Tuesday, June 26, 2012

MEMORI TENTANGMU

 Banyak tentangmu tidak aku tahu
Harusnya aku berwujud menjadi kutu
Menggali imaji di setiap belahan otakmu
Dan akan kuhisap semua, tanpa ragu.

Aku, kamu, serupa lelah menunggu
Aku menujumu, kamu kah yang menujuku?
Lalu, mengapa tetap tak bertemu?
Jadi yang tidak benar adalah waktu?

Atau cara kita yang tak Satu
Dalam menunjuk Tuhanmu dan Tuhanku?
-bety- 

Pura Besakih, Bali


Lalu aku terdampar di sini. Di Pura Penataran Agung. Kembali ke tempat dulu kita bersua. Kembali membuka paksa celah memori yang tanpa kusadari telah menganga. Bahkan semenjak aku menapakkan satu jari kakiku di Komplek Pura Besakih ini.

Sudah lama aku tidak beribadah di sini. Ah, mungkin saja saat ini Dewa Brahma sedang mengutuk aku atas segala kealpaan menghadapnya. Atau saat ini dewa Syiwa sedang mengincarku yang sewaktu-waktu lengah. 

Tapi apakah ini murni salahku?

Mungkin jika saat itu datang, hal yang paling aku harapkan adalah kehadiranmu di seberang undakan Pura. Sehingga dengan pasti aku bisa mengacungkan jari telunjukku mengarah pada dadamu.

Ini semua salahmu.

Salahmu yang datang dan kemudian meninggalkanku.

Salahmu yang tidak mau memperjuangkanku.

Aku telah berdoa untukmu kepada Tuhanku, jauh sebelum kita bertemu, tanpa tahu akan seperti apa Ia jadikan kamu. Aku mohon kepada Tuhanku untuk memberikan aku teman yang bisa aku sebut sebagai sahabat. Seseorang yang ia pilih hanya untukku. Seseorang yang dengan kelembutan hati dan kebijaksanaannya bisa membantuku dan membimbingku melewati masa-masa suram atau sulitku.

Dulu aku lebih suka sendiri. Aku begitu takut untuk terlalu menyayangi dan memiiki seorang teman. Aku lebih memilih untuk membiarkan diriku pergi, daripada menyakiti. Tapi kamu tahu? Aku sungguh memerlukan seseorang. Hanya sekedar untuk mendengarkan saat aku berkisah. Seeorang yang tidak akan memicingkan mata, menyudutkan senyumnya, atau memberikan penilaian tanpa aku pinta. Seseorang yang akan mau repot “menangkap” ketika aku terjatuh. Dan tanpa sungkan aku pun akan melakukan hal yang sama.

Lalu kamu sungguh-sungguh datang.

Tuhanku memberikan lebih dari apa yang aku pinta. Karena kemudian ia mengirimkan kamu sebagai jawabannya. Tapi lagi-lagi aku takut. Karena mereka berkata bahwa persahabatan sejati itu tidak ada. Sesuatu yang hanya bisa dimimpikan untuk menjelma. 

Apakah kamu menyadari bahwa ikatan yang terjadi antara kita begitu istimewa? Ia unik dengan cara kita yang sederhana. Sebuah ikatan yang mungkin tidak akan tergantikan. Dan akan semakin kuat seiring waktu berjalan. Ya, kita sudah melewatinya bersama. Meski baru seujung jengkal waktu yang ada di belakang kita. Tapi aku tidak akan pernah lupa. Semua masa dimana kamu menunjukkan rasa perdulimu yang tidak terhingga.

Kamu tahu saat pertama Tuhanmu dan Tuhanku saling bertemu dalam wujud kita? Saat itu kita begitu malu-malu. Bahkan hanya untuk sekadar menyapa di gerbang Pura.

Aku ingat beberapa waktu kemudian kita tertawa mengenang saat pertama kita berjumpa. Ya, kita tertawa sampai meneteskan air mata. Lalu kita berkata semoga persahabatan kita akan selamanya. Semoga semakin kuat ikatan yang kita punya. Oh, aku sangat menyukai cara kau menyukaiku. Dan aku tidak bisa berterimakasih dengan cukup untuk menggantikan berkah yang menghampiriku. 

Lalu kita berjanji bahwa kisah kita akan tetap tumbuh, seiring waktu berjalan. Karena aku sudah meletakkan kepercayaan atasmu, bahwa semuanya akan baik-baik saja dalam perjalanan pertemanan kita.

Lalu kita saling bertanya, Maukah kamu berjanji kita akan tetap begitu? Tetap bersahabat sampai waktu menghilang perlahan dalam catatan sejarah manusia?

Lalu kita menautkan kelingking satu sama lain.

Dan dari semenjak itu aku harus menepikan semua rasa padamu. Rasa yang tak biasa. Rasa yang tak seharusnya.

“Aku ingin kamu tahu. Aku sayang padamu.” Ucapmu berbulan kemudian saat kembali kita bertemu di Pura Basukian.

Dan aku tahu, itu adalah saat yang tepat bagi kita untuk mengakhirinya. Karena jauh di dalam hatiku, aku merasakan hal yang sama. Sejak pertama kita berjumpa.

Maafkan aku. Ternyata ini bukan salahmu.

Adalah telunjukku, yang seharusnya mengarah dalam-dalam ke jantungku. Dan berharap ia tak pernah mengenal rasa yang berbeda selain persahabatan yang murni.

Tapi ia tidak bisa.

Jadi di sinilah aku, di tempat pertama kita bertemu. Dengan satu tekad yang bulat. Memaksa semua sinaps dalam otakku, tak lagi saling terhubung jika aku diingatkan kembali oleh sosokmu.

Selamat tinggal.
---

No comments:

Post a Comment