Old Town Area, Surabaya |
Old Town Area.
Jadi di sinilah aku kembali. Memenuhi janji yang pernah kita semaikan
dalam selembar kertas buram. Masih aku ingat tulisanmu yang nyata tergores
buru-buru kala itu.
Maaf, Vero. Kang Mas harus buru-buru pergi. Tapi Mas janji akan kembali. Saat semua
sudah memungkinkan, saat keadaan sudah aman, maka tidak ada lagi yang bisa menghalangi kita untuk
bersatu. Pegang kata-kata Mas. Baik-baik ya kamu di sini. Tunggu aku.
NB: Jembatan Merah, Saat bulan purnama
Salam sayang,
Kang Mas
Aku tetap menggenggam
kertas itu. Walau bagaimanapun, inilah satu-satunya pengikat janji yang sampai
saat ini membuatku bertahan menunggunya.
Meski entah sampai
bulan purnama ke berapa.
Aku menghela nafas.
Aku melayangkan
pandangan ke sekeliling. Menyapu setiap sudut kota tua. Sampai saat terakhir
kunjunganku, ia tidak banyak berubah. Kecuali semakin sesak oleh para
pelancong.
Aku membenarkan letak
topi dan gaun rendaku yang sedikit tertiup angin.
Sebentar lagi senja memudar berganti malam. Sudah saatnya aku menuju Jembatan Merah.
Aku sedikit
mempercepat gerak langkahku. Melebur di antara para pejalan kaki lainnya. Aku menunduk
dan meliuk. Beberapa kali berhenti di antara lalu lalang manusia.
Akhirnya tiba juga.
Aku menghirup nafas
dalam-dalam. Udaranya tidak lagi sama seperti dulu. Tapi kupikir, diantara
pesatnya pertumbuhan Surabaya, daerah ini lah yang mampu membuatku sedikit
nyaman. Tidak terlalu sesak. Tidak terlalu pengap. Terlebih, di sinilah
harapanku kuletakkan.
Ahhh, langit yang merah mulai menghitam. Tapi di mana dia? Tentu dia tidak lupa,
bukan?
Sebegitu sibukkah dia?
Sebegitu jauhkan jarak yang membentang? Sebegitu tidak bersahabatkan waktu?
Bagiku ia terlalu
penting. Dia alasan yang tepat untukku kembali lagi ke sini.
Entah sudah berapa jam aku menunggu. Entah sudah berapa wajah yang kutemui. Tapi tidak satupun yang mengingatkanku atas sosoknya.
Aku mengentakkan kaki.
Dadaku berdegub kencang. Mataku kembali panas.
Oh, apakah bulan purnama kali ini aku
kembali gagal bertemu dia?
Tak sadar air mata kembali mengaliri sepasang
pipi tirusku.
Gemetar tanganku
meraih rantai jam dan membukanya. Pukul 12 malam.
Jemariku meremas surat
pemberian dia.
Maaf Kang Mas, waktuku sudah habis. Aku harus pulang.
Aku tak akan menangis.
Aku tidak pernah menyesali ribuan purnama yang sudah aku lewati di sini untuk menunggunya. Lain
waktu, aku akan kembali. Dan akan selalu begitu sampai aku bertemu kekasihku, Kolonel Rifai. Sampai takdir menyatukan kami, dua manusia berbeda bangsa.
Aku membenarkan letak
topi dan gaun rendaku. Kembali melayang di antara sesaknya pejalan kaki di Kota
Tua.
*
It was a letter that you sent
It was a letter that you sent
From somewhere far away.
A sacred place where you went
Or maybe where you hide away.
I tacked your letter on the wall
Where I slept above my head.
On your scratched hasty scrawl
I remember what you said.
It was a letter that you sent
With your sweet kiss as a stamp.
You know how the story ends
In my heart you're the only champ.
So I left your letter hanging
On the wall above my bed.
With some memories still living
Stay firmly inside my head.
It was a letter that you sent
Spinned me with heavy rotation.
Try to deny you still I can't
Due this deep roots of devotion.
*
A sacred place where you went
Or maybe where you hide away.
I tacked your letter on the wall
Where I slept above my head.
On your scratched hasty scrawl
I remember what you said.
It was a letter that you sent
With your sweet kiss as a stamp.
You know how the story ends
In my heart you're the only champ.
So I left your letter hanging
On the wall above my bed.
With some memories still living
Stay firmly inside my head.
It was a letter that you sent
Spinned me with heavy rotation.
Try to deny you still I can't
Due this deep roots of devotion.
*
baguuuss :))
ReplyDeleteBaru selesai banget... Makasih Ayu :')
ReplyDeleteSukaaa :)
ReplyDeleteKeren, Bet.
ReplyDelete