Friday, February 28, 2014

Sweetest Past


Dear Sweetest Past,

Seasons come and seasons go. But my heart still fills with joy and happiness remembering a man with his warm eyes and a woman with her silly smile talking for hours over nothing not caring if they wasted the time. As long as they're together.

Yes, Ed, they were us. Oh, bersama dua cangkir kopi dan teh tentunya.

Ed, don't you know you're a beautiful thing that ever came into my life out of nowhere? Back then i couldn't understand why i trusted you, why i decided to put my heart in your hand. But i had faith in you. I had faith in us. And for everything that ever happened, i never ever regret it, not even now. Because Ed, you built a shelter and shed the love in my heart. I was loved. I was blessed. And after 3 years of our togetherness, you're not only a page. But you're one of important chapters in my book of life.

Ah, Ed... if only you know, aku mengisi halaman pada buku kehidupanku dengan begitu bahagia selama bulan ini. This February, i can speak out on the truth about the past to someone comfortably. Yes i can. With you. You're so kind to me, Ed. I should thank you.

And for those reasons, Ed, i am pleased to welcome you if you will deign to come. Me and him, we will be honoured by your presence. Tolong kabari aku sesampaimu di Indonesia. Promise?

Bandung, the last day in the month of love
- a very blessed woman -

PS:
Sorry for my bad bad English. We all know that you're the master. 


***
balasan dari http://dennyed.blogspot.com/2014/02/lebih-dari.html?m=1

Wednesday, February 26, 2014

C’ést La Vie


Bonjour, stranger in Paris.

Tahukah kamu bahwa Bandung pagi ini serupa penghujung musim semi di Paris, Ed? Sekira 18 derajat Celcius. Setidaknya di tempatku saat ini. Alhasil aku memilih menikmati secangkir cokelat hangat sembari bergelung dalam selimut di sofa dekat jendela belakang yang menghadap taman. Kamu masih ingat, kan? Iya, itu tempat favoritmu saat ketika kamu berkunjung ke kediamanku. 

Jadi kamu sudah menikmati beberapa Paris cuisine, Ed? Ah, c’est bon! Tapi mengapa French fries? Jangan bilang kamu lebih tertarik menikmati kentang goreng berbalur saus alih-alih L’Atelier Maitre Alber. Itu kan salah satu impian kita. Menikmati kuliner kelas dunia di Champs-Elysee atau sekadar menikmati kafe pinggir jalan sambil melihat orang lalu lalang berbicara dengan aksen Prancis yang seksi. Oh...Jangan bilang keanggunan Paris membuatmu begitu terpukau sampai lupa segalanya. Terkadang keindahan yang terlalu bisa begitu membahayakan, ya? C’ést la vie, Ed.

Bicara mengenai keindahan, saat ini aku sedang memandanginya. Tergantung manis pada dua manekin. Dua kebaya yang begitu cantik dan kuyakin memiliki daya magis yang mampu membuatku tampil berbeda saat aku mengenakan mereka. Satu yang berwarna gading akan kugunakan untuk akad. Dan satu lagi perpaduan cokelat emas dan biru untuk resepsi malam harinya. Keduanya tidak mewah, tapi begitu anggun. Kau kan tahu aku tidak menyukai sesuatu yang berlebihan. Namun kupikir mereka akan sangat cocok kukenakan di pesta kebun nanti. Ya, Ed, resepsi kami mengadopsi konsep pernikahan impian yang pernah terlontar dalam obrolan iseng kita di suatu senja yang lalu. 

Ah, mengapa aku jadi mengungkit ingatan? Seperti rintik hujan pagi ini memberi andil meski tak sepatutnya ia dipersalahkan. Tapi percayalah, Ed, saat ini aku tersenyum. Aku begitu bahagia atas anugerah yang begitu indah yang aku terima. Tuhan begitu baik, bukan? Ia membahagiakan kita dengan caraNya, terkadang tanpa bisa kita duga.

Dan demi kebahagiaan yang sedang melingkupiku, izinkan aku menggoreskan sebuah rima untukmu.

Ed, you made me happy when i was sad
You calmed me down when i was mad
Everything you've done and said
Sweetest memory i've ever had

Merci beaucoup, Ed. Terima kasih untuk semua kenangan yang begitu indah.

Bandung, Paris Van Java, 26 Februari 2014
-uber happy bride to be-


***
balasan dari http://dennyed.blogspot.com/2014/02/sempat-erat.html?m=1

Monday, February 24, 2014

Count On Me


Dearest Ed,

Beberapa penyadaran datang di tengah perjalanan. Namun tak jarang ia pun nyaris terlambat datang. Tapi apakah ada waktu yang benar-benar terlambat? Kukira tidak, sampai Tuhan benar-benar memutuskan begitu. Ups, kupikir sebaiknya kita kembali kepada tujuan awal surat-surat kita dibuat. Tentu bukan untuk menyesali apa yang pernah terjadi antara kita, bukan? Melainkan untuk kembali bertegur sapa, memastikan bahwa satu sama lain baik-baik saja. Tanpa ada maksud merangkai jalinan yang pernah ada seperti dulu kala.

