Sungai Musi, Palembang |
Sabtu, 10/06/2012. Pukul
17.30 WIB.
Masih tetap sama.
Pemandangan di sekitar sungai Musi di kala senja tidak berubah.
Semburat jingga yang muncul perlahan menyebarkan keindahannya dari balik
jembatan Ampera.
Keriuhan sore hari yang menyatukan ketukan sepatu, derit roda dan
klakson kendaraan, kepak burung yang berlalu lalang di langit Ilir dan Ulu, serta
riak air yang ditepikan oleh kapal.
Betapa sudah lama aku kehilangan momen seperti ini.
Perlahan rasa hangat menjalari pundakku.
Aku mematahkan kepalaku ke arah pundak kiri, tempat tangannya memelukku
erat.
“Kamu yakin, Vyrna?” tanyanya lembut.
“Sangat. Dan akan tetap begitu keputusannya,” aku mencoba tersenyum.
“Aku tahu ini berat. Meskipun aku tidak meragukan sedikitpun dirimu,
terutama pada saat ini. Namun, entahlah…mungkin pada satu saat kita bisa saja
menyesali ini semua.” Lembut suara lelaki itu begitu menyejukkan telinga.
Tuhan, mengapa aku pernah meragukannya?
Senja semakin kental menyatu dengan udara Palembang. Aku pikir ini
saatnya…
---
Sabtu, 14/06/2012. Pukul
08.30 WIB.
“Ayo cepat, Sayang. Nanti kita ketinggalan acara akad nikahnya Tante
Dea, lho,” aku sedikit menarik lengan putriku agar bergegas.
Kasihan melihat putriku yang sedikit kewalahan mengikuti langkah kami,
Mas Bram meraih tubuh mungilnya dan menggendongnya.
Aku tersenyum kecil. Mereka begitu serasi.
Bertiga kami memasuki bagian dalam masjid. Kerabat sudah berkumpul di
sana. Hari ini pernikahan Dea, sepupuku
dengan bos tempatnya bekerja.
Aku sudah lama tidak bertemu Dea. Mungkin semenjak aku memilih
melanjutkan kuliah magister di Jerman. Semenjak kejadian itu. Semenjak aku memilih untuk meninggalkan
Jakarta. Semenjak aku menikah dengan Bram. Semenjak… Ah, sudahlah. Aku tidak mau mengingat hal itu lagi. Aib.
Ternyata mempelai pria dan rombongannya sudah tiba. Bergegas aku menjenguk
sepupuku di dalam bilik. Aku akan mengiringinya saat keluar menemui suaminya
nanti.
“Tante Dea cantik,” puji Farra putriku.
“Terima kasih, Sayang. Doakan aku ya, Kak.” Ucap Dea sambil memelukku.
“Pasti. Insya Allah kamu akan berbahagia.” Aku tersenyum.
Prosesi di luar berjalan lancar. Mempelai pria dan ayah Dea dengan tegas mengucapkan ijab kabul. Aku melihat sinar kebahagiaan terpancar
dari wajah Dea yang terpahat nyaris sempurna.
Aku meringis. Aku tidak pernah merasakan hal ini. Tidak pernah.
Ah sudahlah. Ini hari bahagia Dea.
Kami mendengar isyarat waktunya Dea sudah boleh keluar. Lembut aku
menggandeng tangannya. Memandunya untuk menemui pria yang kini sah menjadi
suaminya.
Itu dia. Dalam balutan jas putih pria itu tampak gagah. Mempesona. Dada bidangnya.
Seperti siapa? Ah, tiba-tiba kepalaku mendadak pusing. Aku menutupi wajahku.
Aku menahan mulutku agar tidak muntah.
Dan kemudian aku berlari keluar dari tempat itu.
---
Sabtu, 10/06/2012. Pukul
17.45 WIB.
“Lakukanlah apa yang menurutmu sebaiknya dilakukan. Jangan membawamu
pada penyesalan. Tapi jika waktu itu tiba, saat dimana kamu ragu dan butuh tempat
bersandar, kamu tahu harus menemui siapa.”
Aku menatap wajah pria di hadapanku.
“Mas, mengapa kau begitu baik padaku? Setelah semua yang terjadi. Setelah
apa yang aku lakukan dulu. Aku ingin kamu marah, Mas. Untuk sekali saja, aku
ingin kamu marah,” isakku.
“Mengapa harus begitu? AKu akan marah jika memang itu perlu. Dan mengapa
kamu pikir dulu aku tidak? Aku marah, Vyr. Aku marah pada diriku yang tidak
bisa menjaga kamu. Itu saja.”
Bram melanjutkan, "Aku pikir dengan bersatunya kita, kejadian yang dulu seharusnya tidak perlu diingat. Tapi dengan kejadian tadi pagi, siapa yang bisa menolak?"
Bram melanjutkan, "Aku pikir dengan bersatunya kita, kejadian yang dulu seharusnya tidak perlu diingat. Tapi dengan kejadian tadi pagi, siapa yang bisa menolak?"
“Sudah senja. Kasihan Farra, ia harus beristirahat. Kamu pun begitu.
Lakukanlah. Aku akan menunggu.”
Mas Bram kembali menghampiri Farra yang sedang asyik dengan perahu
kertasnya.
Aku harus melakukan ini secepatnya.
Perlahan aku meraih foto dalam tas kecilku. Aku memandang ngilu wajah
pria yang ada di sana.
Faisal.
Faisal.
Teman Bram.
Suami Dea.
Ayah Farra.
.... dan menyobek foto itu dalam remahan kecil.
Faisal, Farra, dan Dea tidak perlu tahu.
Kami akan bahagia. Aku dan Bram akan bahagia. Dalam rumah tanggaku sendiri. Dengan Farra dan calon adiknya di dalam perutku.
.... dan menyobek foto itu dalam remahan kecil.
Faisal, Farra, dan Dea tidak perlu tahu.
Kami akan bahagia. Aku dan Bram akan bahagia. Dalam rumah tanggaku sendiri. Dengan Farra dan calon adiknya di dalam perutku.
---
Near
dusk on empty street.
Strange
woman whom no one can reach.
Where
will she find a place to sleep?
Or a
heart that she can keep?
The
gray light of an afternoon.
Rapidly
fading into horizon.
Her
shadow curled deep into stone.
Now
she finds her way back home.
-bety-
aiiiiih.. cakep kak bety! sesuatu di akhir ceritanya juga keren banget! ;D
ReplyDeleteAih Wenny. Makasih, makasih. Tetap semangat. :))
ReplyDeleteKeren, Bet
ReplyDeletemakasih Tan... mepet banget, dan sempet2nya nyambi twiteran... ckck
DeleteMepet aja segini keren. Hebat kamu, Bet. Eh, emang aku pakai nama mantanmu? Wah, maaf kalau begitu. Hehe...
DeleteAku sukaaa....
ReplyDeleteApalagi pake nama mantan aku.. *halah curhat* ;p
simple thing make me feeling
ReplyDeleteini pada janjian menggunakan nama mantan pacar teman sebagai tokoh dalam FF apa ya?
ReplyDeletehehe.
good job, Kabet. aku paling suka sama #rhyme-nya.. :)
Errr.... iya nih, siapa ya yg pake nama mantanku aku lupa Tantri apa Anis gitu.. Thanks ya Muiz, itu rhyme dadakan :))
Delete