Wednesday, June 27, 2012

GENGGAMAN TANGAN


Air terjun Tawang Mangu


“Ini beneran kamu harus mengajak dia ikut kita?” aku mendelik ke arah Cantika. Ia sedang melompat kegirangan melihat pemandangan Tawang Mangu yang menakjubkan.

“Ya terus apa lagi yang harus aku lakukan? Meninggalkan dia sendirian di rumah sementara kita asyik bersenang-senang di sini?” lelaki di hadapanku tampak membela habis-habisan.

“Kita bisa menitipkan Cantika di rumah Ibumu.”

“Apa?” lelaki itu tampak terkejut, “Kamu tahu mereka saling tidak menyukai.”

Aku mendengus. Ya, tentu saja Ibu tidak akan suka dengan Cantika. Secantik apapun dia. Tetap saja ia menjengkelkan.

“Sudahlah, kita tidak perlu mendebatkan hal ini. Lagi pula, kita sudah sampai. Ayo dong tersenyumlah sedikit. Nggak capek apa ini bibirnya manyun terus?” candanya sambil menyubit bibirku.

Mas Fahmi selalu bisa membuat aku tersenyum.

Tawangmangu memang menakjubkan. Rasa lelah yang menemani sepanjang perjalanan dari Solo cukup terbayar dengan pemandangan yang tersaji di depan kami. Walaupun praktis selama perjalanan Cantika tak henti mencemburuiku yang asyik bernyanyi mengikuti lagu dari cakram bersama Mas Fahmi.

"Tolong gendong dia, ya,” pinta Mas Fahmi yang tampak kesulitan membawa kontainer kecil beisi bekal makanan. Cantika tampak ketakutan saat akan melewati jembatan menuju air terjun.

Aku melotot. “Lebih baik aku yang membawa benda-benda berat itu Mas.” Aku mengangsurkan tangaku untuk mengambil beban dari tangannya.

“Sudah aku bilang, ini acara kita berdua, Mas. Ngapain juga mesti bawa-bawa dia?” aku menghentakkan kaki.

Mungkin Mas Fahmi paham aku cemburu. Sambil menggendong Cantika, ia meraih pundakku dan mengelusnya. Tangan kirinya lekat menggenggam jemari tangan kananku saat melintasi jembatan. Udara yang segar dan gemericik air meluruhkan rasa kesalku. 

“Jangan pernah lepaskan genggaman tangnmu, Mas. Atau kau bersiap tidak akan kebagian bekal piknik. Dan jangan harap aku akan masak makanan untukmu dalam 3 bulan ke depan,” tambahku sedikit bercanda.
“Aku janji.” Mas Fahmi tertawa, terkekeh. Cantika menatapku dengan matanya yang nyalang.  

Kami sampai diujung jembatan dan mulai meniti bebatuan. Kami sudah memilih tempat untu bersantai dan perlahan menuju ke sana.

TIba-tiba Cantika menjerit. Ia terlihat kaget saat tubuhnya terciprat oleh semburan air terjun. Dan Mas Fahmi menghianati janjinya. Ia melepaskan genggaman tangannya dariku. untuk melindungi mahluk berbulu yang ia sayangi melebihi aku.

Sekilas aku melihat senyum di mata kucing milik Cantika. Lalu gelap. 

---

Aku serius saat mengucapkan itu, Mas. Aku tidak akan memasakkan makanan untukmu 3 bulan ke depan. Dan mungkin 3 bulan ke depannya lagi. Lagi, dan lagi. Atau selamanya.

Aku tidak tega melihatmu bersedih, Mas. Tapi aku bisa apa? Kamu lah yang melepaskan genggaman tangan…

…dan membiarkan kepalaku bercumbu dengan bebatuan Tawang Mangu hari itu. 

---

Tuesday, June 26, 2012

MEMORI TENTANGMU

 Banyak tentangmu tidak aku tahu
Harusnya aku berwujud menjadi kutu
Menggali imaji di setiap belahan otakmu
Dan akan kuhisap semua, tanpa ragu.

