Monday, February 21, 2011

MENGGAGAS PENDIDIKAN BAGI SISWA CIBI


Pada September 2000, Pemerintah Indonesia, bersama-sama dengan 189 negara lain, berkumpul untuk menghadiri Pertemuan Puncak Milenium di New York dan menandatangani Deklarasi Milenium. Deklarasi berisi sebagai komitmen negara masing-masing dan komunitas internasional untuk mencapai 8 buah sasaran pembangunan dalam Milenium ini (MDG), sebagai satu paket tujuan terukur untuk pembangunan dan pengentasan kemiskinan. Salah satu kesepakatan yang ditetapkan adalah komitmen dari pemimpin-pemimpin dunia untuk menjamin semua anak untuk menyelesaikan pendidikan dasarnya pada tahun 2015.

Memastikan bahwa setiap anak mendapatkan pendidikan dasar yang baik dan mendapatkan pengetahuan, keterampilan, dan kualifikasi yang menjadi bekal untuk meraih kesuksesan di masa depan adalah hak bagi setiap anak dan juga kewajiban Negara untuk meraih kesuksesan bagi negara dan masyarakat. Bagaimanapun, dewasa ini kita menghadapi tantangan baru. Proyeksi dari masa depan memperlihatkan tuntutan keterampilan yang lebih tinggi semakin meningkat, dimana orang yang memiliki skill yang rendah akan sulit mendapatkan pekerjaan, dan sebaliknya jika ia memiliki kualifikasi dan keterampilan yang baik. Perubahan lingkungan global akan mempersyaratkan kreativitas dan adaptibilitas yang tak terhingga. Tantangan bagi sistem pendidikan adalah jelas, bahwa pendidikan harus dipersiapkan bagi setiap anak agar mereka dapat sukses dalam hidup, mengembangkan keterampilan, pengetahuan, dan pemahaman yang lebih luas yang mereka perlukan untuk menghadapi tantangan masa depan.


Globalisasi memberikan dampak pada keberagaman masyarakat, membawa banyak manfaat dan kesempatan kreatif bagi negara dan masyarakat, tapi juga membawa tantangan baru termasuk perubahan iklim dan tantangn belajar untuk hidup dengan seimbang. Kita harus memfasilitasi anak kita agar bias sukses dalam dunia yang terus berubah. Penelitian menunjukkan bahwa sistem pendidikan semakin memperhatikan kebutuhan siswa, namun tantangan selalu berkembang. Diprediksi bahwa permintaan terhadap high-level skills, pengetahuan dan pemahaman akan terus meningkat. Sehingga bekal pengetahuan yang diberikan tidak lagi sebatas pengetahuan mengenai literacy dan numerical, namun juga penting mempersiapkan mereka dengan learning and thinking skills, termasuk kemampuan untuk berpikir secara analitis dan kreatif, belajar secara mendalam, menjadi seseorang yang aktif, dapat bekerjasama dengan orang lain dalam tim, dan mampu memanage.

Kemampuan mengantisipasi masa depan dengan berbagai alternatif untuk mengatasi permasalahannya menjadi sangat penting untuk diperhatikan dalam proses pengasuhan dan pendidikan anak. Situasi ini tidak hanya merupakan masalah keluarga, melainkan juga seluruh pendukung proses pendidikan anak, yaitu masyarakat, bangsa dan negara. Padahal era abad 21 memerlukan manusia Indonesia yang tangguh, yang harus menampilkan tingkah laku yang diwarnai dengan etos kerja, prestatif, religius, peka terhadap lingkungan, inovatif dan mandiri. Untuk dapat memecahkan permasalahan dituntut adanya critical thinking dan creative & innovative skill. Tentu saja untuk mencapai kondisi ini perlu dipupuk semenjak dini agar memperoleh bekal yang memadai.

