cerita
sebelumnya Jangan Kemana-mana, Di Hatiku Saja
Jhon
Sabtu, 16 Desember 2012
Cinta
seharusnya tidak mengenal rasa takut. Seperti saat malam itu kamu menciumnya.
Ya kan, Jhon? Kamu tahu, tak ada ketakutan sama sekali terlihat dari dirimu.
Padahal kamu tahu dia mungkin masih milik orang lain. Apa yang ada di
pikiranmu, Jhon? Dia bisa saja mendorong dirimu karena telah melakukan
kebodohan yang merugikan dirinya.
Tapi
tidak Dia tidak marah. Meski keterkejutan tampak ketara di wajahnya. Yang
kuingat selanjutnya adalah Dhee menyuruhku pulang. Tak ada umpatan. Sama
sekali.
Seminggu
aku tak menerima kabar darinya. Satu-satunya pesan yang kuterima adalah balasan
dari permintaan maafku.
Why sorry? For what? :’)
Tapi
aku tahu, aku telah melakukan kesalahan besar. Segalanya mungkin tak lagi sama.
Dan seminggu ini aku terlalu sibuk untuk memikirkan cara memperbaiki semua.
Aku
masih terbaring di sofa. Pekerjaanku masih terbengkalai di meja. Beberapa kali
aku menerima komplain dari Bagus mengenai konsentrasiku yang kerap buyar di
kantor.
“Please
Jhon. Kita sudah deal dengan Pak Albert mengenai proyek ini. Lo nggak bisa
ogah-ogahan gini ngerjainnya. Gue yakin lo bisa singkirin dulu masalah lo sama
tuh cewek. Bisa kan, Bro?” Kata-kata Bagus masih terngiang.
Shit!
Ponselku
berbunyi. Mamak. Aku tak mengangkatnya. Notifikasi pesan masuk. Masih dari
mamak.
Jhon kemana saja kau ini. Kenapa telepon tak kau angkat?
Sudah kau pesan tiket pulang ke Medan? Jangan lupa kau bawa pula calon mantu
buat mamak.
Aku
tersenyum getir. Melemparkan bantal sofa ke dinding. PERFECT!!!
Ponselku
berbunyi lagi. Mamak memang benar-benar tangguh. Aku menimbang apakah akan
mengangkat atau membiarkannya. Kulirik layar ponsel. Satu nama tertera di sana.
--
DARLENE
Tanganku
masih gemetar memegang sebuah majalah lifestyle edisi bulan ini yang
baru sempat kubaca. Mataku terpekur pada sebuah foto yang diambil saat sebuah
pesta kaum sosialita diadakan di ibukota.
Foto
Mas Evran yang bergandengan dengan seorang wanita. Jadi, itu yang namanya
Batari. Cantik.
Aku
tak tahu mengapa aku memutuskan meneleponnya. Tapi rasanya aku tak tahan lagi.
Aku tak mungkin menceritakan ini kepada keluarga atau teman-temanku. Mereka
terlanjur membentuk anggapan bahwa Evran adalah lelaki sejati yang nyaris tak
bercacat. Dan aku pun menganggap begitu. Namun entah sampai kapan aku bisa
menutupi ini dari mereka.
Aku
harus meminta kejelasan.
“Assalamualaikum.
Hai, Sweety. Apa kabar?”
“Waalaikumsalam,
Mas. Aku baik. Alhamdulillah. Ohya, fotonya bagus.”
“Foto?
Foto apa, Darl… Oh…” Mas Evran menghentikan ucapannya.
“Ya,
Mas. Foto di majalah itu. Batari cantik, Mas. Bunda nggak salah pilih.” Aku
menelan ludah.
“Darl…
Itu nggak seperti yang kamu kira. Sweety, dengerin aku dulu…”
“Kamu
minta aku menunggu, Mas. Kamu bilang akan mencari cara untuk mengatakan pada
Bundamu.” Aku menarik napas. “Tapi aku tahu diri, Mas. Aku tidak mau membuatmu
menjadi seorang yang menentang ibunya.”
“Kamu
bicara apa, Darlene? Kamu meragukan aku? Kamu marah sama aku?”
“Aku
sayang kamu, Mas. Saat ini, hanya itu rasa yang aku tahu.”
“Aku
juga sayang kamu.”
“Tak
pernah mudah untuk menunggu seseorang yang sungguh kita perdulikan. Terlebih
jika dia tidak menyadari bahwa kita menunggu dengan penuh harap.”
“Maksudmu
apa, Darl? Aku tidak bisa menjanjikan kepadamu bahwa semuanya akan baik-baik
saja, selalu mulus. Tapi yang pasti, aku bisa berjanji bahwa aku tidak akan
pernah beranjak dari berjuang ketika suatu hal yang buruk terjadi dalam kisah
kita.”
“Jika
begitu, lakukan apa yang menjadi janji kita, Mas. Lakukan tanpa menyakiti
siapapun, terutama Bunda.”
“I
love you, Darl. I have no doubt at all.”
Aku
menutup telepon.
--
Aku
tak tahu mengapa aku memutuskan meneleponnya. Tapi rasanya aku tak tahan lagi.
Aku tak mungkin menceritakan ini kepada keluarga atau teman-temanku. Mereka
terlanjur membentuk anggapan bahwa Evran adalah lelaki sejati yang nyaris tak
bercacat. Dan aku pun menganggap begitu. Namun entah sampai kapan aku bisa
menutupi ini dari mereka.
Aku
harus menumpahkan kegilaanku.
“Halo…
Dhee?” Terdengar suara di seberang line tak lama setelah aku memencet
sebuah nomor.
“Oh
hai Jhon. Lagi sibuk? Aku mengganggu?”
“No.
Sure not. Hanya sedikit evaluasi rancangan.”
Darlene, apa yang kau lakukan? Aku menekan-nekan
pelipisku dengan jari. Aku tak tahu mengapa aku melakukan ini.
Yang
kutahu selanjutnya adalah aku sudah berada di mobil Jhon.
--
JHON
Terus
terang, aku masih terhenyak di sofa beberapa saat setelah Dhee menelepon. Aku
tak berpengalaman dengan wanita, tapi aku tahu dia sedang bersedih.
Dhee, tunggu di situ. Aku sedang menujumu.
--
_bersambung_
No comments:
Post a Comment