cerita
sebelumnya Untuk Kamu, Apa Sih Yang Tidak Boleh?
DARLENE
Jumat, 30 Nopember 2012
Hari
ini seharusnya menjadi salah satu hari terindah dalam hidupku. Tapi sedari pagi perutku terasa campur aduk, seakan ada yang sedang memeras isinya. Cairan
empedu yang pahit terasa sampai di dasar tenggorokan, mengancam ingin mengeluarkan seluruh isi perut
melalui mulutku.
Akhirnya satu tahap akan aku lalui hari ini.
Mama tersenyum padaku di cermin. Sore ini ia bersikukuh
ingin mendadaniku. Kuas perona pipi
meluncur di tulang pipiku yang tinggi. Menyisakan jejak
semburat merah muda. Tadi mama sudah mengepang rambutku dan membentuknya menjadi
sanggul sederhana. Tak lupa ia sematkan sebuah hiasan bunga dari satin berwarna
putih gading di bagian kanan. Aku sudah mengingatkan pada mama dan papa, bahwa
sebisa mungkin ini berjalan secara sederhana. Sebelum berita ini tersebar dan
melibatkan lebih banyak orang, aku ingin melewatinya dengan keluargaku saja.
Jadi untuk sore ini aku lebih memilih gaun satin
berwarna hijau emerald dengan pita sutra diikatkan di pinggang. Gaun ini
benar-benar indah. Mama membelikan untukku sebagai buah tangan saat ia mengunjungi nenek
moyangnya di Eropa. Aku berharap gaun yang cantik ini dapat membuat aku pun terlihat cantik. Melihat refleksiku di cermin, aku bertanya-tanya apakah lelakiku akan menyukai penampilanku sore ini. Mungkinkah ia akan
menatapku terpesona dan lupa berkedip, seperti di film-film.
"Kamu begitu indah, Sayang," kata mama.
"Terima
kasih Ma," gumamku sambil tersenyum.
Yang sebenarnya adalah aku sedang resah. Hujan
sedari pagi belum berhenti. Bandung di penghujung tahun memang kerap begini. Mulai gerimis saat fajar, dan
langit telah gelap terus sejak saat itu. Adikku Darryl menyebutnya sebagai pertanda
buruk, tapi aku berdoa sebaliknya. Karena jika tidak sekarang, lalu kapan lagi? Aku
tak mau menunda hari ini.
"Jangan
khawatir, dia adalah orang yang baik."
"Aku tahu, Ma."
Aku
tahu lelakiku adalah orang yang baik. Itu tidak aku pungkiri. Yang aku
khawatirkan adalah perjalanannya menuju rumahku yang berkelok. Dalam keadaan
hujan seperti ini, kekhawatiranku berlipat ganda atas keselamatannya.
Guntur bergemuruh. Satu tarikan napas panjang lolos bibirku. Dari balik cermin mama menggeleng. "Jangan cemas. Berdoalah hujannya cepat berhenti.”
"Tentu saja, Ma."
Rasanya
sudah terlalu lama aku menunggu. Seharusnya saat ini lelakiku sudah duduk
bersama kami di meja tamu, dan secara jantan menyampaikan maksud kedatangannya
kepada papa.
Aku
berharap papa akan mengangguk dan kami semua akan bernapas lega. Lalu
pertemuan akan ditutup dengan menikmati hidangan makan malam yang sudah
dipersiapkan oleh mama dan aku sebelumnya.
Mataku beralih ke jendela kamarku lagi. Hujan masih turun, dan
bulirnya membuat jalur di bawah panel kaca, lalu masuk ke dalam bingkai kayu. Aku begitu ingin pergi ke luar, menunggu
lelakiku di teras. Hampir saja keinginan itu aku wujudkan ketika Darryl
memasuki kamarku.
“Mobilnya
sudah datang.”
Jantungku
berdegub kencang.
"Ayo." Mama meraih
tanganku dan aku berdiri, membiarkan rok terjatuh di sekitar kakiku. Di ruang tamu, papa menyambut tanganku dan mengganggamnya. Ia tersenyum hangat,
dan memelukku erat.
Sesaat kemudian, lelaki itu berdiri di depanku. Aku melihat dalam-dalam ke matanya yang cokelat gelap. Sekilas aku melihat ada kilatan senyuman di kedalaman matanya, menghangatkan. Aku merasa seringai mulai terpahat di bibirku. Rambutnya yang lepek karena basah menempel di dahinya. Sisa-sisa bulir air hujan masih setia menghuni permukaan kulit wajahnya, membuat wajahnya seakan berkilau. Kemeja putih bergaris halus yang basah kuyup menempel ketat di badannya, memahat setiap lekuk tubuh atletisnya. Aku terpana.
Sesaat kemudian, lelaki itu berdiri di depanku. Aku melihat dalam-dalam ke matanya yang cokelat gelap. Sekilas aku melihat ada kilatan senyuman di kedalaman matanya, menghangatkan. Aku merasa seringai mulai terpahat di bibirku. Rambutnya yang lepek karena basah menempel di dahinya. Sisa-sisa bulir air hujan masih setia menghuni permukaan kulit wajahnya, membuat wajahnya seakan berkilau. Kemeja putih bergaris halus yang basah kuyup menempel ketat di badannya, memahat setiap lekuk tubuh atletisnya. Aku terpana.
Dia melangkah
mendekat. Menatap kedua mataku, menghipnotisku dngan ganas dan aku tak bisa bergerak
kemana-mana. Ia mengambil kedua tanganku dari tangan
papa yang masih menggenggam, lalu menangkupkannya dalam kedua telapak tangannya. Ia
membimbing tanganku menuju dadanya, membuat aku merasa degub yang berasal dari
jantungnya kini seakan berkolaborasi dengan milikku, menghasilkan irama yang
sama.
Lelaki
itu kemudian menatap papa dan berkata dengan yakin.
“Bolehkah
saya melamar putri Anda sekarang?”
Papa tersenyum, lalu menatapku meminta persetujuan. Aku bersiap untuk memberikan
anggukan. Aku menatap lelaki itu sekali lagi, meyakinkan bahwa ia adalah lelaki
yang aku inginkan untuk berada di sampingku di pelaminan nanti.
Aku
terus menatapnya, bersusaha mengukir semua detil wajahnya. Namun tiba-tiba aku
menggigil, mataku memanas, kakiku gemetar. Aku ambruk ke lantai.
Lalu
aku tersadar. Ini tidak mungkin.
Mimpi
macam apa yang baru saja aku alami? Pertanda apa ini? Kenapa yang berdiri di hadapanku tadi bukan Evran? Siapa dia?
--
_bersambung_
twistnya keren :)
ReplyDeleteTerima kasih, Mbak Nath. Ini agak bingung nih nyambungin dengan cerita sebelum2nya, karena seharusnya tema ini muncul di akhir cerita. :D
Deleteemang ajaib judul2nya hehe..
ReplyDeleteuntung versi saya engga bersambung *saya mah pemales* :D