Sabtu, 8 Desember 2012
Untuk
kedua kalinya aku menghabiskan Sabtu dengan dia. Darlene, atau yang sekarang
kerap kupanggil Dhee. Sejujurnya aku lebih suka memanggilnya Darl, tapi
siapalah aku ini. Tak lebih teman lama yang akhirnya bertemu muka. Tak lebih.
Meski sepenuh hati aku ingin memilikinya.
Aku
tidak tahu kapan tepatnya perasaanku terhadapnya naik ke level yang lebih
tinggi dari sekadar teman dunia maya. Kupikir sudah sejak lama, saat aku
mengenalnya sebagai Dhee. Dan semakin menjadi saat kudapati kenyataan bahwa dia
adalah Darlene.
Aku
tak mau menebak-nebak. Tapi hatiku menginginkan lain. Dia bersekutu dengan
otakku untuk menganalisa apa yang sebenarnya terjadi antara Dhee dan Evran.
Dhee tak pernah membicarakan kehidupan pribadinya. Bahkan akun twitternya pun
bukan akun resmi.
Aku hidup dalam
dunia dimana sedikit celah kehidupan pribadi berarti banyak bagi orang lain,
terutama musuh.
Aku
paham. Jadi dengan sedikit data dan berdasarkan fakta, aku mencoba
mengkonstruksikannya untuk mengambil kesimpulan.
Hubungan
Dhee dan Evran sedang bermasalah.
Setidaknya
kesimpulanku didukung oleh bahasa tubuh Dhee sendiri. Dia tidak seekspresif
minggu lalu. Meski saat ini kami melakukan kegiatan kesukaannya, berburu objek
foto, namun dia tampak tak bersemangat. Dia tersenyum, tapi senyum murung.
Tapi
aku tahu, aku tidak boleh bertanya. Termasuk saat ini, ketika ia terpaku
berdiri di depan Masjid Raya Bandung. Di bawah kerlipan bintang-bintang yang
menghiasi langit. Tak ada mendung malam ini.
Hampir
seperempat jam ia berdiri mematung tanpa kata. Tanpa membidikkan lensanya. Aku
bergeming, kupikir Dhee memang benar-benar sedang memikirkan sesuatu saat ini.
“Jhon,
ini adalah tempat di mana orang tuaku dulu melangsungkan akad. Februari tahun
1980.” Tiba-tiba ia bersuara. Tatapannya tetap terarah pada gedung di hadapan
kami. “Oma pernah cerita, saat itu mama mengenakan kebaya Sunda sederhana
dengan selendang putih yang indah. Kata Oma, ia sendiri yang menjahitkan kebaya
itu, dan mama yang menambahkan payet dan manik pada kebaya dan selendangnya.
Rambut mama yang ikal digelung dan diselipkan melati di antaranya. Papa
mengatakan ia belum pernah melihat sesuatu yang begitu indah sebelum ia melihat
mama pada hari itu. Oma menangis. Opa menangis. Tapi kemudian mereka tersenyum
ketika papa lancar mengucapkan ijab kabulnya. Karena Oma dan Opa tahu, bahwa
mereka telah menitipkan anak gadis mereka pada orang yang tepat, yang selain
dicintai mama, ia pun memiliki cinta yang besar terhadapnya. Sampai saat ini
aku melihat cinta di antara mereka tetap ada. Seolah tidak pernah layu.
Dan kamu tahu Jhon?” Dhee menatapku. “Ada satu tujuan yang ingin kucapai dan
kuharap aku bisa mewujudkannya. Aku ingin menemukan kesempurnaan seperti
pernikahan orang tuaku.”
Matanya
tajam, lurus menatapku. Tapi pandangannya kosong. Aku tak melihat Dhee yang
biasanya hangat. Tidak. Ada sesuatu yang lain di matanya. Lalu dia tersenyum.
Seakan tak terjadi apa-apa.
Aku
mencoba untuk mengucapkan kata-kata yang sedari tadi tertahan di tenggorokanku.
Tapi aku tak bisa. Aku tidak tahu apa yang menahannya. Apakah sorot matanya
yang tajam dan mampu membuatku hanyut di kedalamannya? Apakah lengkung
senyumnya yang seakan meremukkan semua tulang di tubuhku? Apakah tutur katanya
yang sendu membuai sampai aku lupa deretan kata yang sudah kupersiapkan dalam
otakku sedari tadi?
Berhenti,
Dhee. Berhenti menatapku seperti itu.
Dia
masih menatapku. Dengan mata almond-nya. Seolah dia tidak tahu bahwa otakku
saat ini sedang mengalami guncangan hebat. Selaksa tembok pesisir pantai yang mencoba
menahan gempuran pasang. Buih-buih air laut yang memecah adalah deretan kata
yang tak lagi lagi bersedia mengantri. Semua ingin terdengar oleh dua
telinganya yang cantik.
Damn!
Aku
mencoba untuk mengucapkan kata-kata yang sedari tadi tertahan di tenggorokanku.
Tapi aku tak bisa. Dia telah menghisap semestaku.
“Ah,
aku tadi bicara apa Jhon?”
“Mintalah
pria yang mencintaimu untuk melamarmu, Dhee.” Entah darimana kata-kata itu
keluar. Aku tak bisa menahan lagi.
Dhee
menatapku dengan terkejut. Lalu tertawa. “Ah.. tapi siapa, Jhon?”
Shit.
Aku
ingin mengucapkannya. Tapi aku tak bisa. Dia masih menatapku. Aku hanya bisa
menggendikkan bahu dan tertawa.
“Sudah
terlalu malam, Jhon. Yuk pulang.”
Dia
membalikkan badannya menuju parkiran. Dan aku sekali lagi menelan ludah. Entah
aku harus bersyukur atau menyesal. Tapi yang jelas, aku tak berani
mengungkapkannya.Tak berani mengungkapkan bahwa seharusnya Dhee berlabuh pada
hati yang benar-benar mencintainya. Aku.
Lalu
kesadaran itu muncul. Sekarang atau tidak sama sekali. Aku berlari ke arahnya.
Dengan gugup kugenggam kedua tangannya.
"Dhee…di
depan rumah ibadahmu, atas nama Tuhanku, AKU MENCINTAIMU!"
---
_Bersambung_
No comments:
Post a Comment