Wednesday, June 27, 2012

GENGGAMAN TANGAN


Air terjun Tawang Mangu


“Ini beneran kamu harus mengajak dia ikut kita?” aku mendelik ke arah Cantika. Ia sedang melompat kegirangan melihat pemandangan Tawang Mangu yang menakjubkan.

“Ya terus apa lagi yang harus aku lakukan? Meninggalkan dia sendirian di rumah sementara kita asyik bersenang-senang di sini?” lelaki di hadapanku tampak membela habis-habisan.

“Kita bisa menitipkan Cantika di rumah Ibumu.”

“Apa?” lelaki itu tampak terkejut, “Kamu tahu mereka saling tidak menyukai.”

Aku mendengus. Ya, tentu saja Ibu tidak akan suka dengan Cantika. Secantik apapun dia. Tetap saja ia menjengkelkan.

“Sudahlah, kita tidak perlu mendebatkan hal ini. Lagi pula, kita sudah sampai. Ayo dong tersenyumlah sedikit. Nggak capek apa ini bibirnya manyun terus?” candanya sambil menyubit bibirku.

Mas Fahmi selalu bisa membuat aku tersenyum.

Tawangmangu memang menakjubkan. Rasa lelah yang menemani sepanjang perjalanan dari Solo cukup terbayar dengan pemandangan yang tersaji di depan kami. Walaupun praktis selama perjalanan Cantika tak henti mencemburuiku yang asyik bernyanyi mengikuti lagu dari cakram bersama Mas Fahmi.

"Tolong gendong dia, ya,” pinta Mas Fahmi yang tampak kesulitan membawa kontainer kecil beisi bekal makanan. Cantika tampak ketakutan saat akan melewati jembatan menuju air terjun.

Aku melotot. “Lebih baik aku yang membawa benda-benda berat itu Mas.” Aku mengangsurkan tangaku untuk mengambil beban dari tangannya.

“Sudah aku bilang, ini acara kita berdua, Mas. Ngapain juga mesti bawa-bawa dia?” aku menghentakkan kaki.

Mungkin Mas Fahmi paham aku cemburu. Sambil menggendong Cantika, ia meraih pundakku dan mengelusnya. Tangan kirinya lekat menggenggam jemari tangan kananku saat melintasi jembatan. Udara yang segar dan gemericik air meluruhkan rasa kesalku. 

“Jangan pernah lepaskan genggaman tangnmu, Mas. Atau kau bersiap tidak akan kebagian bekal piknik. Dan jangan harap aku akan masak makanan untukmu dalam 3 bulan ke depan,” tambahku sedikit bercanda.
“Aku janji.” Mas Fahmi tertawa, terkekeh. Cantika menatapku dengan matanya yang nyalang.  

Kami sampai diujung jembatan dan mulai meniti bebatuan. Kami sudah memilih tempat untu bersantai dan perlahan menuju ke sana.

TIba-tiba Cantika menjerit. Ia terlihat kaget saat tubuhnya terciprat oleh semburan air terjun. Dan Mas Fahmi menghianati janjinya. Ia melepaskan genggaman tangannya dariku. untuk melindungi mahluk berbulu yang ia sayangi melebihi aku.

Sekilas aku melihat senyum di mata kucing milik Cantika. Lalu gelap. 

---

Aku serius saat mengucapkan itu, Mas. Aku tidak akan memasakkan makanan untukmu 3 bulan ke depan. Dan mungkin 3 bulan ke depannya lagi. Lagi, dan lagi. Atau selamanya.

Aku tidak tega melihatmu bersedih, Mas. Tapi aku bisa apa? Kamu lah yang melepaskan genggaman tangan…

…dan membiarkan kepalaku bercumbu dengan bebatuan Tawang Mangu hari itu. 

---

1 comment:

  1. Aku kira anak tiri atau monyet. Eh ternyata kucing. Hmm, kabet seneng banget mengecohkan pembaca. :)

    ReplyDelete