masih bisa menikmati senja sebagai teman.
---
balasan dari dennyed.blogspot.com/2014/02/best-a…
No comments:
Post a Comment