Sunday, February 16, 2014

NO ROOM FOR ANYONE ELSE



Episode Pertama.

Kita bertemu di bandara, tepatnya di conveyor belt. Aku memandangimu, lebih dikarenakan jemari kita yang berpagut pada pegangan bibir koperku. Lalu kita bertemu lagi di kedai kopi depan bandara sesudah itu, terpaut beberapa meja. Aku kembali memandangimu karena kamu juga memandangiku. Setelah berbalas senyum yang canggung, kamu berpindah tempat menjadi tepat di depanku. “Hai, aku Ed,” katamu. Dan kusebutkan namaku.

Aku semakin mengenalmu seiring bergulirnya waktu. Semakin mengenal baik, hingga aku tak lagi ingat kapan tepatnya aku mulai menjatuhi rasa yang lebih padamu. Kita mulai sering bertemu, entah dalam suasana romantis ataupun tidak, dan aku mulai terjerat pada rasa yang semakin dalam.

Aku mengingat dengan baik malam di mana untuk pertama kalinya kamu mengatakan bahwa kamu pikir kamu mulai menyukai aku. Aku ingat, aku hanya bisa tersenyum karena pekik bahagiaku sudah habis bergema dalam hati. Apakah dengan hanya tersenyum berarti aku bersandiwara? Tidak. Karena jika kamu perhatikan, mataku merah karena menahan tangis haru. Ah, betapa kamu tidak tahu Ed, bahwa aku sudah menunggu lama untuk kamu menyatakan hal itu padaku.

Waktu semakin bergulir. Aku pikir, kita semakin tidak terpisahkan. Namun tiba satu babak, di mana kita berada di ujung-ujung jembatan. Kita mulai berjalan menuju satu sama lain dengan senyum mengembang, hingga tiba-tiba badai menghadang. Kamu melihat awan gelap, berhenti sejenak untuk memicingkan mata, dan mulai berjalan kembali sembari meyakinkan diri sendiri bahwa matahari tidak akan pernah bersinar lagi jika kita tetap bersama. Aku terus berjalan di tengah hujan mengharapkan badai secepatnya berhenti, mengharapkan menyaksikan matahari bersinar lagi di sampingmu, bersama-sama. Namun badai belum berkenan mereda, meski aku sudah berdoa dalam langkah yang tatih. Akhirnya, ketika aku sampai di ujung yang lain, aku menemukan bahwa kamu telah memutuskan untuk melanjutkan perjalananmu tanpa aku. Semenjak itu, berjalan sendirian dalam hidup tidak pernah lebih sulit.

Because I love you, Ed. Because there is no room for anyone else.

---

Episode Yang Entah.

Kita bertemu di bandara, tepatnya di ruang tunggu kedatangan. Aku memandangimu, lebih dikarenakan aku ingin menangkap utuh sosokmu. Lalu kita berjalan berdua menuju kedai kopi depan bandara sesudah itu. Aku kembali memandangimu karena kamu juga memandangiku. Setelah berbalas senyum yang canggung, tatapanmu berpindah tempat menjadi tepat di jari manisku. “Cincin yang manis, Bets,” katamu. Aku mengangguk setuju. Dan cerita pun berlanjut sebagaimana ia seharusnya, sekarang.

Because I loved you, Ed. Because there was no room for anyone else.

Bandung, 16 Februari 2014

PS:
Ed, kita mungkin tidak berhasil sebagai pasangan. Tapi aku percaya, kita masih bisa menikmati senja sebagai teman.


---

No comments:

Post a Comment