Aku, kamu, serupa lelah menunggu
Aku menujumu, kamu kah yang menujuku?
Lalu, mengapa tetap tak bertemu?
Jadi yang tidak benar adalah waktu?

Atau cara kita yang tak Satu
Dalam menunjuk Tuhanmu dan Tuhanku?
-bety- 

Pura Besakih, Bali


Lalu aku terdampar di sini. Di Pura Penataran Agung. Kembali ke tempat dulu kita bersua. Kembali membuka paksa celah memori yang tanpa kusadari telah menganga. Bahkan semenjak aku menapakkan satu jari kakiku di Komplek Pura Besakih ini.

Sudah lama aku tidak beribadah di sini. Ah, mungkin saja saat ini Dewa Brahma sedang mengutuk aku atas segala kealpaan menghadapnya. Atau saat ini dewa Syiwa sedang mengincarku yang sewaktu-waktu lengah. 

Tapi apakah ini murni salahku?

Mungkin jika saat itu datang, hal yang paling aku harapkan adalah kehadiranmu di seberang undakan Pura. Sehingga dengan pasti aku bisa mengacungkan jari telunjukku mengarah pada dadamu.

Ini semua salahmu.

Salahmu yang datang dan kemudian meninggalkanku.

Salahmu yang tidak mau memperjuangkanku.

Aku telah berdoa untukmu kepada Tuhanku, jauh sebelum kita bertemu, tanpa tahu akan seperti apa Ia jadikan kamu. Aku mohon kepada Tuhanku untuk memberikan aku teman yang bisa aku sebut sebagai sahabat. Seseorang yang ia pilih hanya untukku. Seseorang yang dengan kelembutan hati dan kebijaksanaannya bisa membantuku dan membimbingku melewati masa-masa suram atau sulitku.

Dulu aku lebih suka sendiri. Aku begitu takut untuk terlalu menyayangi dan memiiki seorang teman. Aku lebih memilih untuk membiarkan diriku pergi, daripada menyakiti. Tapi kamu tahu? Aku sungguh memerlukan seseorang. Hanya sekedar untuk mendengarkan saat aku berkisah. Seeorang yang tidak akan memicingkan mata, menyudutkan senyumnya, atau memberikan penilaian tanpa aku pinta. Seseorang yang akan mau repot “menangkap” ketika aku terjatuh. Dan tanpa sungkan aku pun akan melakukan hal yang sama.

Lalu kamu sungguh-sungguh datang.

Tuhanku memberikan lebih dari apa yang aku pinta. Karena kemudian ia mengirimkan kamu sebagai jawabannya. Tapi lagi-lagi aku takut. Karena mereka berkata bahwa persahabatan sejati itu tidak ada. Sesuatu yang hanya bisa dimimpikan untuk menjelma. 

Apakah kamu menyadari bahwa ikatan yang terjadi antara kita begitu istimewa? Ia unik dengan cara kita yang sederhana. Sebuah ikatan yang mungkin tidak akan tergantikan. Dan akan semakin kuat seiring waktu berjalan. Ya, kita sudah melewatinya bersama. Meski baru seujung jengkal waktu yang ada di belakang kita. Tapi aku tidak akan pernah lupa. Semua masa dimana kamu menunjukkan rasa perdulimu yang tidak terhingga.

Kamu tahu saat pertama Tuhanmu dan Tuhanku saling bertemu dalam wujud kita? Saat itu kita begitu malu-malu. Bahkan hanya untuk sekadar menyapa di gerbang Pura.

Aku ingat beberapa waktu kemudian kita tertawa mengenang saat pertama kita berjumpa. Ya, kita tertawa sampai meneteskan air mata. Lalu kita berkata semoga persahabatan kita akan selamanya. Semoga semakin kuat ikatan yang kita punya. Oh, aku sangat menyukai cara kau menyukaiku. Dan aku tidak bisa berterimakasih dengan cukup untuk menggantikan berkah yang menghampiriku. 

Lalu kita berjanji bahwa kisah kita akan tetap tumbuh, seiring waktu berjalan. Karena aku sudah meletakkan kepercayaan atasmu, bahwa semuanya akan baik-baik saja dalam perjalanan pertemanan kita.

