Tuesday, September 25, 2012

KENCAN KETIGA





Ada yang mengatakan bahwa selalu ada permulaan bagi segala sesuatu. Dan ada akhir bagi semua permulaan. Untuk beberapa kasus, akhir bagi sesuatu berarti awal bagi yang lainnya. Begitu seterusnya. Reaksi berantai.

Untuk kisah kita, aku tak benar-benar yakin mana yang menjadi permulaan. Apakah titik itu berawal dari pertemuan kita? Apakah rantai kembali memulai siklusnya pada saat kecelakaan itu memaksa Athina pergi untuk selamanya?  Atau mungkin vonis dokter yang tak memungkinkan rahimku menjadi rumah bagi bayi mungil lainnya? Ataukah keputusan Arion untuk bekerja di luar kota dan meninggalkanku sendiri di sini bersama Ibu yang memicu keinginanku untuk menjalin kisah denganmu?

Entahlah. Satu yang kuyakini kisah kita akan segera dimulai. Aku tak mau memikirkan akhirnya seperti apa. Setidaknya saat ini.

--
Kamu ingat pertama kali kita berkencan? Saat kita malu-malu saling menghindari pandangan yang akhirnya kembali tertuduk pada masing-masing buku yang kita pegang? Atau sedikit aksi curi-curi yang membawa kita kembali mengedarkan pandangan ke hiruk pikuk taman saat tak sengaja bola mata kita saling bertumbukan?

Aku bertaruh, saat itu sama sepertiku, jantungmu berdebar kencang mengalahkan deburan ombak saat laut pasang. Dan semakin menjadi ketika entah darimana kekuatan itu datang, jari jemari kita bersinggungan dan saling erat berpagutan.

“Lihat, betapa bahagianya mereka,” lentik telunjukku membuatmu menoleh pada sekumpulan bocah menggemaskan yang bermain bersama bundanya di taman. Kamu ikut mengamati mereka, sedikit tertawa. Aku mencuri pandangan ke semu pipi merahmu, kamu sungguh memancarkan pesona.

Saat itu aku tahu, kita memeluk mimpi yang sama. 

Athina di surga, aku kembali jatuh cinta.

--
Pertemuan pertama kita tidaklah mudah. Saat aku memergokimu bersandar di dinding sekolah dengan peluh bercucuran dan wajah teramat lelah. Beberapa buku dan majalah berhamburan dari dekapan tanganmu saat aku menyapamu, “Maaf, ada yang bisa aku bantu?” Kamu menggeleng kuat, berusaha keras mengindari untuk memandangku. Berusaha menepiskan gugup, kamu membereskan apa yang tercecer. Buru-buru aku berlari ke dalam ruang kelas, mengambil kantong plastik dan menyodorkan padamu. Kamu mengucapkan terima kasih dengan tetap menunduk dan segera berlalu dengan tiga kakimu.

Sorot matamu yang kutangkap dengan tidak sengaja, adalah hal pertama yang membuat aku jatuh cinta. Nyalang menyiratkan semangat, namun terbungkus kepedihan mendalam. Itulah senjatamu dalam menaklukkan hatiku. Namun kupikir, kamu hanya sosok ingin tahu yang sekadar ingin sejenak melepas dahaga. Hanya itu.

--
Pertemuan kedua kita terjadi tanpa sengaja. Saat aku berteduh dari derasnya hujan di sebuah halte sepulang bekerja. Air yang tegenang membanjiri jalan membuat lalu lintas menjadi tak bersahabat. Dan metro mini tampak enggan untuk menepi meskipun puluhan tangan melambai menawarkan rezeki.

Aku berdesakan entah dengan berapa puluh orang di bawah kanopi. Saat dengan lembut aku merasakan hentakan di tanganku. Spontan aku menepis. Itu kamu.

“Mari ikut aku,” katamu sedikit memerintahku yang sejenak menjelma menjadi seekor kerbau yang dicucuk hidungnya.

Kamu memberikan tempat dudukmu di samping deretan koran dan majalah padaku. Sedang kamu tetap berdiri sambil memegang sebuah buku yang mampu membuat aku terkejut. “Sejarah Tuhan”. Bagaimana mungkin?

“Aku berdiri saja,” kataku dengan gugup.