Masalah pendidikan anak yang mewarnai abad 21 perlu disikapi sungguh-sungguh sejak sekarang. Bekal untuk anak agar bisa tumbuh dan berkembang sebagai sosok pribadi yang sehat jasmani dan rohani, tangguh dan mandiri serta mampu beradaptasi dalam era globalisasi ini menjadi semakin perlu diperhatikan kualitasnya. Kondisi abad 21 yang memberi peluang besar bagi bangsa-bangsa di dunia untuk saling berinteraksi, sekaligus membawa ke suasana kompetisi atau persaingan yang semakin ketat dalam memperoleh kesempatan untuk mengisi kehidupan dan membuatnya menjadi bermakna (bisa sekolah, bisa bekerja dan mencari nafkah, dan sebagainya). Pentingnya pendidikan dasar ini disadari harus bisa dinikmati oleh semua anak di Indonesia secara merata, baik dari segi demografis maupun kondisi, termasuk anak yang memiliki kekhususan.

Insititusi pendidikan (baik pendidikan dasar, menengah, maupun tinggi) memiliki tanggung jawab dalam mendidik siswa untuk menjadi warga negara dan pemimpin yang bertanggung jawab yang mempergunakan pendidikan dan pengalaman hidup mereka untuk mensupport perkembangan yang baik. Pendidikan ini tanpa terkecuali, bahkan bagi anak-anak yang membutuhkan pendidikan khusus sekalipun, termasuk siswa CIBI (Cerdas Istimewa Berbakat istimewa - gifted/talented). Para profesional mengidentifikasikan bahwa anak cerdas istimewa mampu mencapai prestasi tinggi, karena mereka memiliki kemampuan-kemampuan unggul. Anak-anak tersebut memerlukan program pendidikan yang berdiferensiasi dan pelayanan di luar jangkauan program sekolah biasa, agar dapat merealisasikan sumbangan mereka terhadap masyarakat maupun terhadap diri sendiri.

Ada keprihatinan yang lebih tinggi tentang menyediakan situasi belajar yang memadai bagi siswa berbakat di Indonesia. Mengingat bahwa anak berbakat merupakan anak yang mempunyai kelebihan dan kemampuan yang berbeda dari anak sebayanya, maka mereka harus mendapatkan pelayanan yang berbeda dari pelayanan yang diberikan kepada anak yang tidak berbakat agar potensi mereka bisa berkembang maksimal (Munandar, 2004). Siswa CIBI memerlukan pendidikan holistik yang dapat memberikan persiapan kepada mereka untuk bisa berperan sebagai warga Negara yang baik di abad 21 yang akan datang. Banyak literatur mengenai gifted & talented (siswa CIBI) mengindikasikan bahwa secara umum ada 2 tujuan pentingnya pendidikan khusus bagi anak-anak potensial ini. Yang pertama adalah untuk menyediakan kesempatan perkembangan kognitif dan self-fulfillment yang maksimal bagi mereka. Yang kedua adalah kesadaran bahwa anak-anak ini akan membantu memecahkan permasalahan masyarakat dengan menciptakan pengetahuan dan seni dibandingkan hanya mempergunakan informasi yang sudah ada dengan pemikiran kreatif yang mereka miliki.
Kondisi pendidikan anak berbakat atau talented di Indonesia :
1. Belum adanya lembaga khusus
2. Belum adanya kurikulum khusus
3. Pembelajaran berfokus pada daya serap materi
4. Subsidi pemerintah sangat terbatas

Pendidikan anak cerdas istimewa (gifted children) saat ini yang dikenal di Indonesia hanyalah kelas akselerasi, padahal sementara itu pendidikan model ini secara ilmiah sudah tidak disarankan lagi, karena terbukti justru tidak memperhatikan faktor kreativitas berpikir serta perkembangan sosial emosional seorang anak cerdas istimewa. Karakteristik personalitas dan pola tumbuh kembang alamiah seorang anak cerdas istimewa masih tidak dipahami secara luas, sehingga berbagai kesulitan perkembangan seorang anak gifted tidak pernah dikenal oleh pihak-pihak yang seharusnya menyantuninya, terutama pihak sekolah. Sehingga anak-anak cerdas istimewa justru tidak diterima oleh institusi pendidikan karena dianggap sebagai anak bermasalah. Sekalipun itu adalah kelas akselerasi.

