Saturday, July 28, 2012

DI UJUNG SENJA, PADMA MEMBUNUHNYA


Membunuh itu mudah.Tapi menyingkirkan apa yang tersisa setelahnya, itu baru persoalan sulit.
Dan pikiran mengenai bagaimana cara yang tepat tanpa dketahui sekarang memenuhi seluruh pikiranku. Menyesakkan.      

--                                                                                                                                                                                    
Padma memandangi lantai. Teronggok tak beraturan, tercerai berai apa yang membuat dirinya tersiksa selama ini. Kelelahan yang sangat telah memaksa nafasnya tak lagi memburu setiap detak jarum jam.

Rasakan. Di balik sisa air matanya, ia tersenyum sinis.

Oh ya, membunuh itu mudah. Tak seperti apa yang dikhawatirkan para pengecut di luar sana. Tidak butuh apa-apa memang. Cukup keberanian, atau sedikit kenekatan. Kadang tidak butuh alasan. Sekedar percobaan yang berhasil, misalnya.

Tapi Padma punya alasan kuat untuk melakukan pembunuhan senja ini. Untuk menyudahi argumen tak berkesudahan yang mengisi hari-harinya. Untuk mengakhiri rentetan rasa kecewa atas ketidakberhasilan menyatunya dua jiwa. Untuk mencegah isi kepalanya pecah terburai, tak menyisakan celah untuk terekat lagi.

Padma mengarahkan dirinya ke sofa di sudut ruang tidur. Tempat kesukaannya untuk melepaskan penat. Menarik nafas panjang dan menyunggingkan senyuman, ia merebahkan diri di atasnya. “Tenanglah, jangan panik. Kunci dari keberhasilan atas semua ini adalah tetap tenang dan berpikir jernih.”

Ia mengingat-ingat beberapa kisah misteri pembunuhan yang pernah ia baca. Tentang bagaimana pelaku menyingkirkan korbannya. “Ah, koleksi buku dan filmku tidak sia-sia ternyata,” Padma terkikik. Padma berpikir, bisa saja ia menguburkan di halaman belakang. Sebentar lagi malam, sedikit penggalian mungkin tidak akan ketahuan. Tapi bagaimana jika Kamil menanyakan gundukan baru di halaman sesaat setelah ia pulang dari dinas luar kotanya?

Kamil adalah suami Padma yang baru menikahinya dua bulan lalu. Iya, dia suamiku. Tapi bukan aku yang memilihnya! Padma berteriak dalam hati.

Adalah Satria. Selalu Satria yang mengisi rongga hatinya.

“Kita bisa tetap berhubungan tanpa Kamil atau dia tahu,” rengek Padma bahkan sebelum janur kuning yang mengering dicopot dari jalan masuk ke rumah ibunya.

“Untuk apa? Tidak akan bisa.” Satria tersenyum dalam luka. “Sudahlah. Terimalah kenyataan. Tokh ia menyayangimu sangat, mungkin lebih dari apa yang hatimu biarkan untuk kamu rasakan.”

“Sok tahu kamu!” Padma begitu membenci cara Satria menguntaikan kata mengenai Kamil.

“Tentu saja aku tahu. Ia saudaraku, Padma. Bagaimanapun ia saudaraku. Dan kita bertiga sudah saling mengenal sedari kita berseragam putih merah. Ingat itu?”

Padma termangu. Jawaban Satria tidak mungkin Padma pungkiri. Dan Satria memilih pergi.

Berulang kali setelah hari itu, beribu pesan tak terjawab. Beratus panggilan telepon tak terangkat.

Brengsek! Kemana kamu yang dulu begitu memujaku?

Sumpah serapah Padma tidak mampu menghadirkan kembali Satria. Betapa kerasnya ia berusaha. Yang ada akhirnya hanya Kamil yang menemani hari-harinya. Meski siluet Satria selalu menari dalam benak dan semakin merongrong jiwa Padma.

Sampai kemarin malam. Ketiba tiba-tiba nama Satria kembali menghias layar ponselnya. Sebuah pesan email. Berlampirkan file lagu.