Kamu hanya memandangku. Pandangan melarang. Dan aku hanya diam.

Arion, aku jatuh cinta lagi.

--
Pertemuan ketiga kita. Pagi hari. Kembali di halte yang sama.

“Boleh kupinjam buku yang kamu baca waktu itu?” tanyaku saat kita berhadapan.

“Akan aku selesaikan sebentar lagi. Anda bisa mengambilnya sepulang bekerja nanti.” Lalu kamu kembali asyik menekuni kegiatanmu. 

Aku tersenyum. “Terima kasih. Sampai nanti.”

Itu adalah salah satu hari terbaikku. Sore nanti aku akan berkencan denganmu.
Ibu, anakmu sedang jatuh cinta.

--
“Kamu yakin, Aretha?” tanya Ibu setelah kencan kedua kita.

“Aku yakin, Bu.”

“Arion?”

“Dia setuju. Setidaknya itu yang ia bilang. Kita lihat saja akhir minggu ini.” Aku tersenyum.
Ibu menghela nafas. Ibu tidak bisa menolak, aku tahu. Semenjak kepergian Athina, aku tak pernah sebahagia ini. Meskipun keseharianku di kelilingi oleh para bocah di tempatku mengajar. Ibu mengangguk.

Kencan kedua kita begitu manis, bukan? Saat kamu tanpa malu membawaku ke tempat tinggalmu yang kau sebut istana. Saat kamu memperkenalkan aku pada ayahmu yang sakit-sakitan. Betapa beliau begitu mengagungkanmu. Betapa kamu adalah pria tangguh yang menjadi pelindungnya. Betapa kamu sukses menjalankan peran sebagai pengganti ayah sekaligus ibu bagi kedua adikmu yang bisa bersekolah dari hasil kerja kerasmu. 

Betapa aku tidak akan menyesal memilih kamu, itu kata hatiku.

--
Aku sudah meyakinkan Arion untuk bertemu kamu. 

“Dia begitu istimewa, Arion. Aku memujanya. Dia cerdas, dia kuat, dia bersahaja, dia mencintai keluarganya. Dia punya cita-cita.”

Arion mengernyitkan dahi. Aku tahu, perkataanku tidak akan mengaburkan pemahamannya bahwa tetap Athina yang berada di pusat kenangan termanisku.

Dia setuju bertemu kamu.

Kencan ketiga begitu istimewa. Aku, kamu, Arion, di sebuah sudut kafe yang hangat di permulaan senja. 

Aku tahu Arion terkejut melihat kamu tidak gugup. Kamu menunjukkan bahwa kamu pria dengan kualitas. Arion jelas menghormati kamu. Kalian berbincang begitu akrab mengenai banyak hal. Kamu tahu bagaimana harus bersikap saat berargumentasi dalam diskusi. Atau saat didepanmu ada makanan menggugah selera yang menanti untuk kau lahap.

Setelah menimbangmu begitu lama, Arion memberi isyarat setuju padaku. Ia tidak pernah main-main dengan keputusannya. Ia memandang ramah padamu dan berkata, “Semua akan kami urus secepatnya.”   

Aku tahu, selangkah lagi kamu milikku. Aku tersenyum.
Lembut aku sentuh tanganmu. Bola matamu yang bisanya tajam kini berkaca-kaca.

“Aku sangat bahagia. Terima kasih…” 

“Bunda… Mulai hari ini kamu bisa panggil aku Bunda, Nak.”

“Dan kamu bisa memanggil aku Ayah,” Arion menepuk pundakmu.

Aku terlalu bahagia. Erat aku memeluk tubuh ringkihmu yang bertopang tongkat. 

Kali ini aku kembali dapat memeluk tubuh kecil yang menangis di dadaku. Ah, bagaimanapun kamu masih bocah, Nak.

Senja kali ini begitu indah. Akhirnya aku dan Arion memiliki anak lagi, setelah kepergian Athina untuk selamanya.

Oh bukan, ini bukan akhir. Ini adalah permulaan.