Lalu kita saling bertanya, Maukah kamu berjanji kita akan tetap begitu? Tetap bersahabat sampai waktu menghilang perlahan dalam catatan sejarah manusia?

Lalu kita menautkan kelingking satu sama lain.

Dan dari semenjak itu aku harus menepikan semua rasa padamu. Rasa yang tak biasa. Rasa yang tak seharusnya.

“Aku ingin kamu tahu. Aku sayang padamu.” Ucapmu berbulan kemudian saat kembali kita bertemu di Pura Basukian.

Dan aku tahu, itu adalah saat yang tepat bagi kita untuk mengakhirinya. Karena jauh di dalam hatiku, aku merasakan hal yang sama. Sejak pertama kita berjumpa.

Maafkan aku. Ternyata ini bukan salahmu.

Adalah telunjukku, yang seharusnya mengarah dalam-dalam ke jantungku. Dan berharap ia tak pernah mengenal rasa yang berbeda selain persahabatan yang murni.

Tapi ia tidak bisa.

Jadi di sinilah aku, di tempat pertama kita bertemu. Dengan satu tekad yang bulat. Memaksa semua sinaps dalam otakku, tak lagi saling terhubung jika aku diingatkan kembali oleh sosokmu.

Selamat tinggal.
---

MUNGKIN (TAKKAN) ADA LAGI



Ketika rindu membelai lembut
Ketika harap terhambat kabut
Jangan tunggu, tutup matamu
Mimpi akan memeluk tanpa ragu.

Semua kesal, tawa dan gundah
Semua  rasa berbalut dalam kisah
Baringkan dan kunci dalam memori
Karena mungkin (takkan) ada lagi
-bety-



Raja Ampat
 
 *

Raja Ampat. 

Di atas kapal kayu yang meliuk di permukaan laut. Di atas hamparan permadani biru dan ribuan mahluk air yang berenang kesana kemari.

Di atas surga di atas dunia.

Kamu duduk di sampingku. Diiringi detak jantungku yang saling berlomba. Berkejaran.

Semburat mentari pagi keemasan berkolaborasi dengan bayangan cantiknya koral di antara birunya air. Sama sekali tidak setara dengan semu kemerahan yang menghiasi tulang pipimu. 

Pun sejumput bunga ungu mekar yang baru saja aku petik, menyisakan butiran embun pada kelopaknya, sedikit membasahi tubuhmu.

Tidak ada yang menandingi. Wajahmu terlalu sempurna.

Kamu menyeruput gelas plastik berisi kopi Papua. Aromanya menyebar, menyeruak diam di antara kita. Kamu tidak mau menunggu. Aku suka kamu menyukai kopi racikanku.

Kamu tersenyum, menoleh ke arahku. Kopi dan Raja Ampat, apa yang lebih sempurna dari ini? tanyamu.

Aku tersenyum tolol. Kamu tentu saja, jawabku dalam diam.

Mengapa mengucapkan selamat tinggal selalu sulit? Mengapa? Aku tak habis pikir.

Denganmu aku memeroleh kenyamanan dalam tingkatan yang sangat tinggi. Aku bisa bercerita mengenai hal-hal tak berguna dan tetap kamu tak membiarkan aku terlihat bodoh pada akhirnya.

Kamu membuat aku merasa istimewa dan dicintai bahkan di setiap detik waktu yang bergulir deras. Kamu tak tahu betapa aku merasa bahagia dan terberkati memiliki malaikat sepertimu dalam hidupku.

Jadi, apa alasan yang menyakitkan dari perpisahan ini? Apakah bahwa kita sama menyadari jiwa kita terkoneksi. Tanpa kita tahu bagaimana ini semua bisa terjadi? Apakah ini mungkin karena tanpa kita dasari kita sudah membuat komitmen satu sama lain selamanya jauh di bawah alam sadar kita?

Aku pernah bertanya, Siapakah kamu?

Kamu, bukanlah seseorang yang aku tahu. Karena kamu ingin begitu.

Apa yang kamu tunjukkan jauh menutupi apa yang ingin aku ketahui. Kamu biarkan aku membentuk imaji tentangmu, menelannya bulat-bulat, dan menyimpannya dalam sel abu-abuku kepalaku.

Tapi kamu tahu? Bahkan aku tidak perduli.

Kita di sini. Itu yang terpenting. Di kelilingi surga yang dihiraukan oleh mereka yang berlomba mengunjungi keelokan yang lainnya. Di antara gemericik air yang bercumbu dengan para ikan yang berkelit dari jeratan dan kemudian asyik tertawa.

Kita di sini. Untuk satu sama lain. Untuk selamanya. Dan ini adalah janji tanpa sadar yang pernah saling kita buat. Tak terucap, tapi saling terikat. 

Kamu. Kamu bisa membawaku ke manapun tempat yang kamu inginkan. Karena mungkin setelah kali ini tidak akan ada lagi. Karena mungkin setelah ini kamu tidak membiarkan aku mencumbu sosokmu, dan membiarkan jiwaku tenggelam melebihi palung terdalam di birunya Raja Ampat atau laut manapun.

Percayalah bahwa ini bukanlah mengenai kamu atau aku. Ini mengenai KITA. 

Sampai kapan kita akan begini? Diam-diam dalam bayang?
Dan ini menyesakkan karena mungkin, mungkin setelah kali ini tidak akan ada lagi.
Pada akhirnya hanya akan ada aku sendiri, si keras kepala yang bahkan lebih keras dari batu karang Raja Ampat. Jangan pernah paksa aku untuk mengeluarkanmu dari dalam kepalaku. Atau ia akan pecah, selamanya.

*

Monday, June 25, 2012

Langit pun Tersenyum


Wakatobi


Desember 2010

Honeymoon di Wakatobi? Seriusan?” aku tak berhenti terkekeh mendengar perkataannya. 

Ia meninju lenganku. “Kenapa enggak? Itu impianku kok,” katanya ketus. Matanya tetap terpaku pada layar komputer perpustakaan, lekat memandangi gambar-gambar pemandangan Wakatobi yang ia dapat dari internet.

“Kalau aku maunya ke Pangandaran aja, gimana? Masih mau?” aku tetap menggodanya.

“Idih,,, emangnya siapa yang mau honeymoon sama situ? Sudah ah, aku ada bimbingan.” Ia mencibir dan berlari kecil menjauhiku.

Tapi selapis senyum menghiasi ujung bibir lembutnya. Dan mata nyalangnya menyampaikan pesan, “Ya, tentu saja!”

Tiara.

--

Mei 2012

“Kita akan kemana, Nan?” tanyanya dengan mata penuh curiga saat aku mengajaknya meliburkan diri. Dan matanya membulat seketika saat aku ucapkan satu kata yang memang menghuni angan-angannya selama ini.

“Serius?” jeritnya sambil mengguncang-guncang pundakku saat itu.

Aku menggeleng dan terbahak. Tapi kamu tahu aku bercanda.
Ya, aku serius. Aku selalu serius untuk kebahagiaan kamu Tiara. Selalu.

Jadi, di sinilah kita sekarang. Bersama melahap hamparan laut biru yang mempesona. Setelah melalui perjalanan yang panjang. Seperti kisah kita.

Teriakan kegirangan Tiara membuatku terjaga dari lamunan.

“Benar kan, Nan. Wakatobi itu mempesona. Oh, Danan you have no idea how lucky I am right now. Thanks to you,” ia memelukku dengan erat.

Iya, Tiara. Wakatobi memang mempesona. Tapi ia tidak mampu menghipnotisku sedahsyat satu kerlingan senyummu.

“Yakin kita akan bermalam di tempat ini?” Ia mengerling nakal saat kami memasuki cottage di tepi pantai.

Desir daun kelapa yang bergesekan tertiup angin tidak bisa menandingi hentakan jantungku yang berdebam aneh.

