cerita sebelumnya -> Sambungan Hati Jarak Jauh http://auntybety.blogspot.com/2013/01/sambungan-hati-jarak-jauh.html?spref=tw …
Evran
Minggu, 2 Desember 2012
"Lawan dari cinta tuh
bukan benci Evran, melainkan ketidakpedulian. Ketika seseorang yang kamu sayang tidak lagi
peduli tentang apa pun mengenai kamu, saat kamu tahu bahwa kamu telah kehilangan dia. Nah,
saat itu lah cinta tak lagi mau berteman denganmu."
Aku berharap seseorang mengatakan kepadaku mengenai hal tersebut sedari awal. Aku kacau. Lebih buruk lagi, aku tidak mengerti harus bagaimana. Aku harus mendapatkan perhatian Darlene kembali dengan segala cara. Aku kangen dia. Aku kangen mengetahui bahwa Darlene juga memikirkan tentang aku. Aku kangen memeluk tubuhnya yang ramping. Aku kangen membelai rambutnya yang harum. Aku kangen melihat dia tersenyum. Aku kangen mengusap kepalanya saat ia bersandar di bahuku sambil menikmati film di bioskop. Aku kangen menemani dia berburu objek fotonya. Aku kangen melihat dia mengangguk-anggukan kepala mendengarku bercerita tentang pekerjaan. Aku kangen mendengar dia berceloteh tentang apa saja, bahkan tentang kucing tetangganya yang hobi kawin.
Dan bahkan kata-kata terakhir Darlene yang kudengar masih jelas aku ingat.
“Kamu
pengen ngeliat aku nangis di sini, Mas?”
Aku belum pernah melihat atau mendengar dia menangis secara langsung. Darlene tidak akan memperlihatkan kesedihannya di depan orang lain. Tapi apa maksud kata-kata dia di pembicaraan terakhir kami? Sebelum aku sempat menjawab. Darlene mematikan teleponnya. Dia belum pernah semarah itu. Dia belum pernah sekasar itu. Dia belum pernah menolak aku seperti itu.
Aku belum pernah melihat atau mendengar dia menangis secara langsung. Darlene tidak akan memperlihatkan kesedihannya di depan orang lain. Tapi apa maksud kata-kata dia di pembicaraan terakhir kami? Sebelum aku sempat menjawab. Darlene mematikan teleponnya. Dia belum pernah semarah itu. Dia belum pernah sekasar itu. Dia belum pernah menolak aku seperti itu.
Ini
adalah hari ke enam dia tidak mengangkat panggilan maupun membalas pesan
dariku. Aku
benar-benar kacau semingguan ini. Isi kepalaku hanya seputar dia, dia, selalu
dia.
Aku bertemu Darlene
dan jatuh cinta dengan
tawa hangat dan senyumnya. Dia sederhana, penampilannya klasik dan murni. Tak
ada yang dipaksakan dan imitasi dalam dirinya. Tak berlebihan namun kita
dapat melihat dia wanita berkelas. Pertama bertemu dia, aku sudah merasa
nyaman. Dia tidak mengintimidasi meski pertemuan kami saat itu diliputi suasana
yang tegang. Dia adalah salah satu bagian tim konsultan hukum yang sedang menangani perkara
yang melibatkan perusahaan tempatku bekerja. Cara bicaranya yang teratur dalam
memaparkan analisa dan hasil pikirnya membuat kami yang tidak terlalu paham
seluk beluk hukum menjadi lebih mengerti.
Dengan sikapnya yang ramah, tak sulit
mendekati dia. Namun butuh lebih dari tiga bulan pendekatan untuk dia yakin
bahwa aku ingin menjalin hubungan yang lebih dari pertemanan dengannya. Semua berjalan
lancar selama tahun pertama. Darlene membawa udara segar dalam kehidupanku yang
monoton sebagai head manager tempatku
bekerja. Dengannya aku bebas menjadi diriku yang
sebenarnya tanpa takut
dihakimi. Dan tanpa
diduga, aku bisa menjadi lebih ekspresif dalam hal mengungkapkan perasaan pada
wanita.
Semua
berjalan lancar, sampai Darlene diminta menjadi rekanan salah satu firma hukum di Bandung.
“Semua
akan baik-baik saja,” jawabku.
“Tentu
saja, Mas. Jarak Jakarta-Bandung bukan masalah. Tapi kita harus ingat komitmen
awal kita. Komunikasi. Kalau ada waktu senggang atau kejadian-kejadian yang
perlu kita saling tahu, wajib dikabarkan. Deal?”
Kami
saling mengaitkan kelingking, tertawa, lalu berpelukan.
Setelah itu selalu
ada pesan atau telepon mesra dari Darlene atau aku setiap hari. Setidaknya pagi
menjelang ke kantor dan malam menjelang tidur, kami berlomba untuk menjadi
orang yang pertama menghubungi satu sama lain.
Pada
tahun kedua, aku tak lagi pernah menjadi si pertama. Seiring dengan promosi
yang kudapat, kesehatan bunda tak lagi prima. Sebagai anak lelaki satu-satunya,
bunda pun menjadi lebih manja padaku. Untuk Darlene, hampir aku tak lagi
mempunyai waktu.
Tapi
Darlene tetap mengerti. Termasuk sabar menunggu agar bunda mau menerimanya
menjadi menantu. Bunda, yang ingin anak lelaki satu-satunya menikahi wanita ningrat
Jawa seperti darah yang mengalir dalam tubuhnya. Bunda yang tak ingin memiliki menantu berdarah Sunda. Bunda, yang dua bulan kemarin
mengenalkan calon menantu pilihannya sendiri, Batari.
Ah,
padahal Darlene mendekati sempurna. Setidaknya bagiku. Dia adalah pasangan yang ideal dan aku mengacaukannya. Dan
sekarang aku sangat merindukan Darlene.
Hari ke enam. Dan aku kembali
mengirimkan pesan suara.
“Sweety, Mas tahu kamu masih marah." (Aku menghela napas) "Mas akan ke rumahmu sekarang. Mas mohon kamu
mau ketemu Mas. Kita bicara. Love you.”
KLIK.
Kuambil kunci mobil dan kuhiraukan suara bunda yang memanggilku dari balkon lantai dua.
Maaf bunda, aku punya rasa kangen yang harus dibalas oleh orang yang kucinta.
Kuambil kunci mobil dan kuhiraukan suara bunda yang memanggilku dari balkon lantai dua.
Maaf bunda, aku punya rasa kangen yang harus dibalas oleh orang yang kucinta.
---
_bersambung_
No comments:
Post a Comment