Wednesday, July 17, 2013

THE FORGOTTEN



Dia masih berdiri tegak di hadapku. Tetap geming dengan kedua tangan terkepal di masing-masing sisi luar tubuhnya. Wajahnya sedari tadi memerah, menahan meledaknya amarah. Aku tahu pikirannya buncah.
Aku tahu pikiranku sangat buncah.

Dia masih berdiri tegak di hadapku. Tetap geming dengan kedua mata menyorot tajam, memberikan pesan tepat ke dua bola mataku. Bahkan dari jarak sejauh ini aku bisa mendengar jantungnya berdetak dengan kecepatan berkali lipat dari biasanya. Aku tahu dia tidak baik-baik saja.
Aku tahu aku jauh dari baik-baik saja.

Sungguh, suasana ini membuatku rikuh.
Aku menunduk. Dia memalingkan tatapannya dariku. Aku menghela napas. Dia mendengus.
Badannya mulai bergetar. Aku tahu, di antara kami harus ada kata terlontar.

Ya, suasana ini membuatku rikuh.

Kami kerap berada dalam posisi ini. Berhadapan, saling tatap, meski tak selamanya saling berbicara. Lain waktu kami duduk bersebelahan, saling memeluk berbagi hangat dalam diam. Biasanya kami tak perduli dengan sekeliling. Kami bisa menghabiskan waktu berjam-jam, sementara banyak orang yang berlalu-lalang di antara kami.

Tapi kali ini hanya ada aku dan dia. Dalam kamarku yang berukuran 5x6. Di ruang yang setiap sudutnya mulai dihapal olehnya di luar kepala.

Aku tersudut. Benar-benar berada di sudut. Sudut terjauh dari pintu kamarku. Ia benar-benar pandai menempatkanku di posisi yang sulit untuk dapat melarikan diri.

Ya, kali ini aku harus menghadapi kemarahannya. Aku tak mungkin melarikan diri darinya seperti kemarin. Saat aku mengambil keputusan menghilang darinya dan memilih menghabiskan waktu dengan kekasihku yang lain sampai larut malam. Saat di mana aku bahagia, dan dia tidak.

Dia marah aku tak lagi menghabiskan waktu hanya dengannya.
Dia terlalu ingin memilikiku. Dia terlalu ingin menguasaiku.
Dulu aku suka. Dulu, ketika aku merasa terlindungi olehnya.
Dulu, tidak sekarang. Ini harus diakhiri.

Dia tahu bahwa kali ini aku tidak akan menyerah.
Dia mulai terisak. Dadaku mulai sesak. Senjatanya kali ini tidak akan ampuh untuk memaksaku kembali.

I told you not to fall in love with me.

It’s hard not to fall in love with you.

Dimana sulitnya?

Ah, tak sadarkah kamu bahwa kita diciptakan untuk menjadi satu?

Kata siapa?

Tidak bisakah kamu meminta maaf alih-alih bertanya?

Maaf untuk apa?

BERHENTILAH BERTANYA!!!

Dia masih terisak. Kembali dia melangkah, semakin mendekat sembari mengulurkan tangannya menuju tanganku. Dia meminta peluk, sesuatu yang tak lagi mau kuberi. Perlahan aku bergerak ke belakang sebagai tanda penolakan. 

Dia terperangah. Aku pun heran dengan keberanianku menyakiti hatinya, yang sudah menemaniku selama ini. Andai dia tidak melangkah terlalu jauh, andai dia tidak menuntut lebih.

Jangan pergi lagi, katanya.

Aku menelan ludah dan perlahan berbicara dengan nada tegas namun dalam tempo perlahan. Walau bagaimanapun, untukku dia pernah menjadi si istimewa. Aku tidak akan pergi, jika pertanyaanku bisa terjawab olehmu. Apakah perjumpaan pertama kita bisa diulang? Kali ini tanpa menyertakan perasaan? Bisakah kita hanya saling menatap tanpa kamu membiarkan benakmu berusaha menyusupi hati dan pikiranku lalu berusaha menjatuhi cinta? Bisakah kita berpisah tanpa dendam dan berjanji segalanya akan tetap baik-baik saja?

Tubuhnya bergetar. Merah pada wajahnya bukan lagi amarah. Tapi merah menahan kesedihan yang begitu mendesak untuk dikeluarkan. 

Dia menatapku dengan bulat bola matanya, lalu menggeleng.
Oh, kuatlah. Kamu tahu bahwa cinta tak dapat dipaksakan. Aku mulai kehilangan kesabaran. Aku tak mau lagi tunduk.

Air mulai tergenang di bening matanya. Lamat dia berbicara. Jika begitu, bolehkah aku bertanya, bisakah aku tetap menjaga pikiran dan perasaanku sebagai sepasang asing setiap kita bertemu di titik awal raga kita bersua? Apakah kamu tega untuk mengusir bahagia yang berusaha menjadi pihak ketiga setiap kali kita berjumpa? Dalam setiap perbincangan tentang sinar mentari pagi yang menghangatkan atau senja merah yang bersemangat mengantarnya menuju peraduan? Apakah aku akan mampu menyimpan kenyataan bahwa aku menyurangi rindu dan tak mengakui bahwa mati-matian aku menahan diri untuk tidak memeriksa kabar terbarumu di satu hari nanti?

Cinta itu sejatinya adalah bukan mengenai keterpaksaan. Dan aku pun tak bisa memaksa hatiku untuk berpaling padamu. Aku harap kamu dapat memahami. Mungkin kamu pikir aku akan menyesal. Tapi kurasa tidak.

Sorot matanya mulai melemah, tubuhnya melunglai. Ingin rasanya aku takluk, dan kembali memeluknya sekali lagi. Namun aku teringat wajah kekasihku. Kebahagiaan yang akan kujelang dengannya nanti yang mendorongku berbuat ini. Aku geming.

Dia menunduk. Dari balik rambutnya yang tergerai, aku melihat getar bibir mungilnya mulai melafalkan aksara. Meski aku tahu aku mampu, rasanya aku tidak akan kuat saat melihatmu berjalan beriringan dengannya, tak lagi denganku. Aku yakin, pada saat itu mungkin pikiranmu akan menerawang jauh ke saat ini, berulang mengutuk keputusanmu, atau bahkan menghiba waktu untuk kembali dan memberikanmu keberanian untuk merubah semuanya. Kembalilah, kita mulai lagi dari awal. Isaknya kembali terdengar.

Tolong, beradalah di posisiku. Aku tetap akan meninggalkanmu. Meski aku harus mengambil risiko, bukan hati atau hidupku yang aku pertaruhkan dalam permainan ini. Aku menghela napas dan mulai membalikkan tubuhku. Aku pergi. Mulai saat ini, lupakan aku.

Dia terkesiap. Meski tahu aku tak lagi mengubah keputusanku, keterkejutannya begitu nampak. Dia berlari menabrak tubuhku dan mulai menjerit. 

Aku mengindahkannya, menutup telinga dan tetap melangkah.

Maaf, aku hanya ingin diriku bahagia, ucapku sembari meninggalkannya. Saat ini, untuk selamanya. Menuju bahagiaku, pria yang diam-diam tersenyum mesra dari dalam cermin.

***



1 comment: