Wednesday, April 24, 2013

PRASASTI



*
Sumpah aku ingin waktu berputar. Lalu kau bisa katakan itu sedari awal, Pram. Agar rasanya setara dari sekadar tersenggol kerikil. Tidak semacam ini, serupa kau robek jantungku dengan bedil.
Tanpa Reply.
----
Mataku adalah jangkar. Tertancap begitu dalam pada deretan huruf yang tersusun sahut menyahut di layar telepon pintarku. Setiap aku coba memalingkan tatapan darinya, setiap itu pula tecongkel air dari kantung mata.
Terpekur aku memandang nanar deretan kata terakhir itu. Sampai saat ini mereka tidak berbalas.
Sekali lagi aku menggeserkan trackpad ke arah atas. Kembali membaca sejarah percakapan antara aku dan dia.
Aku lakukan itu dengan terpaksa, Ra. Tolong cermati alasanku. Tak ada yang lebih patut diyakini bahwa akan ada jalannya jika memang bersama adalah takdir kita. Namun jika ini adalah akhirnya, kita harus terima.
Mendadak kepalaku pusing.
Salahkan siapa bila aku akhirnya tergoda untuk membuka kotak Pandora? Patutkah aku menyalahkan mereka yang memutuskan berbondong-bondong pulang kampung pada waktu yang sama? Haruskah aku memaki atasanku yang baru mengeluarkan keputusan dimulainya libur bersama di minus tiga hari raya? Atau mungkin memarahi diri yang tidak cepat-cepat memesan tiket pesawat sehingga terjebak di pelabuhan Merak dalam kendaraan berkapasitas 56 nyawa?
Ah, Tidak. Semua salah. Jawabannya jelas. Aku harus meludahi diriku sendiri yang tidak punya keberanian menghancurkan prasasti kisah dia dan aku. Sehingga akhirnya tergoda mengisi waktu membaca lagi dan lagi percakapan itu.
Aku melirik ke pergelangan tangan. Pukul 8 lebih 24 menit. Matahari sudah beranjak naik sedari tadi. Tapi bis ini belum juga beranjak satu senti pun semenjak berjam yang lalu. 
Aku menoleh ke beberapa wajah yang gelisah. Hingar bingar tangisan anak kecil, umpatan yang sia-sia terhadap antrian kendaraan di pelabuhan yang enggan bergerak, lenguhan kekesalan pemuda yang gadgetnya memutuskan untuk mati suri sejenak. Gemeretak gigi yang mengunyah dan harum makanan yang tak lagi sembunyi-sembunyi keluar dari bungkusnya. Semua godaan ini perlahan membuat perutku mual.
Terutama godaan untuk menjenguk deretan kata yang teruntai dari jariku dan dia. Mereka masih ada di situ. Seperti sebelumnya. Lagi dan lagi mataku mencengkeram setiap huruf yang bersandingan.
“Permisi, mau ikut turun? Sekadar meluruskan kaki. Pegal sekali seluruh badan ini.” Ajakan pria muda yang duduk di sampingku merampas mataku untuk menoleh ke arahnya dengan paksa.
Entah harus berterima kasih atau mengumpat dalam hati atas gangguan yang tiba-tiba, tersenyum aku menjawab. “Terima kasih. Saya tunggu di sini saja,” jawaban sesopan mungkin aku rangkai.
“Baiklah. Saya turun dulu kalau begitu.” Sejurus kemudian ia membalikkan badan. Tampak ragu, ia bertanya, “Hmmm….Maaf, mungkin ada yang mau dititip? Makanan atau minuman mungkin?”
Aku menggeleng. Ia tersenyum, lalu pergi.
Mungkin si pria berpikir aku tidak kuat, sama sepertinya. Dalam keadaan seperti ini kami memang bisa dikategorikan sebagai musafir. Atau tidak? Entahlah.
Pelabuhan Merak benar-benar telah membuatku muak. Namun aku lega. Akhirnya aku sendiri.
Kamu tidak pernah membiarkan aku tahu sebelumnya. Kamu biarkan selama ini aku meraba tanpa tahu apa yang nyata. Jadi akan bagaimana, Pram? Akan bagaimana?
Ya, jadi akan bagaimana?
Aku merasa kacau. Aku benci menafsirkan rajah raut wajah yang membayang dari jendela di sebelahku. Potongan kisah aku dan dia menari-nari di sana. Matahari yang mulai garang membombardir masuk dalam bentuk cahaya. Menyilaukan mata.
Pram, besok aku ke Bandung. Rindu aku? Aku bisa menyempatkan untuk bertemu. Tempat biasa, apakah memungkinkan?
Terjawab.
Mengapa tidak? Aku tunggu. Tempatku saja.
Aku mual. Tanganku gemetar mengusap peluh. Pendingin udara semacam kehilangan kesaktiannya di pelabuhan yang sesak.
Mataku tertumbuk pada benda terbuat dari kulit di pergelangan tanganku. Lama aku meraba penunjuk waktu pemberiannya.
Membawaku kembali ke satu bulan lalu di apartemenku.
”Selain kamu, tak ada yang lebih cocok mengenakan benda ini. Pun aku. Percayalah. Selamat ulang tahun, Sayang.” Jarinya yang halus menyentuh pergelanganku. 
Malam itu ia datang membawa kejutan. Penunjuk waktu. 

“Waktu itu sebenar-benarnya cinta sejati. Ia akan selalu mendampingi. Tidak pernah ingkar karena ia selalu menyertai setiap langkah kamu. Mau kamu melupakan ataupun menghianati pun ia akan tetap ada.”
“Jadi, dia memberikan kamu apa? Jangan bilang menghadiamu cinta. Pasti tidak akan sebesar rasa yang aku punya,” lembut ia menyisir rambutku dengan jarinya.
Apakah ini saat yang tepat untuk aku merangkai kata yang mungkin akan merobek hatinya? Aku ragu. Perlahan aku melepaskan pagutan lengannya dari leherku.
 “Dia akan memberiku hadiah terindah, enam bulan lagi. Lelaki kecil.” 
Entah harus aku sebut apa ekspresinya saat itu. Sedetik kemudian aku bersumpah ingin menghilang untuk selamanya.
Tapi ternyata bukan aku. Melainkan dia.
Marah? Jelas. Menghiba dan bertanya? Ia patut untuk begitu. 
Aku diam. Ia menghilang dari hidupku.
Potongan gambar memudar dari jendela. Si pria muda sudah kembali ke sebelahku. Aroma rokok tercium, tajam menusuk hidung.
Menghindari pembicaraan yang berusaha keras ia rangkai, aku kembali menumbukkan mataku pada layar telepon.
Aku sudah berjuang untuk kamu, Pram. Walau terkadang caraku salah. Tapi apakah kamu sudah berhenti untuk berjuang? Ini menyiksa. Kamu tahu?
Terjawab.
Maafkan aku atas semua ini. Maafkan. Tapi aku bisa apa, Ra? Aku harus memikirkan mereka.
Pengecut kamu, Pram.
Terserah kamu sebut aku apa. Kamu tidak akan percaya. Sulitkan membagi cinta? Jika itu yang kamu tanya, lihatlah diriku sekarang. Kamu tahu apa jawab yang sebenarnya.
Omong kosong!
Tak ada jawaban. Untuk waktu lama.
Jangan sembunyi kamu.
Isi otakku. Bunyi mesin beratus kendaraan yang semerta dihidupkan. Klakson yang berebut menjerit. Lenguhan kepuasan dari sekeliling. Dan sesosok angsa besi yang bersandar dengan malu-malu di dermaga. 
“Akhirnya,” tanpa ragu-ragu si pria muda menepukkan tangan sambil tertawa.
Aku perduli apa? Kembali aku menelusuri rangkaian kata terakhir.
Sumpah aku ingin waktu berputar. Lalu kau bisa katakan itu sedari awal, Pram. Agar rasanya setara dari sekadar tersenggol kerikil. Tidak semacam ini, serupa kau robek jantungku dengan bedil.
Merangkai jawaban yang tertunda sekian lama, tanganku gemetar.
Maaf aku sudah membebani kamu dengan perasaanku yang pernah terungkapkan. Bagaimanapun aku tidak mempermainkan kamu. Aku tahu dengan pasti hatiku. Aku tahu siapa yang pantas aku jatuhi rasa sayang. Setelah kejadian ini, aku terlalu yakin bahwa kita benar-benar bisa menjadi sahabat. Ternyata aku salah. Sikapmu menunjukkan kita tidak bisa. Maafkan aku. Aku pikir inilah akhirnya. Selamat tinggal.
Delievered, dan Read.
Lalu apa yang aku harapkan? Dia menangis menghiba aku untuk memilihnya? Itu sudah ia lakukan. Pada saat itu, aku yang diam.
Kringgg…. 
Teleponku bergetar. Dia.
“Mas Pram, Mas sudah sampai mana? Anakmu sudah rindu. Perlu aku jemput ke pelabuhan Bakau?” lembut suara wanitaku ditimpali jerit si wanita kecil. “Papa… aku dan Mama mau bantuin Eyang bikin ketupat. Papa cepetan kesini.”
Aku tersenyum. Melihat ke arah dermaga. Merayap bis yang aku tumpangi mencoba mencari celah.
“Sabar, Sayang. Sebentar lagi Papa datang. Jaga Mama dan adik bayi untuk Papa, bisa?”
Aku menutup telepon. Istriku dan si wanita kecil baik-baik saja. Pun lelaki kecil yang ada dalam rahim wanitaku. 
Ya. Itu alasanku. Bahwa ternyata cinta pada wanitaku lebih besar.
Kembali membaca histori pesan. Kali ini dia yang tidak menjawab.
Tanpa gemetar tanganku menekan satu tombol. Delete.
Ini saatnya aku hancurkan. 
Maafkan aku Hanggara. Mulai kini tak ada lagi prasasti milik kita.
*

No comments:

Post a Comment