Ed, apakah kita sedang berada pada titik penyadaran yang sama? Sebuah bentuk penyadaran, bahwa semua kejadian selalu memiliki tujuan. Entahlah. Yang pasti aku ingin kamu tahu, aku benar-benar bersyukur atas hari di mana kamu memulai rangkaian surat ini. Dan butuh kelapangan hati dan kedalaman pikiran untuk mengungkap makna dibalik itu semua. 

Kamu, sudah berada di belahan bumi yang mana sekarang? Kamu berjanji untuk mengisahkan perjalanan denganku, Ed. Dan kupikir, sekarang waktu yang tepat untuk kembali berbagi cerita. Aku ingin potongan kisahmu menemani masa-masa pingitan yang harus aku jalani. Ah, kamu pasti membayangkan betapa aku akan begitu bosan terkurung di rumah tanpa kegiatan, bukankah? Sebenarnya tidak, ternyata masih banyak yang harus kupersiapkan dalam waktu kurang dari seminggu ke depan. Ternyata benar, mempersiapkan pernikahan itu bukanlah hal yang mudah, Ed. Tapi bukan pula hal yang tidak menyenangkan. Dan kisah perjalananmu yang tentunya luar biasa kuyakini bisa membuat kesenangan yang kurasakan berlipat ganda. 

Ed, not all of our secrets shall be told. We should keep some. Well that's what secret is for, right? But at some points, it's okay to share it and reserve it to the most loyal friend. And you can count on me, always. Kamu mau kan berbagi denganku, Ed?

Bandung, 24 Februari 2014
Your (Loyal) Friend

PS:
Selagi kau menikmati kopimu, Ed, aku mulai mengakrabi madu. Kata bunda, terlalu banyak kopi akan membuat tubuhku layu. Ah ya, bunda masih saya mencemaskan hal-hal yang tidak perlu. 

***

Thursday, February 20, 2014

Us, The Puzzled Puzzle



Dear Ed,

Aku mengakhiri suratmu dengan satu penyadaran yang menampar kesadaranku. Betapa kita dulu mengukuhkan saling mencinta tapi tidak meluangkan sedikitpun waktu untuk duduk dan berbincang mengenai perasaan kita sesungguhnya. Kita, tepatnya aku, benar-benar terjebak dalam zona nyaman tanpa mau bersusah payah berkomunikasi yang sebagaimana seharusnya dilakukan oleh mereka yang terikat sebagai pasangan. Sehingga meskipun kita menyatakan bahwa waktu yang kita lewati adalah waktu yang luar biasa, nyatanya ia tidak. Karena waktu yang kita habiskan ternyata berisi kesia-siaan, tersebab kita tidak mengisinya dengan membicarakan hal yang sesungguhnya teramat penting bagi kita berdua.

Kamu tahu, Ed, kesabaran adalah hal yang kuanggap penting dalam hidup terutama ketika melibatkan suatu hubungan yang lebih serius antara dua manusia. Untuk itulah aku tidak memaksa dalam hal yang terkait kita. Aku tidak memaksa kamu dan aku untuk tetap menjadi kita. Aku senang bahwa pada akhirnya kita telah sama-sama mendapatkan waktu untuk berpikir mengenai apa yang terbaik untuk masing-masing kita. Meski jalan yang kita lalui untuk sampai pada penyadaran tersebut bukanlah jalan yang pernah terbayangkan olehku. Sama sekali.

Kamu ingat, Ed, ketika kita berkesempatan duduk berdua dan berbincang beberapa bulan sebelum kepergianmu. Sorot matamu saat itu membiaskan keraguan tentang hubungan kita. Aku pikir pada tingkat tertentu, apakah itu besar atau kecil, setiap hubungan akan terlintasi keraguan atau pikiran bahwa mungkin apa yang dijalani tidak sepadan dengan usaha dan pengorbanan yang diberikan. Tapi keyakinan begitu melingkupiku saat itu. Bahwa jika masing-masing dari kita benar-benar peduli tentang satu sama lain, maka perlahan keraguan itu sirna. Kita sama-sama peduli, Ed. Tapi tetap saja hubungan kita tidak berhasil. Lalu apa yang tidak benar? Dan sekarang aku mengerti, kepedulian kita bukanlah jenis kepedulian yang bisa membimbing kita menuju ikatan yang lebih sakral. 