“Kenapa tidak?” Aku tersenyum sambil menggaruk kepala yang tidak gatal sama sekali.

“Selamat menikmati bulan madu. Jangan sungkan menghubungi saya atau bagian resepsionis jika ada hal yang dibutuhkan,” ucap pegawai cottage sambil menyerahkan kunci kepada kami.

Tiara tertawa kecil dan aku tertawa jengah saat pria tersebut melirik cincin di jari manis kami masing-masing.

Kami masuk ke dalam cottage sambil tertawa. Melemparkan tas ke segala arah secara serampangan. Dan sama-sama berteriak, “Saatnya snorkeling!” sambil berlari ke arah pantai.

Kami bergandengan tangan. Sepasang cincin di jari manis kami saling bertaut.

--

Akhir Juni 2012

Diving atau Snorkeling?” tanyaku sambil memperhatikan sosok tubuhnya yang ramping.

“Apapun itu, asal sama kamu Mas.” Ia menolehkan kepalanya ke arahku. “And by the way, thank you for this greatest honeymoon. I’ll never forget it, Mas. Thank you,” senyumnya tak berhenti mengembang.

“Aku juga. Kamu bahagia?” tanyaku lagi padanya.

“Sangat, Mas. Sangat.”

Dan langitpun ikut tersenyum, mengiringi senyum istriku.

Tapi tetap, senyumnya maupun senyum langit Wakatobi tidak mampu menghipnotis aku sedahsyat sejumput senyummu, Tiara.

---

Thursday, June 21, 2012

AKU KEMBALI



Old Town Area, Surabaya

Old Town Area.
Jadi di sinilah aku kembali. Memenuhi janji yang pernah kita semaikan dalam selembar kertas buram. Masih aku ingat tulisanmu yang nyata tergores buru-buru kala itu.


Maaf, Vero. Kang Mas harus buru-buru pergi. Tapi Mas janji akan kembali. Saat semua sudah memungkinkan, saat keadaan sudah aman, maka tidak ada lagi yang bisa menghalangi kita untuk bersatu. Pegang kata-kata Mas. Baik-baik ya kamu di sini. Tunggu aku.
NB: Jembatan Merah, Saat bulan purnama
Salam sayang,
Kang Mas


Aku tetap menggenggam kertas itu. Walau bagaimanapun, inilah satu-satunya pengikat janji yang sampai saat ini membuatku bertahan menunggunya.

Meski entah sampai bulan purnama ke berapa.

Aku menghela nafas. 

Aku melayangkan pandangan ke sekeliling. Menyapu setiap sudut kota tua. Sampai saat terakhir kunjunganku, ia tidak banyak berubah. Kecuali semakin sesak oleh para pelancong.

Aku membenarkan letak topi dan gaun rendaku yang sedikit tertiup angin.

Sebentar lagi senja memudar berganti malam. Sudah saatnya aku menuju Jembatan Merah.

Aku sedikit mempercepat gerak langkahku. Melebur di antara para pejalan kaki lainnya. Aku menunduk dan meliuk. Beberapa kali berhenti di antara lalu lalang manusia.

Akhirnya tiba juga.

Aku menghirup nafas dalam-dalam. Udaranya tidak lagi sama seperti dulu. Tapi kupikir, diantara pesatnya pertumbuhan Surabaya, daerah ini lah yang mampu membuatku sedikit nyaman. Tidak terlalu sesak. Tidak terlalu pengap. Terlebih, di sinilah harapanku kuletakkan.

Ahhh, langit yang merah mulai menghitam. Tapi di mana dia? Tentu dia tidak lupa, bukan?
Sebegitu sibukkah dia? Sebegitu jauhkan jarak yang membentang? Sebegitu tidak bersahabatkan waktu? 

Bagiku ia terlalu penting. Dia alasan yang tepat untukku kembali lagi ke sini.

Entah sudah berapa jam aku menunggu. Entah sudah berapa wajah yang kutemui. Tapi tidak satupun yang mengingatkanku atas sosoknya. 

Aku mengentakkan kaki. Dadaku berdegub kencang. Mataku kembali panas.  
Oh, apakah bulan purnama kali ini aku kembali gagal bertemu dia? 
Tak sadar air mata kembali mengaliri sepasang pipi tirusku.

Gemetar tanganku meraih rantai jam dan membukanya. Pukul 12 malam.
Jemariku meremas surat pemberian dia. 

Maaf Kang Mas, waktuku sudah habis. Aku harus pulang.

Aku tak akan menangis. Aku tidak pernah menyesali ribuan purnama yang sudah aku lewati di sini untuk menunggunya. Lain waktu, aku akan kembali. Dan akan selalu begitu sampai aku bertemu kekasihku, Kolonel Rifai. Sampai takdir menyatukan kami, dua manusia berbeda bangsa.

Aku membenarkan letak topi dan gaun rendaku. Kembali melayang di antara sesaknya pejalan kaki di Kota Tua.

*
  It was a letter that you sent  
From somewhere far away.
A sacred place where you went

Or maybe where you hide away.

 
  I tacked your letter on the wall
  Where I slept above my head.
  On your scratched hasty scrawl
  I remember what you said.

  It was a letter that you sent
  With your sweet kiss as a stamp.
  You know how the story ends
  In my heart you're the only champ.

  So I left your letter hanging
  On the wall above my bed.
  With some memories still living
  Stay firmly inside my head.

  It was a letter that you sent
  Spinned me with heavy rotation.
  Try to deny you still I can't
  Due this deep roots of devotion.


  *

Tuesday, June 19, 2012

RAMAI


Dulu…
Rindu itu terbuat dari apa?
Rindu itu kepunyaan siapa?
Kenapa selalu menuntut? Kurang ajar sekali dia.
Tolong nasehati rindu untuk sabar menunggu.
Tolong bilang rindu, “Sebentar lagi.”

 Lalu…
Kamu ingin rindu yang bagaimana?
Rindu seperti apa yang mencukupi?
Rindu seperti apa yang tidak kamu selingkuhi?
Rindu seperti apa yang tidak kamu pertanyakan?
Rindu seperti apa yang akan kamu perjuangkan?

-bety-

Malioboro, Jogjakarta
 *
Jadi Umi tidak akan ikut aku ke Jogja?” yakinku pada sosok wanita paruh baya di hadapanku.

Ia tetap menggeleng. Aku tersenyum. Aku sudah menduga jawabannya akan tetap sama seperti tahun-tahun sebelumnya.

Umi, aku tidak akan lelah melontarkan pertanyaan yang sama, sampai Umi mengangguk.

Tapi Umi tetap cemberut.

--

Aku tahu kenapa Umi benci sekali Jogja. 

Bukan, bukan karena udaranya yang lebih panas dari Lembang. Bukan pula karena Umi lebih menyukai batik Pekalongan. Atau bukan karena Umi lebih menyukai masakan Padang.

Setiap mendengar kata Jogja, Umi bisa mengernyitkan dahi dan mendadak mulas. Lalu tiba-tiba mengeluh Migrain. 

Di atas segalanya, Umi membenci Malioboro.

Dulu sewaktu aku kecil aku akan terheran-heran jika Umi menolak aku ajak ke Malioboro saat berkunjung ke rumah Yangti di Jogja. Bahkan dengan sedikit kasar Umi berkata, “Kalau mau ke Malioboro sama Pak Man sana. Nggak usah ajak Umi apalagi Yangti.” (Yangti = Eyang Putri)

“Yangti antar ke Malioboro ya, Nduk. Tapi jangan bilang-bilang Umimu. Nanti kita bilangnya pergi ke alun-alun.” Bujuk Yangti saat melihatku menangis di taman belakang.

Dan sore itu tanpa sepengetahuan Ibu, kami berdua pergi menyusuri jalan Malioboro dengan diantar Pak Man sopir kami.

“Nyonya yakin mau turun di sini?” tanya Pak Man dengan sedikit ngeri.

“Iya… Dan hal ini tidak perlu sampai diketahui Ningsih. Ingat itu, Man.” 

Aku semakin heran. Ada apa?

