cerita sebelumnya : Bales Kangenku Dong! http://auntybety.blogspot.com/2013/01/bales-kangenku-dong.html?spref=tw …
EVRAN
Jumat, 21 Januari 2011
Dinner with Darlene? Seketika jantungku berdetak lebih cepat. Aku memandangi surel dari pimpinan dengan pandangan kosong. Sejujurnya aku tidak ingat berapa lama mataku terpaku pada layar monitor.
Jumat, 21 Januari 2011
Dinner with Darlene? Seketika jantungku berdetak lebih cepat. Aku memandangi surel dari pimpinan dengan pandangan kosong. Sejujurnya aku tidak ingat berapa lama mataku terpaku pada layar monitor.
“Oke,” aku menggeleng-gelengkan kepala, “baca
baik-baik tulisannya, Evran. Pukul delapan malam ini.”
Aku menatap lekat-lekat TAG Heuer Grand Carrera
di pergelangan tanganku. Hampir pukul enam sore. Tak akan sempat untuk
kembali ke rumah, mengganti baju, dan sampai di Rosso Shangrilla tepat waktu.
Aku mendesah. Pada setelan kerjaku yang kupakai
hari ini, aku pasrah.
--
Mungkin aku terlalu berlebihan menyikapi makan
malam kali ini. Apa istilahnya? Lebay. Ya, lebay. Tokh tidak sedang menikmati
dinner romantic berdua Darlene saja. Ada bosku, bos Darlene, dan tim kami yang
terlibat dalam kerjasama yang lalu.
Kenyataan bahwa Darlene memilih duduk di sampingku, itu baru masalah. Thank God aku tergolong pria yang tidak segan untuk
tampil rapi dan wangi.
"Bos
Anda bilang,
Anda adalah manajer IT yang sangat handal." Ia
tersenyum lalu menyecap minumannya.
"Saya tidak tahu apakah
saya akan mengatakan hal yang sama." Aku
meringis
"Bukankah Anda baru saja kembali dari perjalanan ke
kantor pusat di Boston?"
"Benar
sekali."
"Berapa
kali Anda bolak-balik Jakarta-Boston selama kasus ini?"
"Dua
kali. Agak riskan juga sebenarnya untuk meninggalkan kantor di sini. Tapi
memang kebetulan lagi ada workshop penting di Boston. Awalnya sempat jet
lag. Untung ada antimo. Oldies but goodies isn’t it Ms. Marthahidayat?"
Darlene tertawa
Dia berkata tidak ada yang pernah memanggilnya
Nona Marthahidayat, Ibu
Darlene sih sering.
"Saya minta maaf Pak Prayoga, saya tidak menertawakan
Anda. Saya hanya sering merasa geli jika dipanggil Nona Marthahidayat. Oke, mulai sekarang Anda bisa
memanggil saya Darlene."
Ia lalu menganggukkan kepala, mengucapkan terima
kasih sambil menyunggingkan senyuman yang lebar kepada waitress yang
mengantarkan makanan pembuka.
Aku membantu meletakkan serbet di pangkuannya.
Dress biru tua bermotif bunga kecil sangat serasi dengan blazer broken white
yang ia kenakan. Ikat pinggang kulit dan bross bunga berwarna senada menambah
manis penampilannya.
“Terima kasih, Pak Prayoga.”
“Saya akan memanggil Anda Darlene hanya jika Anda
memanggil saya Evran.” Ucapku bersungguh-sungguh.
Darlene hanya tersenyum. Dan kemudian ikut terlibat
dalam perbincangan dengan yang lainnya.
--
“Bidang yang Anda tekuni sangat menarik." Darlene menatap lurus ke mataku. Tiba-tiba aku
merasa sangat menyukai seared duck with apricot glaze and seared foie gras with
raspberry dressing yang sedang kunikmati.
"Maksudnya?"
"Maksudnya,
saya selalu merasa bahwa orang yang mendalami IT itu orang yang luar biasa." Oke, pipiku pasti memerah sekarang. Tapi Darlene
masih menatapku dengan matanya yang teduh namun dalam.
"Semua
orang yang bersungguh-sungguh mendalami bidangnya saya pikir adalah orang yang
hebat. Termasuk Anda.”
Sekali lagi Darlene tersenyum. Mendadak satu pikiran melintas di kepalaku.
Berada sedekat ini dengan Darlene membuat aku lebih bisa detil mengamatinya. Bentuk matanya seperti buah almond dan senyum manisnya yang mampu membuat hidungnya berkerut. Lehernya yang jenjang dan wajahnya yang oval membuat ia pantas membentuk rambur hitam miliknya dengan model apapun. Wangi tubuhnya ternyata khas, dan parfumnya lembut.
Berada sedekat ini dengan Darlene membuat aku lebih bisa detil mengamatinya. Bentuk matanya seperti buah almond dan senyum manisnya yang mampu membuat hidungnya berkerut. Lehernya yang jenjang dan wajahnya yang oval membuat ia pantas membentuk rambur hitam miliknya dengan model apapun. Wangi tubuhnya ternyata khas, dan parfumnya lembut.
Tiba-tiba Darlene menoleh ke arahku. Dan entah dari
mana datangnya, satu pertanyaan aku lontarkan kepadanya.
"Apa
yang Anda lakukan di waktu luang?"
Tatapan heran sekelebat muncul di matanya. Hanya
sekejap. "Memotret. Saya suka berburu objek foto, apa saja. Tapi kebanyakan sih foto arsitektur
bangunan. Mungkin karena dulu saya ingin menjadi arsitek mungkin ya.”
“Wow. Menyenangkan sekali. Sudah banyak hasilnya?”
“Lumayan. Inginnya sih, suatu hari saya berharap bisa diterbitkan," dia tertawa kecilnya "Saya tahu itu konyol,"katanya menurunkan kepalanya.
"Tidak sama sekali,"
ganti aku yang menatap lurus-lurus matanya. "Itu bukan hal yang mustahil. Buku atau pameran
foto. Terdengar menarik."
"Saat
ini saya memang lebih banyak berburu foto seketemunya. Kalau mau bikin buku atau pameran, ya mesti
diseriusin."
"Mengapa
tidak?"
"Saya
masih perlu banyak belajar. Dan belajar fotografi berarti harus banyak-banyak
berlatih dan rajin mencari momen yang tepat. Waktu, mungkin itu yang saat ini
belum bisa aku dapat.”
“Kalau begitu luangkan waktumu untuk bertualang,
Darlene. Banyak hal yang bisa di ekplorasi di sekitar Jakarta ini kok. Nggak
mesti jauh-jauh.”
“Tampaknya begitu. Mungkin aku harus bertualang di
Jakarta kapan-kapan.”
Aku tidak tahu apa yang berkelebat di kepalaku.
Sungguh, apakah ini pengaruh Champagne atau bukan, aku tak tahu. Yang kutahu,
aku melontarkan pertanyaan ini kepadanya. “Boleh saya temani
kapan-kapan?”
Terlalu cepatkah? Aku tak perduli. Salahkan saja
anggukan Darlene sesudahnya.
Mentok! Ya, malam itu sukses membuat pikiran dan
hatiku mentok padanya.
--
_bersambung_
No comments:
Post a Comment