Lagu yang Padma putar sekarang.

Takkan selamanya tanganku mendekapmu 
Takkan selamanya raga ini menjagamu 
Seperti alunan detak jantungku 
Tak bertahan melawan waktu 
Semua keindahan yang memudar 
Atau cinta yang telah hilang
Tak ada yang abadi 
Tak ada yang abadi 
Tak ada yang abadi 
Tak ada yang abadi 
Biarkan aku bernafas sejenak 
Sebelum hilang 
Tak kan selamanya tanganku mendekapmu 
Tak kan selamanya raga ini menjagamu 
Jiwa yang lama segera pergi 
Bersiaplah para pengganti
Dan sebait kata:
Doakan aku. Aku akan menyusulmu. Minggu depan aku menikahinya.
_Satria_

Padma memejamkan matanya.

Beberapa kejadian masa lalu berkelebat, saling berlomba untuk merasuki benaknya.

"Sudah jangan sedih. Nanti aku bantu kamu untuk membuat yang baru," canggung Kamil membereskan maket buatan Padma yang terjatuh sebelum sampai ke tangan guru.

"Sudah aku kasih pelajaran dia! Beraninya sama anak perempuan. Dasar preman kampung!" Dengan nafas memburu Satria melaporkan keberhasilannya membalaskan dendam Padma pada cowok-cowok brengsek yang mengganggunya.

"Jangan sungkan. Mungkin saja ada yang bisa aku bantu." Yakin Kamil pada Padma yang kesulitan dalam Kimia.

"Mulai saat ini, aku pelindungmu. Camkan itu!" Pelukan Satria mampu membuat Padma berhenti bernafas dalam kehangatan. 


SAMPAH! Satria bukanlah ksatria.

“Aku yang menghamilinya, Padma. Ya, aku harus bertanggung jawab.”

“Kamu bisa minta ia menggugurkan kandungan. Atau nikahi dia, lalu ceraikan!”

Ternyata tidak. Satria lebih memilih perempuan jalang itu. Padma geram. Padma hancur.

Apa yang lebih dapat membuat hati hancur dari ketidakperdulian orang yang sangat kamu perdulikan? 

Maka pagi itu Padma membulatkan tekad untuk membunuhnya. Meski berat, meski dipenuhi keraguan, bagaimana jika?

Ya, bagaimana jika tetiba aku rindu dia?
Bagaimana jika usahaku tak berhasil dan pada akhirnya hanya sekadar meninggalkan luka?
Tapi aku bodoh jika terus terpuruk seperti ini. 
Dia saudara iparmu, Padma!
Dia akan menikah segera anaknya lahir.

Tapi kini semua telah berlalu. Oh, Padma yang pemberani. Tak boleh ada yang meragukan kemampuannya.

Perlahan Padma bangkit dari sofa, menatap foto pernikahannya yang terpasang di atas pembaringan. Kamil tertawa bahagia. Padma juga, dalam pura-pura. Ah, padahal Kamil sudah begitu mencintaiku. Sedari dulu. 

Padma kembali menekuri permukaan lantai. Matanya tertumbuk pada onggokan pakaian kotor yang belum sempat ia kirim ke laundry tadi siang. Penutup yang sempurna bagi korbannya.

Ya. Kotoran semacam ini lebih layak dilemparkan ke pembuangan sampah lalu dibakar hingga menghitam, perlahan menghilang tanpa sisa! Pikir Padma. 

Dengan sigap Padma membereskan ceceran di lantai. Beralaskan sebuah mantel tidurnya, ia mengumpulkan tanpa ada sisa…

…semua kepingan hatinya yang berisi sampah bernama Satria.

Ya, membunuh masa lalu itu mudah. Padma tersenyum sinis. Beranikah engkau?

--
terinspirasi dari lagu Tak Ada Yang Abadi - Peterpan

source: Youtube

2 comments:

  1. Sadisnya nggak literally kok, Yu. Meski pengennya Padma begitu. Tq for reading :))

    ReplyDelete