Friday, February 14, 2014

This Is A (Love) Letter, Ed



Selamat senja yang abu, Ed

Surat balasan yang kutulis bukanlah untuk mengungkit kisah lama atau apapun yang pada akhirnya mungkin akan menyakiti kita berdua atau mereka yang ada di sekeliling kita. Melainkan sebuah ringkasan dari manis pahit asam asin rasa yang pernah begitu riuhnya bercampur dalam kisah yang pernah kita rangkai. Setiap kata yang termaktub di dalamnya tidak lain adalah kebenaran. Tidak berlebihan, melainkan kejujuran.

Ed, aku bahkan tidak yakin mengapa aku menulis surat balasan untukmu, lagi dan lagi seolah itu adalah jenis candu yang baru. Mungkin karena memang ia harus begitu. Setelah apa yang telah terjadi, memang baiknya surat-surat antara kita ini ada. Aku tidak tahu, seolah ada mahluk kecil dalam gendang telingaku yang membisikkan bahwa aku hanya perlu melakukannya. Ya, begitu saja.

Aku tahu, terkadang aku dan kamu bisa menjadi sedikit bingung. Kita ini apa, melainkan hanya manusia? Kita adalah senyata-nyatanya sumber kesilapan itu sendiri. Kadang-kadang kita dapat melakukan hal-hal konyol dan baru menyadari setelah menghabiskan waktu yang entah berapa lama. Yang kupahami saat ini adalah, kita sedang melalui proses pembelajaran. Di mana satu akhir merupakan awal bagi yang lain, dan begitu seterusnya. Aku tahu kamu perlu waktu untuk berpikir atas kehidupanmu dan apa yang ingin kamu lakukan dalam hidupmu selanjutnya ketika kamu meningalkanku. Dan aku menghormati itu.

Ed, meskipun harus melalui beberapa tahun, aku telah belajar untuk menyadari. Kepergianmu yang begitu tiba-tiba tidaklah semerta menghapus gambaran mengenai sebenarnya kamu dari laci pemahamanku. Kamu hanya perlu melakukan apa yang perlu kamu lakukan, simple as that. Kamu telah menunjukkan kepadaku begitu banyak kemungkinan tak terbayangkan dalam hidup. Dan kamu pernah membuat aku tersenyum, kamu pernah membuat aku bahagia, kamu juga pernah membuat aku sedih. Tapi di atas semua yang pernah terjadi atasku mengenai kamu, kamu pernah membuat aku mencintaimu. Aku tidak akan pernah melupakan itu.

Ed, aku hanya ingin kamu bahagia, seperti yang tengah kurasakan saat ini. Hatiku telah kubesarkan seiring waktu untuk menerima bahwa bahagiamu yang paripurna bukanlah aku. Meski awalnya aku menolak kenyataan itu, dalam rentang masa yang nyata-nyatanya tidak sebentar.

Apakah kita pernah menjadi pasangan yang berbahagia? Aku bisa menjawab ya, kita pernah. Karena kebahagian itu pernah aku tangkap pula dari sorot matamu yang elang. Untuk itu biarkan aku mengurai ucapan terima kasih padamu, Ed. Terima kasih untuk kesediaanmu menjadi sahabatku, menjadi sandaranku, menjadi jangkar yang kokoh bagiku. Dan terima kasih atas waktu yang pernah kita lalui.

Bandung yang mulai terhujani abu, 14 Februari 2014

PS: 
Ingat balasan suratku terdahulu, Ed? Di mana aku menuliskan apakah aku akan tetap menyapamu dan tersenyum saat kita bertemu di belahan dunia yang entah? Jawabnya adalah sama untuk pertanyaanmu mengenai persimpangan jalan. Kamu pernah menjadi bagian dari hidupku, Ed. Dan bagian yang baik dalam hidup tidak seharusnya disingkirkan, meskipun ia adalah masa lalu. Meskipun kita tengah menjalani kisah yang baru.

Selamat hari kasih sayang, Ed.



***
balasan dari http://dennyed.blogspot.com/2014/02/yellow-traffic-light.html

No comments:

Post a Comment