Aku paham, kita membutuhkan ruang dan waktu dengan maksud yang berbeda namun untuk tujuan yang sama, menata hati setelah apa yang terjadi. Pernah ada perasaan sakit, mengapa yang kita upayakan tidak berhasil. Namun aku semakin memahami bahwa mungkin rasa sakit itu akan semakin menebal dan mengakar jika kita memaksa melanjutkan hubungan kita. Maka aku memilih untuk memaafkan. Memaafkan kamu, memaafkan diriku, memaafkan waktu. Dan aku berusaha untuk melupakan rasa sakit dengan berupaya memahami bahwa terkadang kita tidak perlu benar-benar berusaha mencari tahu alasan di balik ini semua. Memaafkan tidak selalu berarti harus benar-benar memahami, bukan? Dengan kesabaran, jawaban-jawaban atas pertanyaan akan datang kemudian. Memaafkan tidak semerta menghapus kesalahan yang pernah sama-sama kita lakukan. Tapi sekali kita mulai memaafkan, maka segala kenangan manis yang pernah terlewati perlahan bangkit kembali dan membuat hati kita menjadi jauh lebih baik.  

Ed, aku memberikan kesempatan kepada diriku sendiri untuk mengingat alasan yang menyebabkan aku pernah menjatuhi rasa padamu, terlepas dari apapun yang kamu rasakan atasku. Dan sejujurnya, kenangan itu membuat aku mampu menjalani hari berikutnya dengan perasaan yang lebih lega dan bahagia.

Bandung, 20 Februari 2014

PS:
So we're much alike a puzzle. Maybe we formed the complete picture. But we could not make us whole. But that's okay. I loved you. I loved us. I loved my life with you, a puzzled life.


---
balasan dari http://dennyed.blogspot.com/2014/02/silly-sunflower.html?m=1

Tuesday, February 18, 2014

The Honest Truth



Senja memang patut diselamatkan, Ed.

Dari apa? Dari kebingunganku membalas suratmu tentu saja.
Well, what can i say? What should i say?
I overthink too much. I'm trying not to make assumptions right here right now.

Apa yang bisa kusampaikan saat ini adalah, rasa terima kasih yang mendalam untuk begitu sabar menghadapiku selama ini. Keberadaanmu pernah menjadi alasan kebahagiaanku. Namun kepergianmu lah yang menjadi alasan keberanianku menghadapi dunia, dengan kakiku sendiri. Fakta bahwa ternyata ada begitu banyak keraguanmu tentang kita, tentu saja tak bisa aku kesampingkan. Namun entah mengapa, hal tersebut sudah aku duga. Tentu kamu masih ingat di salah satu surat balasanku aku pernah menulis, aku ingin satu saat tak ada lagi rahasia di antara kita.

Dan satu di antaranya sudah kamu kuak. Apakah akan ada yang lainnya, aku tak tahu, Ed. Aku tidak mau membuat asumsi yang tak membawaku kemana pun selain kebingungan tak berujung.

Ed, setelah apa yang pernah kamu perbuat dan kamu suratkan kemarin, tak pernah terlintas dalam benakku kekecewaan atau kemarahan. Aku tidak mau menghianati apa yang telah dikaruniakan Tuhan atas hidupku melalui kamu.

Ed, jika aku pernah memberiku momen-momen membahagiakan, aku merasa tersanjung. Aku harap banyak hal dari apa yang pernah kita jalani terbungkus dalam nuansa yang berbeda dari apa yang telah kamu rasakan. Namun beberapa hal dalam hidup mungkin memang tidak ditakdirkan memenuhi apa yang kita harap, bukankah? Atau memang kita belum menyadari. Mungkinkah waktu yang akan membantu mengungkap lapisannya, satu demi satu? Atau mungkin kamu rasa cukupkan saja karena kamu sudah melalui banyak waktu yang tersia-sia denganku? Aku harap tidak begitu. Aku harap.

Bandung, 18 Februari 2014

PS:
I have been, am now, and will always be honest with you. Remain truthful to yourself, as hard as it may be.

***
balasan dari http://dennyed.blogspot.com/2014/02/bukan-kita.html

Monday, February 17, 2014

Lelaki Yang Akan Membelah Angkasa



Kepada Lelaki Yang Akan Membelah Angkasa,

Percayalah, bahwa selalu ada alasan dibalik pertemuan dua manusia. Bahwa sebuah perjumpaan bukanlah sekadar kejadian acak. Dua orang bertemu karena memang Tuhan memaksudkan mereka untuk menjadi bagian dari perjalanan masing-masing. Dan begitu pula dengan kita. 

