Monday, March 26, 2012

SEMANGKOK BASO TAHU


taken from bistip.com


Senja hari. Ribut-ribut lagi. Disusul oleh isak tangis Ibu. 

Sudah seminggu ini suruhan Bos besar datang ke gubuk kami. Menyuruh kami pergi  dari lahan miliknya di sudut kota Kembang. Lahan yang dipinjamkan oleh ayahnya kepada ayahku berpuluh tahun lalu, sebelum aku lahir. Lahan yang telah berhasil membuat kami sekeluarga bertahan hidup. Tidur, dan menjalankan usaha sehari-hari.

Sekarang Ayah sudah tiada. Hanya tinggal aku dan Rayi, adik lelakiku yang masih SD. Dan sebuah gerobak Baso Tahu.

Ibu masih terisak. Sambil membereskan piring kotor bekas jualan, tangan keriputnya menyeka air mata. Aku yang memperhatikan semua kejadian itu dari balik rimbun pohon tak kuasa ikut menangis. 

Jadi ini akhirnya? Jika benar lahan ini akan dipakai untuk usaha pujasera oleh Bos, lalu kami akan tinggal di mana? Lalu sekolahku dengan ujian kelulusan yang di depan mata akan bagaimana? Dengan gemetar aku menatap amplop teguran dari sekolahku. Sudah 2 bulan aku menunggak uang SPP.

Tuhan, apa yang harus aku lakukan. Andaikan Ayah masih hidup. Meski beliau hanya buruh lepas, tapi tentu ia akan berusaha keras agar kami terlepas dari beban hidup ini. Ayah tentu akan berusaha menjelaskan kepada Bos mengenai keadaan kami, dan mencari jalan keluarnya.

Aku terduduk lemas. Apakah mungkin? Ya, tentu saja. Aku harus berusaha untuk menemui Bos dan meminta bantuannya.

*
Malam itu aku menghampiri Ibu.

“Bu, tolong bikinkan aku semangkok Baso Tahu yang paling enak. Besok pagi akan aku antar ke rumah Pak Bos.”

“Untuk apa, Raya?” wajah ibu diliputi tanya .

“Ibu, ini usaha terakhir kita. Siapa tahu kita bisa ikut berjualan di Pujasera miliknya,” kataku berapi-api.

Akhirnya dalam beberapa malam ini, aku bisa melihat ibu menyunggingkan senyum lagi.

*

Pagi-pagi sebelum ke sekolah, aku mengantarkan semangkok baso tahu ke kediaman Pak Bos tak jauh dari rumah kami.

Bos besar sudah pergi ke kantor. Istrinya yang menyambutku. Dengan cemoohan, ia membanting mangkok.
 “Tak sudi kami makan makanan kampung seperti ini! Cepat pergi, kamu membuat kami terlambat sampai di bandara!” bentaknya sambil menyeret koper besar.

Aku geram. Sekuat tenanga aku lari ke makam ayah. Aku mengadu di sana. Sebagai anak tertua apa yang bisa aku lakukan? Aku benci pada diriku. Saat Ibu begitu membutuhkanku, aku kelu.

Siang menjelang sore aku pulang. Ibu menyambutku dengan harap.
“Bagaimana, Bos besar suka?”

Dengan menyunggingkan senyum selebar mungkin aku menjawab, “Tentu saja, Bu! Istrinya memuji Baso Tahu buatan Ibu. Bahkan sore ini Bos minta diantarkan satu mangkok lagi.”

Aku menggigit lidahku. Maafkan atas kebohonganku, Bu. Tapi ini mungkin langkah terakhir.

*
Senja hari sehabis mandi, aku mengantarkan semangkok Baso Tahu lagi kepada Bos besar. Bukan ke rumahnya, tapi ke kantornya.

Aku mematut diriku di cermin. Aku cantik. Tubuhku molek. Aku pakai baju terbagus yang aku miliki. Aku yakin, Bos besar tidak akan mampu menolak semangkok Baso Tahu yang aku bawa, bersama diriku yang masih belia. Aku akan menemani dia menikmati semangkok Baso Tahu hangat. Saat istrinya sedang tidak ada.

No comments:

Post a Comment