Let it go, let it roll right off your shoulder
Don?t you know the hardest part is over?
Let it in, let your clarity define you
In the end we will only just remember how it feels

Our lives are made in these small hours
These little wonders, these twists and turns of fate
Time falls away but these small hours
These small hours still remain

Let it slide, let your troubles fall behind you
Let it shine until you feel it all around you
And I don’t mind if it’s me you need to turn to
We’ll get by, it’s the heart that really matters in the end

---
Terinspirasi dari lagu Little Wonders oleh Rob Thomas.

Sunday, September 16, 2012

KSATRIA SEPEDA KUMBANG


Kepada:
Seorang yang pernah tak sengaja mengetuk pintu hati dan mencium rasa yang telah menunggu lama hingga terbangunkan.

Hai Ksatria Sepeda Kumbang, apa kabar?

Sejalan dengan aku menulis ini, aku memikirkan, merindui dan tetap mengasihi kamu. Jika saja setelah pertemuan terakhir kita memutuskan untuk bersama, mungkin saat ini kita telah merayakan tahun ke tujuh bersatunya kita. Dan sampai saat ini, aku masih terjebak dalam proses memaafkan dan melupakan. Dua hal yang menurutku cukup berat, karena keduanya mengenai kamu. 

Apa kabar sepeda kumbangmu? Menilik dari keadaanmu saat terakhir kita bertemu, aku sangsi ia masih tersimpan di pojok kadang Kambing yang kerap kau panggil Si Jago. Kamu ingat, tujuh tahun lalu kamu yang memanggil namaku di tengah keramaian kami yang selesai beribadah. Aku memicingkan mataku, berusaha menangkap sosok pria yang memanggilku dengan lebih jelas. Kamu mungkin bisa melihatku terpekik melonjak saat menyadari itu adalah kamu.

Pada saat itu, hanya Tuhan dan semesta yang tahu bahwa aku telah menemukan kembali cinta pertamaku.

Aku menanyakan kabarmu sambil mengguncangkan jabatan tanganmu kuat-kuat. Kamu bersembunyi dimana dalam rentang penantian panjangku? Kamu tidak tahu betapa rindunya aku. Kamu tertawa. Kamu begitu mempesona. Jerat yang berusaha menghidupkan rasa yang telah berhasil kupadamkan saat kembali kau bertanya "Lalu kita akan bagaimana?"

Kamu hanya tidak tahu, betapa sakit aku ketika sekali lagi aku harus meninggalkanmu. Entah aku masih waras atau kegilaan sudah menginvasi otakku. Meski aku begitu menyayangimu, namun sulit untuk ada kata KITA diakhir cerita.

Ksatria Sepeda Kumbang,
Aku mencari pembenaran dari keputusan yang sudah tertalak dari mulutku. Lalu aku kembali terdampar di sini. Di Pura Penataran Agung. Kembali ke tempat tujuh tahun lalu kita bersua. Kembali membuka paksa celah memori yang tanpa kusadari telah menganga.Tapi aku yakin, di sinilah jawabnya.

Sudah lama aku tidak beribadah di sini. Ah, mungkin saja saat ini Dewa Brahma sedang mengutuk aku atas segala kealpaan menghadapnya. Atau saat ini dewa Syiwa sedang mengincarku yang sewaktu-waktu lengah. Tapi apakah ini murni salahku?

Ksatria Sepeda Kumbang, 
Saat pembenaran itu datang, hal yang paling aku harapkan adalah kehadiranmu di seberang undakan Pura. Sehingga dengan pasti aku bisa mengacungkan jari telunjukku mengarah pada dadamu. Ini semua salahmu.

Salahmu yang datang kembali setelah aku meninggalkanmu.

Salahmu yang tidak mau menerima bahwa kita tidak mungkin bersatu dalam tingkatan yang lebih tinggi dari sepasang sahabat.

Kamu tidak tahu aku telah berdoa untukmu kepada Tuhanku, jauh sebelum kita bertemu, tanpa tahu akan seperti apa Ia jadikan kamu. Aku mohon kepada Tuhanku untuk memberikan aku teman yang bisa aku sebut sebagai sahabat. Seseorang yang ia pilih hanya untukku. Seseorang yang dengan kelembutan hati dan kebijaksanaannya bisa membantuku dan membimbingku melewati masa-masa suram atau sulitku.