Kami menyusuri jalan Malioboro. Hmm, Malioboro memang indah, tetap ramai meski menjelang sore seperti ini. Oh, kupikir Umi tidak suka jalan ini mungkin karena keramaiannya. Dan Umi melarangku pergi dengan Yangti karena takut terjadi apa-apa pada Yangti yang beranjak tua.

Tapi ternyata tidak. Bukan itu alasannya.
Lalu, kenapa Umi membenci Malioboro?

“Yangti, aku ingin ini.” Tunjukku pada sepasang wayang kulit ukuran mini.

Yangti menggeleng. “Tidak kali ini, Nduk. Jika Umimu tahu, bagaimana?” Yangti membelikanku gulali yang rasanya enak sekali agar aku berhenti merengek.

Mendekati ujung jalan, di dekat gerbang masuk Vredeburg, tetiba Yangti menghentikan langkahnya. Memandang sendu ke sosok pria yang sedang berteduh dalam becak. Berkulit bersih, bertubuh kekar. Wajahnya mengingatkanku pada seseorang. Lelaki itu melihat kearah kami.

Yangti terdiam kaku. Lelaki itu pun begitu. Semerta keramaian Malioboro menghilang dalam isak tangis Yangti dan raut sendu lelaki itu.

Sepuluh tahun kemudian, aku tahu dia siapa. Lalu dengan paksa Umi membawa Yangti tinggal dengan kami di Bandung.

--

Yangti sakit. Semenjak seminggu lalu kondisinya tak juga membaik. Yangti meminta pulang ke Jogja. Umi menolak dengan alasan kesehatannya bisa bertambah buruk.

Dengan berat hati Yangti memintaku melakukan ini. Awalnya kami merahasiakannya dari Umi. Namun pada akhirnya Umi harus tahu, ucap Abi.

Umi memperbolehkan aku menemui lelaki itu. Hanya untuk mengantarkan surat Yangti. Tidak lebih.

Jadi hari ini, kembali aku menyusuri jalan Malioboro yang ramai sekali lagi untuk menemuinya.

“Bagaimana keadaan Yangtimu, Laras?” tanya pria di hadapanku setelah aku menyium tangannya.

“Yangti semakin membaik,” aku sedikit berbohong. “Yangti menitipkan ini.” Aku mengangsurkan selembar amplop besar kepada lelaki itu. 

Tulisan rapi tangan Yangti masih jelas terbaca. Ia membaca deretan huruf per huruf dengan kacamata bulatnya.

Ia menarik nafas berat. Seraya melipat surat dari Yangti.
"Maafkan aku, Lastri. Maafkan aku, Ningsih." Lelaki tua itu meneteskan air mata dan terduduk lesu.

Di tengah keramaian Malioboro, aku memeluk tubuh lelaki tua pengayuh becak yang tak lagi kekar.
Aku tahu ia pernah melakukan kesalahan menghianati Yangti, wanita yang sangat mencintainya. Yangti sudah memaafkannya sedari dulu.

Tapi sampai kapan Umi? Sampai kapan Umi mengingkari darah daging Umi sendiri?

--

Monday, June 18, 2012

RIAK DALAM BIRU


Pantai Pangandaran, Jawa Barat


Aku paling merindukan Biru di musim penghujan, saat dingin menusuk menyelinap melalui celah-celah di sekitar jendela dan angin membuat ribuan daun kelapa mengerang kesakitan. Selimut tipis tidak mampu menghalangi tubuhku dari menggigil yang sangat. Tangisan sedih burung camar di sepanjang pantai mewakili gema kekosongan hatiku hampir di setiap malam semenjak hari itu.

Biru telah pergi hampir dua tahun. Aku percaya saat ini ia mungkin sedang tertidur damai di sisi perahu nelayannya, tempat ia menghilang. Itu hukuman, kata penduduk kampung. Ia tumbal dari dewa laut. Ah, omong kosong apa lagi yang mesti aku dengar?