Pada prakteknya, banyak guru yang salah kaprah dalam melaksanakan kelas akselerasi ini. Siswa seperti di drill dan terus menerus di cekoki dengan pengetahuan-pengetahuan tanpa diberikan kesempatan yang banyak untuk mempraktekkan pengetahuan yang telah ia serap tersebut. Dengan begitu kelas akselerasi pada akhirnya sebagai kelas anak cerdas istimewa tanpa murid cerdas istimewa, umumnya berisi anak cerdas normal yang mempunyai gaya belajar yang cocok dengan program yang ditekankan, yaitu pemampatan materi. Sementara itu anak-anak cerdas istimewa adalah seorang anak yang sangat mandiri, didaktif, kreatif berpikir analisis, tidak dapat ditekan apalagi dilakukan drilling harus cepat-cepet selesai. Bagi siswa gifted, situasi ini terkadang menjadi siksaan. Kondisi ini dapat melumpuhkan rasa ingin tahu alamiah anak, merusak motivasi, harga diri, dan bahkan kreativitas anak. Padahal critical thinking dan kreativitas ini adalah salah satu potensi kuat yang ada pada siswa CIBI. Jika kreativitas ini dimatikan, tentu saja akan berimbas pada creative productivity skill dalam menghadapi permasalahan, dan nantinya, tantangan di abad 21.

Berbakat dan tidak anak-anak berbakat memiliki kebutuhan yang berbeda, bakat, dan kemampuan akademik yang, jika tidak dikelola dengan baik, akan mengarah ke masalah psikologis (Moore, 2005; NAGC, 2005). Moore (2005) Kingore's (2001) dan (1997) studi Richert's mencatat beberapa masalah perilaku anak-anak berbakat sebagai konsekuensi menempatkan mereka pada kelas yang sama dengan siswa rata-rata, kebosanan seperti 'dengan kurikulum tingkat-kelas, ledakan perilaku yang tidak pantas atau reaksi, ceroboh kerja, menuntut orang tua mereka dan perhatian guru, menuntut siswa lainnya, tidak pengertian orang lain kebutuhan / keinginan, dan transisi kesulitan dari satu hal ke yang berikutnya pada hari sekolah. Asosiasi Nasional anak berbakat dari United State of America juga menyatakan bahwa anak-anak berbakat mungkin menderita kebosanan dari belajar berulang-ulang di kelas heterogen (NAGC, 2005). Lambert (2005), selanjutnya, berpendapat bahwa siswa CIBI mungkin mengalami frustrasi, benar-benar tertarik dan putus ketika mereka tidak diobati dengan benar. pada prinsipnya, anak berbakat harus disediakan situasi pembelajaran yang tepat untuk memenuhi kebutuhan unik mereka. Dengan memperhatikan karakteristik anak gifted ini maka akan terjadi penuntutan agar sistem pendidikan, keluarga, dan lingkungan dapat memberikan dukungan yang baik dan mengupayakan agar anak didik dapat mencapai prestasi istimewanya, sehingga diharapkan tidak akan terjadi adanya kondisi prestasi rendah (underachiever) dari seorang siswa CIBI. Siswa CIBI harus diberikan kesempatan belajar semua bidang keterampilan di sekolah, dan banyak anak memperoleh keterampilan kreatif melalui model-model berpikir dan bekerja kreatif, berorientasi terhadap otonomi anak menggunakan pendekatan memberikan gagasan, saran, dan bimbingan, tetapi tidak memberikan jawaban dan petunjuk eksplisit – dan hasilnya anak-anak sangat kreatif. Guru banyak memberikan kesempatan anak untuk mencari informasi dengan menyediakan alat Bantu atau supporting material dan sumber pencarian materi dan dorongan kepada anak untuk bekerja bersama bila mungkin dan perlu, tetapi ia menekankan bahwa setiap anak mempunyai bakat dan kekuatannya sendiri-sendiri sehingga anak bisa mengembangkan keterampilan kreatifnya tanpa terkungkung oleh instruksi atau batasan-batasan yang ada.