Dulu aku lebih suka sendiri. Aku begitu takut untuk terlalu menyayangi dan memiiki seorang teman. Aku lebih memilih untuk membiarkan diriku pergi, daripada menyakiti. Tapi kamu tahu? Aku sungguh memerlukan seseorang. Hanya sekedar untuk mendengarkan saat aku berkisah. Seeorang yang tidak akan memicingkan mata, menyudutkan senyumnya, atau memberikan penilaian tanpa aku pinta. Seseorang yang akan mau repot “menangkap” ketika aku terjatuh. Dan tanpa sungkan aku pun akan melakukan hal yang sama.

Lalu kamu sungguh-sungguh datang.

Tuhanku memberikan lebih dari apa yang aku pinta. Karena kemudian ia mengirimkan kamu sebagai jawabannya. Tapi lagi-lagi aku takut. Karena mereka berkata bahwa persahabatan sejati itu tidak ada. Sesuatu yang hanya bisa dimimpikan untuk menjelma. 

Apakah kamu menyadari bahwa ikatan yang terjadi antara kita begitu istimewa? Ia unik dengan cara kita yang sederhana. Sebuah ikatan yang mungkin tidak akan tergantikan. Dan akan semakin kuat seiring waktu berjalan. Ya, kita sudah melewatinya bersama. Meski baru seujung jengkal waktu yang ada di belakang kita. Tapi aku tidak akan pernah lupa. Semua masa dimana kamu menunjukkan rasa perdulimu yang tidak terhingga.

Kamu tahu saat pertama Tuhanmu dan Tuhanku saling bertemu dalam wujud kita? Saat itu kita begitu malu-malu dalam seragam putih biru. Bahkan hanya untuk sekadar menyapa di gerbang Pura.

Aku ingat beberapa waktu kemudian kita tertawa mengenang saat pertama kita berjumpa. Ya, kita tertawa sampai meneteskan air mata. Lalu kita berkata semoga persahabatan kita akan selamanya. Semoga semakin kuat ikatan yang kita punya. Oh, aku sangat menyukai cara kau menyukaiku. Dan aku tidak bisa berterimakasih dengan cukup untuk menggantikan berkah yang menghampiriku. 

Lalu kita berjanji bahwa kisah kita akan tetap tumbuh, seiring waktu berjalan. Karena aku sudah meletakkan kepercayaan atasmu, bahwa semuanya akan baik-baik saja dalam perjalanan pertemanan kita.

Lalu kita saling bertanya, Maukah kamu berjanji kita akan tetap begitu? Tetap bersahabat sampai waktu menghilang perlahan dalam catatan sejarah manusia?

Lalu kita menautkan kelingking satu sama lain.

Dan dari semenjak itu aku harus menepikan semua rasa padamu. Rasa yang tak biasa. Rasa yang tak seharusnya.

Ah Ksatria Sepeda Kumbang, mengapa harus kamu? Mengapa harus terjadi pada kita?

“Aku ingin kamu tahu. Aku sayang padamu.” Ucapmu tujuh tahun lalu saat kembali kita bertemu di Pura Basukian.

Dan aku tahu, itu adalah saat yang tepat bagi kita untuk mengakhirinya. Karena jauh di dalam hatiku, aku merasakan hal yang sama. Sejak pertama kita berjumpa.

Maafkan aku. Ternyata ini bukan salahmu.

Adalah telunjukku, yang seharusnya mengarah dalam-dalam ke jantungku. Dan berharap ia tak pernah mengenal rasa yang berbeda selain persahabatan yang murni.

Tapi ia tidak bisa.

Jadi di sinilah aku, di tempat pertama kita bertemu. Dengan satu tekad yang bulat. Memaksa semua sinaps dalam otakku, tak lagi saling terhubung jika aku diingatkan kembali oleh sosokmu.

Terima kasih sudah memberikan begitu banyak kenangan manis di masa putih biruku. Terima kasih pula telah datang kembali tujuh tahun yang lalu. Namun yang terbaik adalah ini.

Selamat tinggal Ksatria Sepeda Kumbang.

Puteri Bebek Betutu.

Now Playing IF YOU"RE NOT THE ONE - Daniel Bedingfeld
I don't want to run away but I can't take it,
I don't understand,
If I'm not made for you then why does my heart tell me that I am?
Is there any way I can stay in your arms?


--
Inspired by true story.