Friday, June 15, 2012

KERUDUNG MERAH


Danau Toba, Sumatera Utara

Argghhhh!!!

Sudah hampir setengah hari mondar mandir di danau ini dan tak ada satupun ide yang tertuang dalam bentuk tulisan.

Dengan kesal aku kembali menutup cover tablet. Kembali menyenderkan badan pada sebatang pohon yang menaungi pulau di tengah danau. Aku menghela nafas, tampaknya hari ini tidak lagi ada karya yang bisa aku hasilkan.

Penulis macam apa aku?

Benar-benar tidak bisa membayangkan tatapan menusuk yang akan dilayangkan editorku nanti. 

Aku memandang sekeliling. Hamparan air danau mulai terlihat kemerahan, merefleksikan langit yang berada di atasnya.

Ini bukan musimnya liburan. Namun pesona Danau Toba tetap saja menyedot pengunjung yang ingin berwisata membelah hamparan perairan dengan perahu dan lalu menginjakkan kaki mereka di Pulau Samosir ini.

Seperti aku sekarang.

“Aku benar-benar butuh waktu merenung, Ndra,” keluhku di penghujung sore dua hari lalu. Sambil menyeruput kopi kulirik editorku. Reaksinya seperti biasa, tenang, datar.

Dengan ringan ia menjawab,”Kenapa tidak? Lakukan apa yang bisa membuat passion menulismu datang lagi.”

Ya. Dan di sinilah aku.Menepi dari keriuhan kota Medan.Dengan otak buntu. Tanpa gairah. Serba salah.
Dan tolong, jangan tanya kenapa. Kau boeh memandang kasihan, tapi tolong jangan lemparkan pertanyaan. Aku sedang tidak bernafsu untuk menjawab.

“Permisi, apakah Anda tertarik membeli Apel ini? Rasanya manis sekali.” 

Aku terlonjak kaget. Seorang nenek berpakaian hitam-hitam dengan penutup kepala menyodorkan sebuah apel merah yang ranum ke hadapanku. Tangan keriputnya sangat kontras dengan kulit apel yang kencang.

“Maaf, Nek. Tapi saya tidak lapar,” jawabku.

“Baiklah, tak mengapa. Mungkin sebaiknya nenek berikan saja Apel ini pada Putri. Sejurus kemudian si Nenek berjalan menjauhiku.

Aku kembali duduk. Nenek yang aneh. Mengapa ia mirip sekali dengan si Nenek dalam cerita Putri Salju. Dan siapa itu yang ia sebut Putri? Anak pemuka di daerah ini?

Ah sudahlah. Perlahan aku menutup mata.

“Kakak… maaf mengganggumu. Apakah Kakak ada melihat selendang di sekitar sini? Warnanya merah.” Tiba-tiba seorang gadis berkebaya putih membuyarkan lamunanku. 

Cantik. Aku sontak berdiri. Tunggu, tapi ada kesedihan dan ketakutan di wajahnya.

“Maaf, Dik. Tapi saya tidak melihat. Selendangmu?” 

“Bukan, Kak. Itu selendang Bawang Merah yang hanyut saat sedang kucuci. Ah, mereka pasti akan memarahiku,” isaknya.

Hah? Bawang Merah? Masih ada orang yang menggunakan nama itu di daerah sini? Hei, gadis ini benar-benar menangis..aku harus bagaimana?

“Kalau tidak keberatan, saya bisa membantu mencari,” aku berusaha menenangkan gadis di hadapanku.

“Tidak perlu, Kak. Saya bisa sendiri. Saya harus mencarinya sekarang. Terima kasih.” Bergegas ia berlari kecil.

“Hei…Semoga selendang merah itu ketemu ya dik…siapa namamu?”

“Bawang Putih, Kak. Aku Bawang Putih,” teriaknya.

Serius? Namanya Bawang Putih? Aku mengamati tubuhnya yang semakin menjauh.

Sore yang aneh.

Tiba-tiba aku mendengar senandung lagu anak-anak yang semakin mendekat. Dari kejauhan seorang gadis kecil mengenakan jaket bertudung kepala warna merah melambaikan tangan kepadaku.

Aku menegakkan badan. Siapa dia? Apakah aku kenal? 

“Paman, apakah Paman tahu, baru saja aku bertemu dengan serigala sewaktu berkunjung rumah Nenek? Serigalanya nakal, dia mau mengganggu aku dan nenek.” Ia berceloteh riang.

Serigala? Memang ada serigala di sekitar sini? Aku terkejut.

“Tapi sekarang serigala sudah baik. Tenang saja. Oh, sudah sore, aku pulang dulu ya. Dah Paman.” Riang ia berjalan menjauhiku.

Aku benar-benar kaget. Ada apa ini? Apa aku mengalami halusinasi? Siapa mereka? Apakah mereka penunggu pulau ini?

Ah, pasti ini mimpi. Pasti aku tertidur. Aku memandangi langit yang semakin memerah. Sudah saatnya aku pergi dari pulau ini.

Aku berdiri, berjalan menuju deretan perahu sambil menundukkan kepala. Jangan, kumohon jangan ada yang bertanya lagi kali ini. Sore hari ini sudah cukup membuatku bingung.

Pasti! Semua ini pasti karena Mawar! Si bunga merah yang sudah menusukku dengan durinya. Seharusnya aku bisa melupakan dia. sejak berbulan lalu. Tolol sekali aku masih terjebak masa lalu dengannya.Bangun, hei bangun! Hadapi hidupmu sendiri!

“Maaf, apakah aku boleh bertanya,” sapa seseorang.

Oh, tidak lagi. Aku mendongakkan kepala melihat siapa yang berani menggangguku dengan pertanyaan konyol.

Aku terkejut. Dia. Editorku.Sosoknya berbaur dengan langit Danau Toba yang memerah.

“Sudah bertapanya? Jadi, kapan kita bisa memulai lagi?” tanyanya lembut.

Berdiri anggun dihadapanku. Andra. Berkerudung merah. 

Baru aku sadar. Dia begitu cantik. Dan dia yang begitu memahamiku selama ini.

Merah.
Semua merah ini pertanda. Aliran darahku kembali terpacu menuju hati.
Ah, persetan dengan Mawar.

"Kapan bisa mulai? Bagaimana kalau saat ini juga?" tantangku. 

Senyum Andra merekah. Ia menganggukkan kepala, dalam balutan kerudung merah. 

--

7 comments:

  1. Hahahahaha.. kompilasi yang kocak! keren!

    ReplyDelete
  2. Wow menggabungkan legenda2 nih..

    hmmm jadi Andra itu cewe ya Bet?

    ReplyDelete
  3. Haha...
    Ternyata kita tak perlu untuk mencari cinta.
    Berikan saja waktu dan hatimu agar cinta dapat melihat dan menemukanmu...

    ReplyDelete
  4. Wah halusinasinya (mimpinya) dari berbagai dongeng ternyata.

    ReplyDelete