Pasar Klewer, Solo |
“Pokoknya aku ingin serabi Solo hangat!” rengekan istriku bertubi-tubi. Terdengar
seperti deru roda kereta yang mendecit
di atas rel stasion Balapan. Memekakkan telinga.
Aku mendengus. Istriku ngambek. Ia menuju pojok. Diam di situ sambil memonyongkan
bibirnya. Dasar perempuan!
Aku pura-pura tak melihatnya. Aku mengintip dari celah di dinding, memicingkan
mata mengamati keadaan di luar tempat tinggal kami.
Pasar Klewer.
Banyak sekali orang di pasar siang ini. Akan sedikit sulit untuk memilih
menu makan siang, tapi justru akan lebih mudah untuk mendapatkannya.
Istriku datang menghampiri. Menghentakkan kaki dan mulai merepet.
“Aku ingin serabi, Mas. Aku sudah bosan makan ikan asin.” Sekarang ia
mulai merajuk.
“Ini kan juga demi anakmu Mas,” katanya sambil menyorongkan perutnya
yang membuncit ke arahku. Ngidam!
Nah, kalau sudah begini aku pasti luluh. Perempuan memang pintar!
“Iya, iya. Sebentar aku cari. Doakan semoga dapat.” Dan kemudian senyum
istriku mengembang.
“Hati-hati, Mas!” serunya sambil mengintip dari celah dinding.
--
Aku berjinjit pelan-pelan. Pasar sesak. Kalau tidak hati-hati, badanku
bisa terinjak.
“Minggir!” teriak pengayuh sepeda. Aku berlari ke pinggir.
Duh, di mana sih penjual serabi itu?
Lama aku mengitari pasar. Permintaan
perempuan hamil memang ada-ada saja, dalam hati aku tersenyum.
Sejurus aku melewati penjual gudeg. Hidungku mulai menggeliat. Sekuat tenaga
aku menahan perutku yang keroncongan. Kali ini harus dapat Serabi yang hangat.
Mataku terbelalak. Badanku tegak. Itu dia di sana. Penjual Serabi Solo
yang sibuk melayani pembeli.
Istriku pasti sedang meminta dengan penuh harap, aku menyeringai.
Aku melewati kaki para pembeli. Mataku tajam mengawasi.
Hmmm tak salah memang istriku. Semakin mendekat, aroma Serabi yang hangat
langsung memenuhi udara sekitarku. Harum.
Pembeli berebut ingin dilayani. Penjual sibuk melayani. Aku sibuk
mengamati.
Deretan Serabi yang siap dibungkus seakan melambaikan tangannya. Ini
saat yang tepat.
Secepat kilat aku menyambar satu Serabi Solo dan langsung melesat. Tak
mengindahkan hangatnya Serabi yang memenuhi mulutku.
Oh, Sial! Penjual memergoki aku. Secepat kilat ia menyambar kayu untuk mengaduk
arang dan menyambitkan pada tubuh mungilku.
“Dasar tikus got tukang maling!” teriaknya.
Aku meringis. Ternyata hangatnya Serabi tak sehangat kayu bakar. Kulitku
terbakar.
Aku tak perduli. Ini demi calon anakku!
Aku lari secepat kilat menuju tempat tinggal kami, celah dinding di tengah Pasar Klewer.
Aku lari secepat kilat menuju tempat tinggal kami, celah dinding di tengah Pasar Klewer.
Aku berhasil!
Jangan panggil aku tikus got jika tak bisa meloloskan
diri, kataku mencibir.
---
hahahahahahahahahahahahahahahaha,,,,
ReplyDeleteFF yang satu ini lucuu beud....
tak kirain kucing lho, ternyata tikus got.....
hahahahahahahhahahahahahahahahaha,,,,
lagi buntu otaknya. fisik tepat, Iz. jadi gini deh hasilnya haha
ReplyDeletehihi lucu Bety...
ReplyDeleteIdenya dapet aja :))
Ide kejepit ini namanya, Yu. haha tq
DeleteWah suaminya mencuri, Bet. Keren, Bet.
ReplyDeleteIya... habis dia kan nggak punya "uang" :))) Tq Tan
Deletehahahahhahaha.. terkecoh!
ReplyDelete