Seperti yang sudah diungkapkan bahwa di abad 21, semua siswa perlu belajar untuk berpikir secara kritis, untuk menjadi problem-solvers, menjadi creative producers dari pengetahuan. Dalam kenyataannya banyak pendidik dan guru yang merasa tertekan terhadap keharusan memenuhi standar keberhasilan, sehingga tak jarang siswa dipaksa atau dijejali oleh pengetahuan secara pasif, dibandingkan dirangsang untuk berpikir atau memproduksi pengetahuan sendiri. Begitu pula yang diberlakukan pada anak-anak gifted/berbakat. Sangat disayangkan bila anak-anak berbakat seperti diatas dalam masa-masa pertumbuhan intelektualnya tidak mendapatkan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan dan tantangan yang memadai. Bukankah ini merupakan sebuah kerugian besar bagi anak-anak itu sendiri dan bagi masyarakat yang kelak akan mendapatkan manfaat dari kontribusi hidup mereka? Tidak pernah disadari bahwa semakin tinggi kecerdasan seorang anak ia akan mempunyai cara berpikir (cognitive style) yang berbeda dengan anak-anak normal sehingga ia membutuhkan ruang gerak leluasa untuk mengembangkan apa yang menjadi minatnya. Ia membutuhkan pendidikan bersama teman-teman sebayanya dalam kelas-kelas sekolah normal, dengan perhatian ektra ke dua arah yaitu kecerdasannya yang istimewa dan juga berbagai kesulitan tumbuh kembangnya.

Sementara itu memperjuangkan pendidikan anak-anak dengan kecerdasan istimewa (siswa CIBI) bukanlah hal mudah. Hal ini karena berbagai komponen baik masyarakat, orang tua, dan pihak sekolah masih tidak memahami apa yang disebut anak cerdas istimewa (gifted children).Anak berbakat merupakan kekayaan masyarakat yang memerlukan pendidikan yang berbeda dari anak lain. Menurut John Fredrich Feldhusen (1985a) menyebutkan, perlunya anak berbakat intelektual diberi pendidikan khusus dengan alasan kebutuhan aktualisasi diri. Penulis mengutip kesimpulan pandangan Barbara Clark (1983) menyebutkan beberapa alasan siswa CIBI membutuhkan pendidikan khusus :
1. Keberbakatan muncul dari proses interaktif dimana tantangan dari ransangan lingkungan membawa keluar kapasitas yang dimiliki diri sendiri dan memprosesnya.
2. Anak berbakat dapat segera menemukan gagasan dan minat mereka yang berbeda dari anak sebayanya.
3. Kontribusi anak berbakat pada masyarakat berada pada seluruh aspek kehidupan, dan proporsional di dalam keseluruhan.

Bukanlah hal yang mudah bagi guru untuk menyediakan lingkungan belajar yang dapat mengakomodasi setiap kebutuhan siswa dan dapat sesuai dengan level tantangan yang dimiliki masing-masing siswa. Anak-anak ini membutuhkan diferensiasi program dan layanan pendidikan yang berbeda dari program dan layanan normal lainnya yang disediakan oleh program sekolah umum dengan tujuan agar mereka mampu menyadari kontribusi yang bisa mereka berikan untuk diri mereka sendiri dan juga untuk masyarakat. Sedangkan jika tidak, maka kondisi yang telah dipaparkan diatas mungkin akan semakin marak terjadi pada siswa CIBI. Dengan memperhatikan hal tersebut maka penting bagi para pihak yang terkait untuk duduk bersama merancang suatu program pengelolaan siswa CIBI dengan memperhatikan karakteristik dan kebutuhan siswa CIBI tersebut agar mereka dapat memperoleh hak mereka dalam pendidikan dan dapat berkembang secara optimal dalam menghadapi tantangan di masa mendatang.

No comments:

Post a Comment