Lelaki, ada alasan mengapa kita berjumpa. Mungkin untuk saat ini aku belum tahu apa. Mungkin untuk saat ini kamu pun belum tahu apa. Tapi jalan takdir kita telah saling bersilang, dan tepat di tengahnya kita namakan pertemuan. 

Pertemuan kita adalah sederhana. Tidak ada perayaan istimewa atau perjamuan yang luar biasa. Tapi manisnya, harus kuakui sampai saat ini masih terasa. Jika ada satu hal yang mesti aku ingat dari kita, adalah bahwa pertemuan denganmu merupakan salah satu hari dimana aku merasa diberkati. Percayalah.

Lelaki Yang Akan Membelah Angkasa,

Layaknya sebuah perjumpaan, tak ada satu pun perjalanan yang merupakan kesia-siaan. Maka kali ini, pergilah. Pergi untuk cita-cita dan mimpi yang butuh kamu wujudkan. Rangkailah ribuan kisah yang kelak siap kau ceritakan saat kamu kembali. Dan jadikan pertemuan kita berikutnya sebuah pertemuan yang lebih manis dari sebelumnya. 

Ah, mengapa pula aku meyakini bahwa kamu akan kembali? Karena aku percaya bahwa selalu ada pulang pada setiap pergi.


Bandung, 17 Februari 2014

Wanita Yang Perlahan Berdoa Dalam Diam

Sunday, February 16, 2014

NO ROOM FOR ANYONE ELSE



Episode Pertama.

Kita bertemu di bandara, tepatnya di conveyor belt. Aku memandangimu, lebih dikarenakan jemari kita yang berpagut pada pegangan bibir koperku. Lalu kita bertemu lagi di kedai kopi depan bandara sesudah itu, terpaut beberapa meja. Aku kembali memandangimu karena kamu juga memandangiku. Setelah berbalas senyum yang canggung, kamu berpindah tempat menjadi tepat di depanku. “Hai, aku Ed,” katamu. Dan kusebutkan namaku.

Aku semakin mengenalmu seiring bergulirnya waktu. Semakin mengenal baik, hingga aku tak lagi ingat kapan tepatnya aku mulai menjatuhi rasa yang lebih padamu. Kita mulai sering bertemu, entah dalam suasana romantis ataupun tidak, dan aku mulai terjerat pada rasa yang semakin dalam.

Aku mengingat dengan baik malam di mana untuk pertama kalinya kamu mengatakan bahwa kamu pikir kamu mulai menyukai aku. Aku ingat, aku hanya bisa tersenyum karena pekik bahagiaku sudah habis bergema dalam hati. Apakah dengan hanya tersenyum berarti aku bersandiwara? Tidak. Karena jika kamu perhatikan, mataku merah karena menahan tangis haru. Ah, betapa kamu tidak tahu Ed, bahwa aku sudah menunggu lama untuk kamu menyatakan hal itu padaku.

Waktu semakin bergulir. Aku pikir, kita semakin tidak terpisahkan. Namun tiba satu babak, di mana kita berada di ujung-ujung jembatan. Kita mulai berjalan menuju satu sama lain dengan senyum mengembang, hingga tiba-tiba badai menghadang. Kamu melihat awan gelap, berhenti sejenak untuk memicingkan mata, dan mulai berjalan kembali sembari meyakinkan diri sendiri bahwa matahari tidak akan pernah bersinar lagi jika kita tetap bersama. Aku terus berjalan di tengah hujan mengharapkan badai secepatnya berhenti, mengharapkan menyaksikan matahari bersinar lagi di sampingmu, bersama-sama. Namun badai belum berkenan mereda, meski aku sudah berdoa dalam langkah yang tatih. Akhirnya, ketika aku sampai di ujung yang lain, aku menemukan bahwa kamu telah memutuskan untuk melanjutkan perjalananmu tanpa aku. Semenjak itu, berjalan sendirian dalam hidup tidak pernah lebih sulit.

Because I love you, Ed. Because there is no room for anyone else.

---

Episode Yang Entah.

Kita bertemu di bandara, tepatnya di ruang tunggu kedatangan. Aku memandangimu, lebih dikarenakan aku ingin menangkap utuh sosokmu. Lalu kita berjalan berdua menuju kedai kopi depan bandara sesudah itu. Aku kembali memandangimu karena kamu juga memandangiku. Setelah berbalas senyum yang canggung, tatapanmu berpindah tempat menjadi tepat di jari manisku. “Cincin yang manis, Bets,” katamu. Aku mengangguk setuju. Dan cerita pun berlanjut sebagaimana ia seharusnya, sekarang.

Because I loved you, Ed. Because there was no room for anyone else.

Bandung, 16 Februari 2014

PS:
Ed, kita mungkin tidak berhasil sebagai pasangan. Tapi aku percaya, kita masih bisa menikmati senja sebagai teman.


---