Air terjun Tawang Mangu |
“Ini beneran kamu harus mengajak dia
ikut kita?” aku mendelik ke arah Cantika. Ia sedang melompat kegirangan melihat
pemandangan Tawang Mangu yang menakjubkan.
“Ya terus apa lagi yang harus aku
lakukan? Meninggalkan dia sendirian di rumah sementara kita asyik
bersenang-senang di sini?” lelaki di hadapanku tampak membela habis-habisan.
“Kita bisa menitipkan Cantika di rumah
Ibumu.”
“Apa?” lelaki itu tampak terkejut,
“Kamu tahu mereka saling tidak menyukai.”
Aku mendengus. Ya, tentu saja Ibu tidak
akan suka dengan Cantika. Secantik apapun dia. Tetap saja ia menjengkelkan.
“Sudahlah, kita tidak perlu
mendebatkan hal ini. Lagi pula, kita sudah sampai. Ayo dong tersenyumlah
sedikit. Nggak capek apa ini bibirnya manyun terus?” candanya sambil menyubit
bibirku.
Mas Fahmi selalu bisa membuat aku
tersenyum.
Tawangmangu memang menakjubkan. Rasa
lelah yang menemani sepanjang perjalanan dari Solo cukup terbayar dengan
pemandangan yang tersaji di depan kami. Walaupun praktis selama perjalanan
Cantika tak henti mencemburuiku yang asyik bernyanyi mengikuti lagu dari cakram
bersama Mas Fahmi.
"Tolong gendong dia, ya,” pinta Mas Fahmi yang
tampak kesulitan membawa kontainer kecil beisi bekal makanan. Cantika tampak
ketakutan saat akan melewati jembatan menuju air terjun.
Aku melotot. “Lebih baik aku yang
membawa benda-benda berat itu Mas.” Aku mengangsurkan tangaku untuk mengambil
beban dari tangannya.
“Sudah aku bilang, ini acara kita
berdua, Mas. Ngapain juga mesti bawa-bawa dia?” aku menghentakkan kaki.
Mungkin Mas Fahmi paham aku cemburu. Sambil
menggendong Cantika, ia meraih pundakku dan mengelusnya. Tangan kirinya lekat
menggenggam jemari tangan kananku saat melintasi jembatan. Udara yang segar dan
gemericik air meluruhkan rasa kesalku.
“Jangan pernah lepaskan genggaman
tangnmu, Mas. Atau kau bersiap tidak akan kebagian bekal piknik. Dan jangan
harap aku akan masak makanan untukmu dalam 3 bulan ke depan,” tambahku sedikit
bercanda.
“Aku janji.” Mas Fahmi tertawa,
terkekeh. Cantika menatapku dengan matanya yang nyalang.
Kami sampai diujung jembatan dan mulai
meniti bebatuan. Kami sudah memilih tempat untu bersantai dan perlahan menuju
ke sana.
TIba-tiba Cantika menjerit. Ia
terlihat kaget saat tubuhnya terciprat oleh semburan air terjun. Dan Mas Fahmi
menghianati janjinya. Ia melepaskan genggaman tangannya dariku. untuk melindungi mahluk berbulu yang ia
sayangi melebihi aku.
Sekilas aku melihat senyum di mata kucing milik Cantika. Lalu gelap.
---
Aku serius saat mengucapkan itu, Mas.
Aku tidak akan memasakkan makanan untukmu 3 bulan ke depan. Dan mungkin 3 bulan
ke depannya lagi. Lagi, dan lagi. Atau selamanya.
Aku tidak tega melihatmu bersedih,
Mas. Tapi aku bisa apa? Kamu lah yang melepaskan genggaman tangan…
…dan membiarkan kepalaku bercumbu
dengan bebatuan Tawang Mangu hari itu.
---