Semenjak Biru menghilang, aku kerap bermimpi tentangnya. Memanggil-manggil, dalam desahan angin bercampur debur ombak. Terkadang terdengar seperti teriakan dari laut terdalam, seakan teredam oleh jarak yang sangat besar.

Malam ini bayangan dirinya datang lagi. Dengan tubuh yang membengkak dan memar, terdampar di putihnya pasir pesisir. Kulit putihnya semakin pucat, sekujur tubuhnya terlilit rumput laut yang tampak licin. Matanya kosong, menatapku nanar. Sakit, katanya. Dan akhirnya ia memudar, menyisakan kesesakan yang berupa ampas amis. Membuatku mual.

Lalu tubuhku semakin menggigil.

---

Aku jatuh cinta pada Biru. Dan aku percaya ia pun begitu. 

Kami bahagia. Kami berkecukupan.
Kami memeroleh harta tak ternilai di kehidupan kami. Si lelaki kecil.
Namun lambat laun hidup semakin sulit. Dan kami hanya mampu mengganjal perut lelaki kecil dengan makanan seadanya.

Biru merasa tak berguna. Biru merasa gagal. Ia merasa tak lagi mampu melindungi dua detakan jantungnya. Bodohnya dia untuk setiap perasaan tak berguna yang ia pupuk semakin lama, semakin membuncah. Akhirnya....Setiap memar yang terpatri di kulitku oleh tangannya adalah tanda betapa ia mencintaiku. Dan setiap diamku adalah tanda betapa aku mencintainya.

Ia lelaki laut. Ia keras. Ia tangguh. 
Ia hidupku. Aku dan lelaki kecil adalah alasannya untuk berjuang hampir setiap malam. Dia dan lelaki kecil adalah alasanku menangis ketika hasil kerja kerasnya tidak menghasilkan.

Hidup di laut berat. Jika saja Neptunus lebih bersahabat dengannya. Maka ia akan menjadi lelaki sempurna. Dan aku memilih agar ia tetap begitu, dalam separuh diriku yang mempercayainya dan demi mata bulat si lelaki kecil saat mendengar cerita betapa hebat bapaknya.

Di malam-malam panjang yang kami lalui tanpa Biru, aku mendongeng tentang Biru pada lelaki kecil. “Bapakmu nelayan hebat, Nak. Ia telah menjelajahi palung terdalam dan ombak tertinggi. Namun pada satu titik, dewa laut ternyata lebih hebat darinya.” Lalu setelah si lelaki kecil lelap tertidur oleh dongengku, aku berbisik, “Dan ibumu jauh lebih hebat.  

Lelaki kecil tidak tahu, di malam sendiriku aku melolongkan tangis membelah malam. Kembali aku mengingat pagi buta saat aku membolongi perahu. Oh, betapa aku jatuh hati pada bapakmu, Nak. Kelu aku membelai tubuh mungil anakku dan melagukan kidung bagi Biru.

Come up to meet you
Tell you I'm sorry
You don't know how lovely you are
I had to find you
Tell you I need you
Tell you I set you apart
Tell me your secrets
And ask me your questions
Oh let's go back to the start
Running in circles
Calling tails
Heads on a silence apart

Perlahan pipiku basah oleh bulir air yang meluncur deras dari kantong mata.Aku pikir aku bisa lebih mencintai Biru saat ia telah tiada. Namun aku salah. Dan aku bersumpah, kini aku semakin merindui lelakiku.

If the sea were bunch of tears and swelled every day.
The waves couldn't wash my heartache away.

Skies always seemed sunny when you were here.
Now there's nothing but gloom in my atmosphere.

You're still on my memory, my love for you never die.
But it hurts to the bone that I lost you in eyes.

You were my everything, but now you're gone.
I’m about to break, i don't have the strength to carry on.

I miss you so much, for you were all that I had.
Now my whole world is painted black, depressing and sad.

My heart just like the sea, the sky, and your lovely eyes.
Since you left it turned blue, freezed, broken aparts.

Precious one, i'd like to start feeling other than blue.
But you were my whole world, now what can I do?

(bety oktarina)

---
Sebuah interpretasi dari The Scientist-Coldplay