nuuria.tumblr.com |
Cerita sebelumnya --> auntybety.blogspot.com/2013/01/pukul-2-dini-hari.html?spref=tw
JHON
Minggu, 25 Nopember 2012
Membelah jalan Setiabudhi menuju PVJ pada hari Minggu tidaklah semudah menemukan gerai makanan di Bandung. Kita harus benar-benar memperhitungkan macet sebagai kemungkinan dengan nilai probabiliti nyaris 100 persen. Bahkan saat waktu masih terbilang pagi seperti ini. Jadi, jika bukan karena memiliki janji dengan Bagus partner kerjaku untuk bertemu calon klien baru, aku akan lebih memilih mengerjakan tugasku di kamar.
Lima
belas menit sebelum waktu yang disepakati, aku sudah memarkir mobilku di lahan
parkir pusat perbelanjaan terbesar di kota Bandung ini.
Aku
mengambil ponselku. Ah, baru aku sadar aku lupa mengisi baterenya
sebelum pergi. Cepat aku menekan nomor telepon Bagus. “Aku sudah sampai. Kamu di
mana ini?” Bagus mengatakan ia masih terjebak kemacetan di sekitar jembatan
Cikapayang.
Dengan
ransel tersampir di bahuku, aku langsung menuju ke sebuah kafe yang cukup
terkenal. Sejauh mataku memandang, banyak sekali orang yang berlalu lalang. Aku
harus memiringkan tubuhku dan berbagi ruang saat melalui jalan setapak yang
memisahkan tempat duduk-duduk dengan deretan restoran.
Aku
sampai di depan tempat yang kutuju, tersenyum pada pelayan yang menyambut di
depan area duduk kafe. Ia mempersilahkan aku untuk duduk. Aku menebarkan
pandangan ke sekeliling. Cukup banyak tempat yang masih kosong. Tapi yang
kubutuhkan adalah tempat duduk yang dekat dengan stop kontak demi dapat
menyolokkan kabel ponsel.
Lalu
aku melihat dia di sana. Dia duduk
di meja di ujung kafe. Tangannya terlihat menggoreskan sesuatu
dengan lincah di atas buku yang tampak seperti
buku sketsa. Mejanya adalah satu-satunya tempat
yang terletak dekat stop kontak. Tidak
bisa tidak. Aku harus menyapanya. Untuk dua alasan. Pertama, karena aku akan
berada dalam jangka waktu yang cukup lama di tempat ini dan sepertinya mustahil
jika kami tidak bertemu pandang dalam jangka waktu tersebut. Jadi rasanya
kurang sopan jika tidak menghampirinya sekadar mengucap hai dan melemparkan
senyuman. Kedua, aku benar-benar memerlukan stop kontak dan kupikir menyapa dan
kemudian berharap diundang untuk bergabung duduk dengannya bukanlah hal yang
buruk.
Sebenarnya
ada alasan ketiga yang justru paling penting menurutku. Ia tampak begitu cantik
dengan keseriusannya dan aku ingin tahu apa yang menyita seluruh perhatiannya
alih-alih menikmati minuman yang ada di mejanya.
Perlahan
aku mendekatinya. Dengan suara lembut menyapa. Bukan, bukan ingin meninggalkan
impresi positif. Semata aku tak ingin mengagetkannya.
“Hai.”
Ia mendongakkan kepalanya. Sekarang terlihat apa yang sedang ia kerjakan. Ah,
sebuah sketsa. Sketsa wajah seorang pria.
“Oh,
hai,” jawabnya tersenyum. Ia melepas kacamata tulangnya yang berwarna cokelat.
Dari jarak sedekat ini, kebangiran hidungnya mampu membuat aku terpukau untuk
beberapa mili detik.
“Sendirian?”
Dan pertanyaan bodoh itu meluncur dari mulutku.
“Untuk
saat ini ya. Sedang menunggu teman.”
Oh…
ternyata dia sudah punya janji. Entah kenapa dadaku terasa terbakar. Tak
mungkin aku cemburu. Atau, mungkin saja?
“Maaf,
kalau begitu boleh aku memakai stop kontaknya?” tanyaku menunjuk arah bawah
meja yang berdempetan dengan pilar kayu.
Ia
ikut menoleh. Memperhatikan sejenak dan mengangguk. “Tentu saja, silakan.” Ia
berdiri dan sedikit memberi sedikit ruang padaku.
Aku
mengeluarkan charger dari tas,
menusukkannya ke stop kontak, dan menghubungkan ujung satunya pada telepon
selulerku.
“Terima
kasih, Darlene.”
“You’re welcome, Jhon. Mau duduk di
sini?” tanyanya sambil kembali duduk di kursi.
“Tidak
masalah? Bukankanya kamu sedang menunggu teman?” Dalam hati aku berteriak
kegirangan.
“Sepertinya
dia akan terlambat untuk waktu yang cukup lama. Biasalah, lalu lintas Bandung
kurang bisa diprediksi di akhir minggu seperti ini.” Ia melambaikan lengan
kearah kursi di seberang tempat ia duduk. Mempersilakan aku.
“Terima
kasih banyak,” aku tertawa, “Teman-temanku juga terjebak macet. Jadi, tidak
keberatan jika aku ikut melakukan kegiatan di sini?” Aku duduk di seberang kursinya.
“Tentu
saja tidak. Ini tempat umum, lho. Silakan.” Ia tersenyum.
Sembari
membuka layar laptop, aku menyuri tatap ke arah sketsa yang sedang ia buat. Tampaknya
sudah selesai. Pria yang gagah. Ia menuliskan sesuatu di pojok kanan bawah. Much
Love, Darlene. Tampak
menyadari arah tatap mataku, dengan perlahan ia menutup buku sketsa dan
menyimpannya di atas kursi sebelah.
Siapa dia? Aku pura-pura sibuk memperhatikan layar laptop di depanku. Tapi pikiranku tak lagi bisa terfokus. Sejurus kemudian ponsel Darlene berbunyi. Ia melihat ke layar ponselnya dan tersenyum.
"Hai, Honey..."
Siapa dia? Aku pura-pura sibuk memperhatikan layar laptop di depanku. Tapi pikiranku tak lagi bisa terfokus. Sejurus kemudian ponsel Darlene berbunyi. Ia melihat ke layar ponselnya dan tersenyum.
"Hai, Honey..."
Kepalaku mendadak pusing. Honey, pria di dalam sketsa... Damn!!! Apakah aku cemburu?
---
-bersambung-
Cerita sebelumnya --> auntybety.blogspot.com/2013/01/pukul-2-dini-hari.html?spref=tw …
No comments:
Post a Comment