Tuesday, March 1, 2011

THE BOY IN THE STRIPPED PAJAMAS

Childhood is measured out by sounds and smeels and sights, before the dark hour of reason grows. 
John Betntjemen


Quote pembuka yang mengawali film The Boy in The Stripped Pajamas (TBTSP). Berhubung sudah baca resensi bukunya (walaupun sayangnya belum dapat kesempatan membaca keseluruhan isi buku), saya jadi bisa membayangkan kira2 gambaran film ini seperti apa. Latar belakang kehidupan di salah satu kamp Nazi yang dikemas dalam ‘dunia anak’ sedikit banyak membuat saya kembali menggali ingatan tentang film Life is Beautiful (LIB).  Visualisasi awal film cukup membuat bayangan awal saya terkuatkan (awal pemandangan indah, ¾ bagian film pemandangannya ‘suram’). Setting pemandangan yang menakjubkan, kehidupan yang nampak normal, anak-anak bermain2 di jalanan, riang gembira seperti yang seharusnya. Sama seperti LIB, dunia anak digambarkan dengan indah. Mungkin bedanya, yang satu menyoroti ras Aria, dan yang satu Yahudi. Dan alih-alih di Itali, film TBTSP mengambil setting di Berlin dan (sepertinya) Hungaria.  Ceritanya mengenai ‘kepolosan’ Bruno, anak seorang Komandan Jerman. Ia sangat senang bereksplorasi dan memiliki rasa ingin tahu yang besar. Promosi yang didapat ayahnya mengharuskan ia pindah melintasi negara ke sebuah pedesaan yang tampak sunyi. Hal yang membuatnya bosan setengah mati. Jiwa petualang membawanya pada sebuah ‘pertanian’ yang terletak di belakang rumahnya. Walaupun ia menganggap orang2 di pertanian tersebut aneh2 (karena tampak kuyu dan selalu memakai piyama), namun ia mendapatkan teman yang memang ia butuhkan, yaitu Shmuel.  Persahabatan ‘rahasia’ mereka terus berlanjut. Dan selama itu, Bruno selalu menganggap hidup di ‘pertanian’ seperti Shmuel sepertiya mengasyikkan, karena bisa bermain setiap saat (sama saja seperti image yang ingin dibentuk sang ayah pada anaknya di LIB). Sampai pada satu waktu ia mengetahui kebenaran bahwa itu adalah kamp buat Yahudi, yang merupakan musuh mereka dan seharusnya dijauhi. Namun, seperti quote pembuka, Bruno tidak memahami apa yang terjadi dan alasan yang melatarbelakangi. Ia tetap berteman dengan Shmuel dan membawa pertemanan itu ke level yang lebih tinggi. Namun dunia anak yang polos dan begitu murni terkadang tidak sejalan dengan kenyataan yang sebenarnya dibentuk oleh orang dewasa untuk dilegalkan terjadi. Ke-naifan Bruno untuk membantu mencari ayah Shmuel yang hilang di dalam kamp (yang pada kenyataannya sudah menjadi abu dan asap di cerobong pembantaian) malah membawanya pada pembuktian yang nyata ke hadapan orang dewasa (dalam hal ini orangtua dan pasukannya) bahwa apa yang sedang terjadi adalah hal yang seharusnya dengan sadar bisa dihindari. Walaupun inti cerita antara kedua film hampir sama, namun masing-masing memiliki sisi yang berbeda. Jika pada LIB, mudah saja bagi sang ayah (terutama) untuk melindungi anak dari mengetahui situasi sebenarnya karena usia anak yang memang masih balita, pada TBTSP sandiwara seperti itu tidak mempan terjadi. Walaupun sang ibu sudah berusaha untuk menghalangi Bruno, namun pada akhirnya ia tahu kenyataan (walau tidak sepenuhnya). Jika di LIB banyak sekali bittersweet-nya dan kental humornya (karena memang cerita menuntut begitu), di TBTSP jangan harapkan itu terjadi. Termehek-mehek deh lihat akhirnya duh(bagian termehek2nya sih sama aja dengan Life Is Beautifull)  
  
PS:    
  • Akting polos dan wajah lugu pemeran Shmuel bikin jatuh hati
  • Seneng denger lagu kebangsaan Jerman versi piano asli, biasanya denger kalo pembalap atau kesebelasan jerman menang pertandingan doang haha.
  • Music composernya James Horner (penting gak ya? Gak tau deh, tapi suka aja) 
 XOXO“Pencinta film tentang kehidupan”

No comments:

Post a Comment