Thursday, February 7, 2013

Suatu Pagi di Dapur Kami



For the Home


“Berapa umurku? Setua apa aku bagimu?”
Dia duduk di hadapanku. Wajahnya tersembunyi dalam geraian rambut bergelombangnya yang lolos dari ikatan. Dua helai rambut putih ikut berkilau di antaranya. Secangkir teh vanilla yang masih mengepulkan asap perlahan ia jauhkan dari bibirnya yang tak lagi berwarna merah muda meski masih bervolume penuh.
Aku menatap sekerat kue tart sisa semalam yang belum juga ia sentuh sedari tadi.
“Tepat pukul dua belas malam tadi kamu menambah satu umurmu menjadi 41. Ya, jauh lebih tua dariku.”
”Dan itu mengganggumu?” Dia kembali bertanya. Kemudian mengarahkan matanya keluar jendela dapur. Lurus menatap deretan bunga yang tumbuh di halaman belakang rumah kami. Sinar matahari pukul setengah tujuh pagi sekelebat menjadi lebih terik dan menyilaukan matanya. Ia mengerjap. Ada kilatan bening di iris matanya.
Aku tahu ia menginginkan jawaban jujur dari mulutku. “Tidak. Haruskah?” Aku menyondongkan tubuh ke arahnya, mengarahkan wajahnya untuk menatapku. Dan membelai lembut lengannya mungkin akan menambah keyakinan bahwa aku berkata jujur.
“Tidak. Tentu saja tidak. Tapi lihatlah kulitku. Bukankah ia semakin mengeriput? Perhatikan juga kantong mataku yang kini menggelanyut. Perlahan orang-orang akan semakin menyadari perbedaan kita. Dan mereka akan menyangka aku mbakyumu, bahkan mungkin tantemu.”
Aku mendesah. Kutatap matanya yang terlihat lelah dan menarik bibirku membentuk senyuman.
“Lalu apa perduliku? Bagiku kamu tak terlihat tua sama sekali. Masih ada jiwa mudamu. Meski kadang kamu tampak tidak memakai otak yang ada di kepalamu dan mulai mempertanyakan hal-hal yang tak semestinya kamu perdulikan.”
I told you not to fall in love with me.”
“But I was too stubborn.”
“Cukup keras kepala untuk menikahiku.”
“Salahmu karena telah membuat aku takluk. Dan sekarang kamu harus mau hidup denganku. Selamanya.”
“Selamanya?”
“Kupikir kamu meyakini, bahwa tak ada jeda usia dan durasi dalam cinta sejati.”
“Meski hanya berdua? Meski aku mungkin tak mampu memberi anak apalagi cucu kepadamu?” Ia mulai memotong-motong kue di piringnya dengan sendok. Tanpa menyuapkan ke mulutnya. Ia sedang gelisah. Aku mengangkat dagunya dari piring kue yang sedang ditatapnya.
“Jika memang itu tidak terjadi, lalu apa yang kamu mau aku lakukan? Meninggalkanmu? Pergi kemana otak warasku?”
“Otak warasmu hilang lima tahun lalu saat kamu melamarku.”
“Mungkin karena waktu itu aku bocah lelaki berumur duapuluh tiga tahun yang masih ingusan.”
“Bocah ingusan yang mungkin menderita Oedipus Complex.” Ia menyubit hidungku. Kegiatan kesukaannya yang membuat aku ketagihan.
“Jika begitu, jangan biarkan aku bertemu tuan Freud. Bahkan dalam mimpi.”
Dia tertawa. Sangat cantik, meski dalam usianya yang tak lagi muda. Meski dalam kondisinya semenjak kecelakaan lalu lintas lebih dari setahun lalu. Aku masih mencintainya.
Ia menyesap tehnya perlahan. Lalu bertanya, “Haruskah kita kembali ke kamar tidur?”
Aku meneguk tetesan terakhir kopi dalam cangkirku.
“Jika itu yang kamu mau. Kita masih punya setengah jam untuk bersiap ke kantor.” Aku berbisik di telinganya.
Perlahan jemariku melucuti jubah tidur dari tubuhnya yang masih terduduk. Kuangkat tubuhnya dari kursi roda dan kugendong ke kamar.
Aku berharap usaha kami untuk mendapatkan buah hati pagi ini tidak sia-sia.
---

3 comments:

  1. Cerpen ini keren... Saya senang membacanya! Terima kasih sudah menuliskannya... :D

    Terus semangat berkarya!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih. Senang Kak Bintang menikmati ceritanya. Mari, terus semangat berkarya. :')

      Delete
  2. Hai... Kadang2 suka nulis fiksi juga tapi masih belajar. :) Terima kasih sudah menjenguk blog ini. Aku sudah lihat blog Mimin, menarik. InshaAllah ada kesempatan untuk ikutan. semangat! :')

    ReplyDelete