Danau Toba, Sumatera Utara |
Argghhhh!!!
Sudah
hampir setengah hari mondar mandir di danau ini dan tak ada satupun ide yang
tertuang dalam bentuk tulisan.
Dengan
kesal aku kembali menutup cover tablet. Kembali menyenderkan badan pada
sebatang pohon yang menaungi pulau di tengah danau. Aku menghela nafas, tampaknya
hari ini tidak lagi ada karya yang bisa aku hasilkan.
Penulis
macam apa aku?
Benar-benar
tidak bisa membayangkan tatapan menusuk yang akan dilayangkan editorku nanti.
Aku
memandang sekeliling. Hamparan air danau mulai terlihat kemerahan,
merefleksikan langit yang berada di atasnya.
Ini bukan
musimnya liburan. Namun pesona Danau Toba tetap saja menyedot pengunjung yang
ingin berwisata membelah hamparan perairan dengan perahu dan lalu menginjakkan
kaki mereka di Pulau Samosir ini.
Seperti aku
sekarang.
“Aku
benar-benar butuh waktu merenung, Ndra,” keluhku di penghujung sore dua hari
lalu. Sambil menyeruput kopi kulirik editorku. Reaksinya seperti biasa, tenang,
datar.
Dengan
ringan ia menjawab,”Kenapa tidak? Lakukan apa yang bisa membuat passion menulismu datang lagi.”
Ya. Dan di
sinilah aku.Menepi dari keriuhan kota Medan.Dengan otak
buntu. Tanpa gairah. Serba salah.
Dan tolong,
jangan tanya kenapa. Kau boeh memandang kasihan, tapi tolong jangan lemparkan
pertanyaan. Aku sedang tidak bernafsu untuk menjawab.
“Permisi,
apakah Anda tertarik membeli Apel ini? Rasanya manis sekali.”
Aku
terlonjak kaget. Seorang nenek berpakaian hitam-hitam dengan penutup kepala menyodorkan
sebuah apel merah yang ranum ke hadapanku. Tangan keriputnya sangat kontras
dengan kulit apel yang kencang.
“Maaf, Nek.
Tapi saya tidak lapar,” jawabku.
“Baiklah,
tak mengapa. Mungkin sebaiknya nenek berikan saja Apel ini pada Putri. Sejurus
kemudian si Nenek berjalan menjauhiku.
Aku kembali
duduk. Nenek yang aneh. Mengapa ia mirip sekali dengan si Nenek dalam cerita
Putri Salju. Dan siapa itu yang ia sebut Putri? Anak pemuka di daerah ini?
Ah
sudahlah. Perlahan aku menutup mata.
“Kakak…
maaf mengganggumu. Apakah Kakak ada melihat selendang di sekitar sini? Warnanya
merah.” Tiba-tiba seorang gadis berkebaya putih membuyarkan lamunanku.
Cantik. Aku
sontak berdiri. Tunggu, tapi ada kesedihan dan ketakutan di wajahnya.
“Maaf, Dik.
Tapi saya tidak melihat. Selendangmu?”
“Bukan,
Kak. Itu selendang Bawang Merah yang hanyut saat sedang kucuci. Ah, mereka
pasti akan memarahiku,” isaknya.
Hah? Bawang
Merah? Masih ada orang yang menggunakan nama itu di daerah sini? Hei, gadis ini
benar-benar menangis..aku harus bagaimana?
“Kalau
tidak keberatan, saya bisa membantu mencari,” aku berusaha menenangkan gadis di
hadapanku.
“Tidak
perlu, Kak. Saya bisa sendiri. Saya harus mencarinya sekarang. Terima kasih.”
Bergegas ia berlari kecil.
“Hei…Semoga
selendang merah itu ketemu ya dik…siapa namamu?”
“Bawang
Putih, Kak. Aku Bawang Putih,” teriaknya.
Serius?
Namanya Bawang Putih? Aku mengamati tubuhnya yang semakin menjauh.
Sore yang
aneh.
Tiba-tiba aku
mendengar senandung lagu anak-anak yang semakin mendekat. Dari kejauhan seorang
gadis kecil mengenakan jaket bertudung kepala warna merah melambaikan tangan
kepadaku.
Aku
menegakkan badan. Siapa dia? Apakah aku kenal?
“Paman,
apakah Paman tahu, baru saja aku bertemu dengan serigala sewaktu berkunjung
rumah Nenek? Serigalanya nakal, dia mau mengganggu aku dan nenek.” Ia berceloteh
riang.
Serigala? Memang
ada serigala di sekitar sini? Aku terkejut.
“Tapi
sekarang serigala sudah baik. Tenang saja. Oh, sudah sore, aku pulang dulu ya.
Dah Paman.” Riang ia berjalan menjauhiku.
Aku benar-benar
kaget. Ada apa ini? Apa aku mengalami halusinasi? Siapa mereka? Apakah mereka
penunggu pulau ini?
Ah, pasti
ini mimpi. Pasti aku tertidur. Aku memandangi langit yang semakin memerah. Sudah
saatnya aku pergi dari pulau ini.
Aku berdiri,
berjalan menuju deretan perahu sambil menundukkan kepala. Jangan, kumohon
jangan ada yang bertanya lagi kali ini. Sore hari ini sudah cukup membuatku
bingung.
Pasti!
Semua ini pasti karena Mawar! Si bunga merah yang sudah menusukku dengan
durinya. Seharusnya aku bisa melupakan dia. sejak berbulan lalu. Tolol sekali aku masih terjebak masa lalu dengannya.Bangun, hei bangun! Hadapi hidupmu sendiri!
“Maaf,
apakah aku boleh bertanya,” sapa seseorang.
Oh, tidak
lagi. Aku mendongakkan kepala melihat siapa yang berani menggangguku dengan
pertanyaan konyol.
Aku terkejut. Dia. Editorku.Sosoknya berbaur dengan langit Danau Toba yang memerah.
“Sudah
bertapanya? Jadi, kapan kita bisa memulai lagi?” tanyanya lembut.
Berdiri anggun
dihadapanku. Andra. Berkerudung merah.
Baru aku
sadar. Dia begitu cantik. Dan dia yang begitu memahamiku selama ini.
Merah.
Semua merah
ini pertanda. Aliran darahku kembali terpacu menuju hati.
Ah, persetan dengan Mawar.
"Kapan bisa mulai? Bagaimana kalau saat ini juga?" tantangku.
Senyum Andra merekah. Ia menganggukkan kepala, dalam balutan kerudung merah.
--
Hahahahaha.. kompilasi yang kocak! keren!
ReplyDeleteIyah, itu yg kepikiran wen. Maksa ya? hehe tq
DeleteWow menggabungkan legenda2 nih..
ReplyDeletehmmm jadi Andra itu cewe ya Bet?
iya, maksa banget ya? Yup Andra cewek
DeleteHaha...
ReplyDeleteTernyata kita tak perlu untuk mencari cinta.
Berikan saja waktu dan hatimu agar cinta dapat melihat dan menemukanmu...
Betul, Ben. Tq for reading :)
DeleteWah halusinasinya (mimpinya) dari berbagai dongeng ternyata.
ReplyDelete