Umpatnya
kepada bulir-bulir hujan yang serentak turun mencumbui bumi di tengah-tengah
senja yang panas. Bergegas pria dua puluh tujuh tahun itu berlari menghampiri
halte di persimpangan jalan yang memang menjadi tujuannya.
Rutukan
berlanjut pada kebodohannya yang telah melupakan payung atau jas hujan di musim
yang tak bersahabat seperti ini, dan mengindahkan keberadaan mereka di salah
satu pojok kamar kost-nya. Lunglai matanya terpekur pada sepatu kulit
berharga jutaan yang baru ia tebus dari etalase toko dengan mengorbankan
seperenam gajinya dalam sebulan.
Tak bisa diharapkan. Keras ia menghentakkan pukulan kepada kepalanya.
Sibuk jemari tangan kanannya membasuh basah yang melekat pada tas kerja dari
kulit sapi miliknya.
Sang
pria mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tak banyak yang berteduh di sana.
Hanya ada penjual asongan, penjual koran, kanak-kanak pengojek payung yang
semringah mengikuti penyewanya. Dan
seorang wanita dalam balutan gaun hitam.
Tentu
saja, pikir sang pria, saat ini kebanyakan pekerja sudah menduduki
tempat yang nyaman di dalam kendaraan, atau bahkan sudah bergelung dengan
hangatnya secangkir teh dan pisang goreng yang mengepul di rumah mereka.
Kenapa juga mobilnya mesti masuk bengkel?
Dasar mobil tua! Si pria mendesah. Yah,
ibarat manusia yang sudah uzur, seharusnya si abu sering-sering melakukan
medical check-up.
DHUAAARRRR!!!
Bunyi
petir yang membelah angkasa tanpa pesan sukses mengagetkan lamunan
pria muda dan wanita bergaun hitam. Cepat sang wanita memundurkan tubuhnya
semakin menjauhi bibir jalan. Lebih rapat ke arah pria muda.
Cantik. Wanita itu cantik dengan caranya. Sang pria memberikan penilaian sekilas. Gaun turtle neck abu-abu tua yang dipakainya,
jodoh yang sangat serasi dengan terang
yang berasal dari sambaran kilat. Sepatu kulit hitamnya yang berhak 5 senti
bergaya klasik. Seklasik bentuk tubuh yang ditopangnya. Tas oversized abu-abu dari kulit ular,
menandakan ia wanita berkelas. Rambut hitam mengkilatnya digelung tinggi. Si
pria bertaruh, wanita ini memiliki leher kuning langsat yang sangat jenjang.
Setidaknya itu bisa ia perkirakan dari sedikit kulit bagian lehernya
yang tersingkap angin. Kakinya yang juga jenjang tampak gemetar menahan dingin
air hujan yang menghambur ke arah tubuhnya. Mungkin saat ini sang wanita
berpikir akan lebih baik jika pagi tadi ia memilih untuk memakai setelan celana
panjang alih-alih gaun sebetis yang saat ini ia kenakan.
Kasihan. Kata
si pria dalam hati sembari mengamati wanita dari sudut matanya. Dia terlihat menggigil. Begitu dinginnya kah
sampai-sampai ia menitikkan air …. Tunggu, benarkah itu?
Si pria
mengamati lebih seksama. Sang wanita perlahan menyusut bagian bawah matanya. Air hujan atau air yang bersumber dari
kedalaman matanya kah yang saat ini mengaliri tulang pipinya yang tirus?
Sang
wanita semakin menundukkan kepalanya. Bagian belakang lehernya sekarang terlihat
lebih jelas. Tangannya membetulkan gelungan ramburnya yang sempat mengendur.
Sang pria harus mengakui, cara wanita menggerakkan kepalanya sangat gemulai.
Bak penari yang sedang memvisualisasikan kesedihan seorang bidadari yang tak
bisa pulang ke kahyangan tersebab terhalang hujan.
Ah, pikiranku mulai melantur. Tersenyum sang pria mengenyahkan bayangan wanita
dalam bentuk bidadari dari kepalanya. Sekilas wanita menoleh ke arahnya. Sang
pria melontarkan senyuman kikuknya. Oh,
apakah ia menyadari bahwa ia sedang menjadi sumber perhatian mataku? Sang
wanita membalas dengan senyum segaris.
Oke, mungkin ia sedang khawatir memikirkan
keluarganya di rumah. Mungkin ia sedang merindukan anaknya. Pekerjaan menjelang
akhir minggu memang menguras tenaga dua kali lipat dari biasanya. Tentu saja ia
berharap dekapan keluarga yang hangat setidaknya bisa mengurangi lelahnya. Tapi
mengapa ia menangis?
Ah, apa perduliku? Pria muda mendengus.
Sudah
hampir tiga puluh menit. Hujan belum menampakkan tanda-tanda akan berhenti. Tiba-tiba
sebuah taksi kosong melintas di hadapannya. Satu-satunya taksi yang nampak. Tanpa
pikir panjang, pria muda berlari sambil melambaikan tangan.
Begitu juga sang wanita. Mereka membuka pintu taksi bersamaan. Si pria bergerak mundur. Sang wanita menatapnya. “Sharing?” Wanita memberi tawaran.
Begitu juga sang wanita. Mereka membuka pintu taksi bersamaan. Si pria bergerak mundur. Sang wanita menatapnya. “Sharing?” Wanita memberi tawaran.
Pria
muda mengangguk. Bersamaan mereka menduduki kursi belakang. Pria bertanya tentang tujuan wanita dan menyampaikannya kepada sang
sopir.
Wanita menggeser duduknya mendekat jendela dan menatap ke arah jalan. Oke, sekarang akan bagaimana? Tanya pria dalam hati. Lalu hening.
Wanita menggeser duduknya mendekat jendela dan menatap ke arah jalan. Oke, sekarang akan bagaimana? Tanya pria dalam hati. Lalu hening.
Satu menit kemudian….
“Maaf
merepotkan.” Tiba-tiba wanita menoleh ke arah pria.
“That’s ok. Oh ya, kenalkan. Jhon.”
Wanita menyambut
uluran tangan pria dan menyebutkan namanya.
Pria
muda tertawa dalam hati. Tebakannya setengah jam yang lalu salah.
Tak ada
cincin di jari manis sang wanita.
---
-bersambung-
yes! asik ;)
ReplyDeleteMakasih sudah mampir. Makasih juga komennya. Mudah-mudahan bisa bikin lanjtan ceritanya. :)
DeleteAunty... lama nggak main kesini hehe :D
ReplyDeletedann..
tulisan Bety yg mana yg ga asik? :)
Makasih, Risna. *Uhuk* Berlebihan, ah.... Baru nulis lagi nih. Rencananya bersambung. Semoga bisa klop dengan temanya.
Deletekeren... deskripsinya detail banget ^^
ReplyDeleteWah, dikomentarin Adit. Makasih sudah membaca. Awalnya khawatir kepanjangan. Mepet 700 kata ini. Kita sama2 bikin cerbung, ya. Mudah2an alurnya bisa klop dengan judul. Sekali lagi, TY for reading. :')
Delete