Thursday, February 20, 2014

Us, The Puzzled Puzzle



Dear Ed,

Aku mengakhiri suratmu dengan satu penyadaran yang menampar kesadaranku. Betapa kita dulu mengukuhkan saling mencinta tapi tidak meluangkan sedikitpun waktu untuk duduk dan berbincang mengenai perasaan kita sesungguhnya. Kita, tepatnya aku, benar-benar terjebak dalam zona nyaman tanpa mau bersusah payah berkomunikasi yang sebagaimana seharusnya dilakukan oleh mereka yang terikat sebagai pasangan. Sehingga meskipun kita menyatakan bahwa waktu yang kita lewati adalah waktu yang luar biasa, nyatanya ia tidak. Karena waktu yang kita habiskan ternyata berisi kesia-siaan, tersebab kita tidak mengisinya dengan membicarakan hal yang sesungguhnya teramat penting bagi kita berdua.

Kamu tahu, Ed, kesabaran adalah hal yang kuanggap penting dalam hidup terutama ketika melibatkan suatu hubungan yang lebih serius antara dua manusia. Untuk itulah aku tidak memaksa dalam hal yang terkait kita. Aku tidak memaksa kamu dan aku untuk tetap menjadi kita. Aku senang bahwa pada akhirnya kita telah sama-sama mendapatkan waktu untuk berpikir mengenai apa yang terbaik untuk masing-masing kita. Meski jalan yang kita lalui untuk sampai pada penyadaran tersebut bukanlah jalan yang pernah terbayangkan olehku. Sama sekali.

Kamu ingat, Ed, ketika kita berkesempatan duduk berdua dan berbincang beberapa bulan sebelum kepergianmu. Sorot matamu saat itu membiaskan keraguan tentang hubungan kita. Aku pikir pada tingkat tertentu, apakah itu besar atau kecil, setiap hubungan akan terlintasi keraguan atau pikiran bahwa mungkin apa yang dijalani tidak sepadan dengan usaha dan pengorbanan yang diberikan. Tapi keyakinan begitu melingkupiku saat itu. Bahwa jika masing-masing dari kita benar-benar peduli tentang satu sama lain, maka perlahan keraguan itu sirna. Kita sama-sama peduli, Ed. Tapi tetap saja hubungan kita tidak berhasil. Lalu apa yang tidak benar? Dan sekarang aku mengerti, kepedulian kita bukanlah jenis kepedulian yang bisa membimbing kita menuju ikatan yang lebih sakral. 

Aku paham, kita membutuhkan ruang dan waktu dengan maksud yang berbeda namun untuk tujuan yang sama, menata hati setelah apa yang terjadi. Pernah ada perasaan sakit, mengapa yang kita upayakan tidak berhasil. Namun aku semakin memahami bahwa mungkin rasa sakit itu akan semakin menebal dan mengakar jika kita memaksa melanjutkan hubungan kita. Maka aku memilih untuk memaafkan. Memaafkan kamu, memaafkan diriku, memaafkan waktu. Dan aku berusaha untuk melupakan rasa sakit dengan berupaya memahami bahwa terkadang kita tidak perlu benar-benar berusaha mencari tahu alasan di balik ini semua. Memaafkan tidak selalu berarti harus benar-benar memahami, bukan? Dengan kesabaran, jawaban-jawaban atas pertanyaan akan datang kemudian. Memaafkan tidak semerta menghapus kesalahan yang pernah sama-sama kita lakukan. Tapi sekali kita mulai memaafkan, maka segala kenangan manis yang pernah terlewati perlahan bangkit kembali dan membuat hati kita menjadi jauh lebih baik.  

Ed, aku memberikan kesempatan kepada diriku sendiri untuk mengingat alasan yang menyebabkan aku pernah menjatuhi rasa padamu, terlepas dari apapun yang kamu rasakan atasku. Dan sejujurnya, kenangan itu membuat aku mampu menjalani hari berikutnya dengan perasaan yang lebih lega dan bahagia.

Bandung, 20 Februari 2014

PS:
So we're much alike a puzzle. Maybe we formed the complete picture. But we could not make us whole. But that's okay. I loved you. I loved us. I loved my life with you, a puzzled life.


---
balasan dari http://dennyed.blogspot.com/2014/02/silly-sunflower.html?m=1

No comments:

Post a Comment