mariey.deviantart.com |
JHON
Senin, 26
Nopember 2012
Di era digital seperti ini, tak sulit mencari
informasi tentangnya. Evran Prayoga. Selesai mengetikkan namanya di kolom
pencarian, deretan informasi bermunculan, termasuk fotonya. Darlene memang
berbakat, harus aku akui wajah asli Evran dan gambar Darlene memiliki banyak
kemiripan.
Aku membuka akun LinkedIn miliknya. Lelaki ini bukan
orang sembarangan. Pengalaman kerja dan posisinya patut diperhitungkan.
Dammit, Jhon. Tentu saja lelaki luar biasa untuk
wanita luar biasa.
Ingin kusudahi saja rasanya. Semakin banyak
mengetahui informasi tentang Evran membuatku semakin iri dengan pria itu. Tapi
kesadaran bahwa aku belum mendapatkan informasi tentang Darlene membuatku tetap
bertahan. Kutelusuri satu persatu nama dalam jaringan Evran.
That’s her! Aku mengenali wajah cantik itu. Darlene
Marthahidayat. Master of Law Monash University. Well well, lawyer yang berbakat jadi artis. Damn cool.
Ok, take a breath Jhon. You have
to do this. Darlene
pasti saat ini kebingungan mencari buku sketsanya. Argghh!!! Entah kenapa
tiba-tiba aku menyesal telah membawa buku itu dan tidak menitipkannya di kafe.
Aku menekan beberapa angka di layar ponselku. Menelepon
seseorang tak pernah sesulit ini.
--
Jadi, di sinilah aku sekarang. Siapa bilang hari
Senin itu menyebalkan? Buktinya Darlene sepakat bertemu denganku selepas
Maghrib di kafe yang terletak di jalan Riau ini. Aku tersenyum getir.
Satu-satunya yang menyebalkan adalah kenyataan bahwa wanita yang sekarang duduk
di depanku ini sudah memiliki kekasih.
“Terima kasih, Jhon. Sekali lagi aku telah
merepotkan.”
“Merepotkan apanya? Tidak kok. Hanya jangan tanya
bagaimana aku bisa menghubungi kamu.” Aku melirik sampul buku sketsa.
Darlene tersenyum. Kecut. Aku merasa aku sudah
melakukan kesalahan.
“Ehm… Sudah lama menekuni gambar?”
“Ah, sekadar hobi. Menurutkmu menggambar adalah
salah satu pelarian manis dari rutinitas. Semua orang butuh itu bukan untuk
tetap waras?”
Aku mengangguk.
“Kamu sendiri?”
“Aku juga senang menggambar. Tapi lebih ke gambar
teknik. Tuntutan pekerjaan soalnya.”
“Kamu…”
“Arsitek.”
“Wow!!!”
“Wow?”
“Yes, wow. Aku selalu menyukai arsitektur. Bahkan
sewaktu kecil aku bercita-cita menjadi arsitek atau desainer interior. Tapi
Jhon Grisham berhasil membelokkannya. Jadi nyemplung di Hukum.”
Percakapan kami terhenti. Ponsel Darlene berbunyi.
Pesan. Dia membaca dengan dahi berkerut. Entah mengapa, sepertinya dia sedih. Cukup
lama matanya terpaku pada layar ponsel. Syukurlah pramusaji datang membawakan Cheese Roll Pancake, Kim's Green
Sausage Spaghetti, Blueberry Lemonade, dan Guava Lemonade. Aku tak perlu merasa
kikuk terdiam menunggunya.
Sambil menyesap Guava Lemonade, iseng
aku membuka aplikasi twitter dan menulis twit.
RestlessJ So, here I am sitting in front of
her. Kindda an awkward moment. But hey, she’s a lawyer into architect too.
Surprise..surprise
Lalu mataku tertumbuk pada satu twit
sebelumnya.
SecretDarling Get my sketch book back, dear. But sorry, can not reach you right now.
No! Ini tidak mungkin. Dadaku
berdebar kencang. Aku mengangkat kepalaku dan memandang ke kursi depan. Darlene
sedang memandangku dengan pandangan menyelidik.
Ponselku berbunyi, notifikasi
twitter.
@RestlessJ
Is that you Jhon?
Sebisa mungkin aku menahan tanganku
yang memegang ponsel untuk tidak gemetar. Aku melirik jam di pergelangan
tanganku. Kepalaku tertunduk. Entah harus merasa senang atau sedih dengan
kenyataan ini. Mendadak aku ingin tertidur dan
berharap ini mimpi.
Seseorang, tolong bangunkan aku pukul
tujuh.
--
Sabtu, 1 Desember 2012
Bangunkan aku pukul
tujuh.
Pesan dari Darlene masih mampu
membuat aku tersenyum. Kejadian di kafe seminggu lalu sempat membuatku berpikir
bahwa hubungan pertemanku dengannya di twitter menjadi renggang. Ternyata
tidak. Darlene justru terlihat gembira mengetahui aku adalah teman baiknya di
dunia maya.
“So, when can I see your masterpiece?” Darlene
bertanya smabil menikmati Cheese
Roll Pancake pesanannya.
“What masterpiece?” Aku tertawa. “Sabtu? Kamu bisa membawa kamera.
Mungkin saja ada objek yang menarik.”
Darlene mengangguk. “Setuju. Sekalian
cuti sakit hati.” Lalu di tertawa.
Aku pun tersenyum. Sampai saat ini.
Aku menekan nomornya. Lama tak ada jawaban. Saat aku
hampir menutup, terdengar suara Darlene.
“Hallo…” Seperti orang kesakitan.
“Hei, are you
okay? Aku ganggu nih?”
“Hai Jhon. Nggak, tadi papa. Semalam aku jatuh dari
kasur.”
“Terus?”
“Terus benjol.”
“Ya ampun. Istirahat gih. Kalau masih pusing, kita
bisa tunda kapan-kapan.”
“Enggak, Jhon. Aku nggak papa. Jam delapan?”
“Serius? Oke, aku jemput jam delapan.”
Aku menutup telepon. Tugasku membangunkannya pukul
tujuh sudah terlaksana. Tugas berikutnya menunggu. Menaklukkan hatinya.
--
_bersambung_
--
_bersambung_
No comments:
Post a Comment