Cintaku Mentok Di Kamu cerita sebelumnya
--
DARLENE
Minggu, 2 Desember 2012
DARLENE
Minggu, 2 Desember 2012
Lelaki di hadapanku mengelap
kacamata dengan ujung bawah kemeja biru langitnya. Sekilas aku lihat, matanya
memerah. Benarkah? Atau aku yang salah lihat? Mas Evran tak pernah
sesentimentil itu. Ia selalu logis. Entahlah. Mungkin ia hanya terlalu lelah. Pekerjaan menjelang akhir tahun yang menumpuk mungkin membuat ia tak tidur semalam. Penyakit Mas Evran selum sembuh juga. Workaholic.
Dan ia harus menyetir sampai ke Bandung untuk menemuiku dan menjelaskan ini semua.
Dan ia harus menyetir sampai ke Bandung untuk menemuiku dan menjelaskan ini semua.
Ia menghembuskan napas yang cukup
berat, seakan begitu banyak hal berkecamuk dalam benaknya. “So, this is how we finish it.” Ia memakai kembali kacamatanya dan
menatapku.
Aku menangguk, melirik lantai dan mengusap bagian belakang kepalaku. Dengan tangan yang mendadak berkeringat dalam balutan udara Bandung
yang dingin. Meja kaca kecil dengan ornament hiasan laut di dalamnya adalah satu-satunya saksi dalam percakapan aku dan Mas Evran.
Ia mendengus pelan dan berkata, “Well,
okay. Mau bagaimana lagi?”
“Mau bagaimana lagi?” Aku
menopangkan kaki kanan ke atas kaki kiriku. Menyedekapkan kedua lengan di dada.
“Ya. Mau bagaimana lagi? Mungkin ini yang terbaik.”
“Oke.” Aku menarik napas berat. Berdiri, menjejakkan kedua kakiku ke lantai, berjalan menuju jendela besar di samping pintu depan. Jariku yang mendadak pucat membelai kusen jendela.
“Oke.” Aku menarik napas berat. Berdiri, menjejakkan kedua kakiku ke lantai, berjalan menuju jendela besar di samping pintu depan. Jariku yang mendadak pucat membelai kusen jendela.
Pembicaraanku dengan Mas Evran sungguh sebenarnya sudah aku duga akan terjadi. Aku sudah bisa membaca apa yang sebenarnya sedang berlangsung di balik dirinya yang semakin menjauh selama ini. Somehow aku telah tahu bundanya tengah mempersiapkan pengganti diriku untuk mendampingi Mas Evran. Dan jika itu memang suatu keharusan, aku bisa apa?
"Aku nggak bisa, Mas. Aku hanya tidak bisa jika kau kembali untuk
meminta aku bertahan sementara kamu
sendiri tidak bisa memberi kepastian."
Mas Evran ikut berdiri dan
berjalan mendekati jendela. Aku tahu ia sedang menatap belakang kepalaku. Biasanya
Mas Evran akan menjamah kepalaku dan meletakkan di bahunya, mendaratkan kecupan
di ubun-ubun kepalaku saat aku merasa resah. Jujur, aku tak mau ia melakukan hal
itu pada saat ini. Aku berbalik, tanganku masih memegang kusen jendela. Kali
ini aku tidak bisa menatapnya.
"Aku ..." Tenggorokanku tercekat. "Aku
harap kamu mengerti, Mas."
Dia tidak mengatakan apapun.
Hanya menatap mataku dengan tajam dari balik lensa kacamatanya. Mas Evran bisa
menjadi sangat hangat, namun lebih kerap sikapnya sangat serius. Kali ini pun
begitu. Ia hanya berdiri tegak di hadapanku, terlihat kekecewaan mendalam di
raut wajahnya.
“Baiklah. Aku pulang.“ Tiba-tiba
ia menuju pintu dan bergerak menuju mobilnya yang diparkir di halaman.
Aku hanya mematung. Memandangi punggung tegapnya yang tampak sedikit limbung menjejaki hamparan kerikil yang luas. Apakah ini kali terakhir aku melihat sosoknya?
Aku hanya mematung. Memandangi punggung tegapnya yang tampak sedikit limbung menjejaki hamparan kerikil yang luas. Apakah ini kali terakhir aku melihat sosoknya?
Percikan air hujan yang mengetuk jendela tiba-tiba
seakan membuat aku tersadar. Apakah
memang ini yang aku inginkan? Apakah memang ini keputusan yang tepat? Kamu
bukan orang yang mudah menyerah begitu saja, Darlene. Dia sudah berusaha
menjelaskan dan menawarkan solusi sementara. Tak bisakah kamu memberi kesempatan sekali lagi?
Dan bulir air hujan yang turun
semakin deras.
Aku keluar dari teras, bergegas mengejarnya.
Ujung rok hijau pupusku berkibar tertiup hujan yang mulai lebat. Tak
kuhiraukan. Aku harus menyampaikannya sebelum ia pergi.
Mendekati samping mobil Mas Evran,
gerakanku melambat. Dari pintu mobilnya yang terbuka, aku melihat ia di sana.
Mas Evran belum menghidupkan mobil. Bahkan kunci kontak masih terkepal di
tangannya. Kepalanya menunduk, terbenam dalam kemudi. Ia sama sekali tak
menyadari kehadiranku.
Perlahan aku membuka pintu
mobilnya lebih lebar. Ia menengadahkan kepala. Wajahnya pucat.
“Darlene…” Ia keluar dari mobilnya dan
menatapku dengan pandangan bingung.
Aku menatap lekat-lekat matanya. “Katakan, Mas. Berapa lama lagi aku
harus menunggu?”
Karena sesungguhnya tak ada yang tidak akan aku lakukan untuk mempertahankan dia.
Dan di bawah hujan yang semakin ganas memuntahkan serapah, sekali lagi aku membiarkan ubun-ubunku dikecup olehnya.
--
_bersambung_
Dan di bawah hujan yang semakin ganas memuntahkan serapah, sekali lagi aku membiarkan ubun-ubunku dikecup olehnya.
--
_bersambung_
No comments:
Post a Comment