Dulu…
Rindu itu terbuat dari apa?
Rindu itu kepunyaan siapa?
Kenapa selalu menuntut? Kurang ajar
sekali dia.
Tolong nasehati rindu untuk sabar
menunggu.
Tolong bilang rindu, “Sebentar lagi.”
Lalu…
Kamu ingin rindu yang bagaimana?
Rindu seperti apa yang mencukupi?
Rindu seperti apa yang tidak kamu selingkuhi?
Rindu seperti apa yang tidak kamu
pertanyakan?
Rindu seperti apa yang akan kamu
perjuangkan?
-bety-
Malioboro, Jogjakarta |
*
“Jadi Umi tidak akan ikut aku ke
Jogja?” yakinku pada sosok wanita paruh baya di hadapanku.
Ia tetap menggeleng. Aku tersenyum. Aku
sudah menduga jawabannya akan tetap sama seperti tahun-tahun sebelumnya.
Umi, aku tidak akan
lelah melontarkan pertanyaan yang sama, sampai Umi mengangguk.
Tapi Umi tetap
cemberut.
--
Aku tahu kenapa Umi
benci sekali Jogja.
Bukan, bukan karena
udaranya yang lebih panas dari Lembang. Bukan pula karena Umi
lebih menyukai batik Pekalongan. Atau bukan karena Umi
lebih menyukai masakan Padang.
Setiap mendengar kata
Jogja, Umi bisa mengernyitkan dahi dan mendadak mulas. Lalu tiba-tiba mengeluh
Migrain.
Di atas segalanya, Umi
membenci Malioboro.
Dulu sewaktu aku kecil
aku akan terheran-heran jika Umi menolak aku ajak ke Malioboro saat berkunjung
ke rumah Yangti di Jogja. Bahkan dengan sedikit kasar Umi berkata, “Kalau mau
ke Malioboro sama Pak Man sana. Nggak usah ajak Umi apalagi Yangti.” (Yangti = Eyang Putri)
“Yangti antar ke
Malioboro ya, Nduk. Tapi jangan bilang-bilang Umimu. Nanti kita bilangnya pergi
ke alun-alun.” Bujuk Yangti saat melihatku menangis di taman belakang.
Dan sore itu tanpa
sepengetahuan Ibu, kami berdua pergi menyusuri jalan Malioboro dengan diantar
Pak Man sopir kami.
“Nyonya yakin mau turun
di sini?” tanya Pak Man dengan sedikit ngeri.
“Iya… Dan hal ini tidak
perlu sampai diketahui Ningsih. Ingat itu, Man.”
Aku semakin heran. Ada
apa?
Kami menyusuri jalan
Malioboro. Hmm, Malioboro memang indah, tetap ramai meski menjelang sore
seperti ini. Oh, kupikir Umi tidak suka jalan ini mungkin karena keramaiannya.
Dan Umi melarangku pergi dengan Yangti karena takut terjadi apa-apa pada Yangti
yang beranjak tua.
Tapi ternyata tidak.
Bukan itu alasannya.
Lalu, kenapa Umi
membenci Malioboro?
“Yangti, aku ingin
ini.” Tunjukku pada sepasang wayang kulit ukuran mini.
Yangti menggeleng.
“Tidak kali ini, Nduk. Jika Umimu tahu, bagaimana?” Yangti membelikanku gulali
yang rasanya enak sekali agar aku berhenti merengek.
Mendekati ujung jalan,
di dekat gerbang masuk Vredeburg, tetiba Yangti menghentikan langkahnya.
Memandang sendu ke sosok pria yang sedang berteduh dalam becak. Berkulit
bersih, bertubuh kekar. Wajahnya mengingatkanku pada seseorang. Lelaki itu
melihat kearah kami.
Yangti terdiam kaku. Lelaki itu pun begitu. Semerta keramaian Malioboro menghilang dalam isak tangis Yangti dan raut sendu lelaki itu.
Yangti terdiam kaku. Lelaki itu pun begitu. Semerta keramaian Malioboro menghilang dalam isak tangis Yangti dan raut sendu lelaki itu.
Sepuluh tahun kemudian,
aku tahu dia siapa. Lalu dengan paksa Umi membawa Yangti tinggal dengan kami di
Bandung.
--
Yangti sakit. Semenjak
seminggu lalu kondisinya tak juga membaik. Yangti meminta pulang ke Jogja. Umi
menolak dengan alasan kesehatannya bisa bertambah buruk.
Dengan berat hati Yangti
memintaku melakukan ini. Awalnya kami merahasiakannya dari Umi. Namun pada akhirnya Umi harus tahu, ucap
Abi.
Umi memperbolehkan aku
menemui lelaki itu. Hanya untuk mengantarkan surat Yangti. Tidak lebih.
Jadi hari ini, kembali
aku menyusuri jalan Malioboro yang ramai sekali lagi untuk menemuinya.
“Bagaimana keadaan
Yangtimu, Laras?” tanya pria di hadapanku setelah aku menyium tangannya.
“Yangti semakin
membaik,” aku sedikit berbohong. “Yangti menitipkan ini.” Aku mengangsurkan
selembar amplop besar kepada lelaki itu.
Tulisan rapi tangan
Yangti masih jelas terbaca. Ia membaca deretan huruf per huruf dengan kacamata bulatnya.
Ia menarik nafas berat. Seraya melipat surat dari Yangti.
"Maafkan aku, Lastri. Maafkan aku, Ningsih." Lelaki tua itu meneteskan air mata dan terduduk lesu.
Di tengah keramaian Malioboro,
aku memeluk tubuh lelaki tua pengayuh becak yang tak lagi kekar.
Aku tahu ia pernah melakukan
kesalahan menghianati Yangti, wanita yang sangat mencintainya. Yangti sudah memaafkannya sedari dulu.
Tapi sampai kapan Umi? Sampai
kapan Umi mengingkari darah daging Umi sendiri?
--
:'( meleleh terhanyut oleh ceritanya..
ReplyDeleteaku jadi cedih, qaqa. tapi tuyisan ini keyen, jadi aku gag jadi cedih dech...
ReplyDelete:'(
ReplyDeleteAhhh makasih kalian... Tulian kalian juga keren-keren :')
ReplyDelete