Dia mulai meracau lagi. Kata demi
kata. Laporan tahunan, pendapatan perusahaan yang terus menurun, bla bla bla. Ada
beberapa orang yang bisa kau dengarkan ocehannya terus-menerus. Seakan suara
mereka dengan mudahnya meresap ke dalam seluruh pori-pori tubuhmu, meskipun
kamu sebenarnya tidak mau. Aku kenal dengan salah satunya. Dia sedang berdiri
di depanku.
Sekarang ia memaksaku
mendengarkan ocehannya mengenai
bagian pemasaran. “Apa yang
dikerjakan mereka setahun ini? Satupun tak ada proyek yang lolos. Apa aku harus turun
langsung?” bentaknya sambil mendelik.
Ah, dia kembali mengisi ruangan ini dengan gas beracunnya, menciptakan polusi
bicara. Dan aku tidak bisa membuka jendela untuk
membersihkan udara.
Jadi, aku pecahkan saja kacanya dan melemparkan tubuhnya keluar jendela.
Jadi, aku pecahkan saja kacanya dan melemparkan tubuhnya keluar jendela.
--
#111Kata
File under : Polusi
Dear Aunty,
ReplyDeleteEntah kenapa, aku merasa konflik di cerita ini kurang kuat. Emosi seorang AKU kurang terasa. Mungkin akan lebih kuat, kalau ada rutukan-rutukan keras nan pedas.
Tapi dari segi ide, polusi bicara, aku baru dengar kali ini. Anti mainstream, hehehe
Semangat! :D
Justru memang aku jaga supaya tampilan emosi AKU datar, karena sudah kapalan dengan omelan-omelan. Semacam "berdarah dingin". But anyway thank you. :))
DeleteAku suka ceritanya, walaupun konfliknya kurang dramatis, tapi karena simpel jadi dekat dengan sehari-hari..
ReplyDeleteBlognya keren, Aunty Bety.. Girly sekali... :D
Salam kenal, :)
Terima kasih sudah berkunjung, Mas Harry. Aku sengaja tidak menggali konflik yang berapi-api di sini. Aku mengangkat "kegilaan yang tersembunyi". Begitulah. Memang seharusnya si Peracau bisa dibuat lebih ngeselin lagi. Tapi anggaplah aksi nyebelinnya sudah dipaparkan di episode-episode sebelumnya (lah, ngasal. hahaha).
DeleteSekali lagi, makasih sarannya.:))