cerita
sebelumnya Tunggu Di
Situ Aku Sedang Menujumu
Sabtu, 16 Desember 2012
Sejak
perjalanan menuju Lembang, sang pria terus mencuri tatap ke arah wanita. Meski
wanita berpura-pura tidak tahu bahwa dirinya sedang diperhatikan oleh kedua
mata penuh rasa ingin tahu sang pria, ia bertaruh hati kecil wanita tahu. Dari
semua yang dapat terlihat dengan kedua mata sang pria, yang dapat menahan
tatapannya lebih lama adalah mata wanita itu pada saat ini. Menyiratkan
kesedihan yang coba ia sembunyikan.
“Aku
terlalu menyintainya, Jhon. Evran. Hingga kupikir aku mabuk dan mulai
kehilangan diriku.” Tanpa sang pria minta wanita mulai bercerita sembari mereka
menikmati suasana salah satu resto di Lembang.
Sang
pria hanya bisa terdiam. Menatap wajah wanita.
“Maafkan
aku menyeretmu dalam masalah ini. Tapi…” Wanita mengigit bibir.
“That’s
ok. Feel free. Aku yang seharusnya minta maaf atas kejadian itu.”
“Jujur saat ini aku tidak tahu sebenarnya apa yang kuinginkan. Pernahkah kamu mencintai seseorang tetapi juga merasa jenuh? Dan saat ini hatiku mulai bertanya, apakah ini layak?”
Wanita
melepaskan pandangannya dari paparan keindahan alam Lembang dan menatap sosok
di hadapannya. Sang pria menghela napas. Bukan ini yang ia inginkan.
“Lepaskan
apa yang bisa membunuhmu. Dan pertahankan apa yang tetap membuatmu bernapas dan
berakal sehat.”
“Maksudmu?”
“Kamu
wanita yang teramat cerdas, Dhee. Tanpa aku jelaskan, aku yakin kamu memahami
maksud ucapanku. Cinta itu memang selalu indah, karena jika tidak maka itu
bukanlah cinta. Dan melepaskan apa yang kita pikir cinta bukanlah mengalah atau
kalah, melainkan pilihan yang pada akhirnya terasa melegakan, meski butuh waktu
lama untuk kita menyadarinya.”
“Kamu
tahu mengapa menanti cinta datang itu sesuatu yang indah? Menurutku karena kita
tidak menaruh rasa benci di saku seseorang yang telah membuat kita menantinya
terlalu lama. Karena kita tahu, bahwa ada rasa sayang yang menjadi rangkaian
kawat yang siap dialiri oleh ruh satu sama lain, dan bertemu di pertengahan
jalan.”
“Jadi
kamu akan tetap mempertahankan hubungan dengan dia, Dhee? Lalu bagaimana jka
berpisah ternyata lebih membuatmu bahagia?”
“Bagaimana
jika tidak?”
“Maka
kau harus mencari kisah lain yang akan membawamu pada proses yang membahagiakan
hingga akhir.”
“Aku
akan tetap mengatakan ini padamu, Jhon. Aku lebih senang sendirian."
“Pun
aku. Jadi mengapa tidak kita lakukan bersama-sama? Sendirian dalam kebersamaan?”
“Sendiri
kita berbeda. Sendiri kita adalah dua sendiri yang tak sama.”
Sang
pria terdiam. Berpikir cukup lama. “Bukan sendiri kita yang tak sama. Tapi cara
kita mengeja Tuhan kita yang berbeda. Begitu, Dhee?”
Wanita
menggeleng.“Jangan picik, Jhon. Kamu melecehkanku jika menganggap itu
alasannya.”
Ia
menyentuh punggung tangan sang pria.
“Jhon,
dengan segala hormat aku harus berkata bahwa cinta itu sejatinya adalah bukan
mengenai keterpaksaan. Pun aku yang tak bisa memaksa hatiku untuk berpaling
padamu. Aku harap kamu dapat memahami. Mungkin aku akan menyesal. Mungkin.
Meski aku tahu aku mampu, rasanya aku tidak akan tega melihat penyesalan saat
melihatmu berjalan beriringan denganku. Pada saat itu mungkin pikiranmu akan
menerawang jauh ke saat ini, berulang mengutuk keputusanmu, atau bahkan
menghiba waktu untuk kembali dan memberikanmu keberanian untuk merubah
semuanya. Meski aku harus mengambil resiko, bukan hati atau hidupku yang aku
pertaruhkan dalam permainan ini.”
Sang
pria menyentuh tangan wanita di atas meja. Sekali lagi ini bukan saatnya. Sang
pria menatap dalam-dalam mata wanita. Berusaha mencari celah, namun tidak ada.
Keberhasilannya membawa calon menantu untuk ibunda Natal tahun ini tak lagi
terlaksana.
“Dhee,
bolehkan aku bertanya, apakah perjumpaan pertama kita bisa diulang? Kali ini
tanpa menyertakan perasaan? Kita kembali menjadi sepasang asing yang tak
sengaja bertemu pada waktu yang tak seharusnya? Bisakah kita hanya saling
menatap tanpa membiarkan benak kita saling berusaha menyusupi hati dan pikiran
satu sama lain? Lalu bisakah kita menentukan waktu yang tepat untuk memberikan
kesempatan kepada kita berpisah dan semenjak itu segalanya akan tetap baik-baik
saja?”
“Tentu
saja, Jhon. Tentu saja.”
--
Kamis, 14 Februari 2013
Persimpangan
yang sama. Wanita yang sama. Pria berbeda. Senja berbeda. Wanita menyunggingkan
senyumnya. Tak ada luka. Hanya rona bahagia. Sang pria lain hangat memeluknya.
Lihat, aku datang padamu. Jangan bersedih lagi. Maafkan membuatmu menunggu,
maafkan membuatmu mempertanyakanku. Seharusnya aku tahu. Hatiku memang untuk
kamu. Sang wanita tetap tersenyum. Semburat pilu sekilas tersirat matanya
mencari sesosok bayangan lain yang sudah menghilang. Di ujung persimpangan.
--
TAMAT
No comments:
Post a Comment