Sunday, April 15, 2012

KECUP


“Jadi, kamu akan pergi sekarang?” tanyaku pada sosok di samping tempat tidurku.

Seperti sebelumnya, dikedatangan kedua kali ini ia pun tidak berlama-lama tinggal.
Dia mendaratkan kecupan di keningku. Lembut.

“Hati-hati ya, kamu. Jaga kondisimu agar cepat sembuh.” Hanya itu. Ia memegang jemariku sambil tersenyum kecil. 

Aku mengangguk. Hanya mengangguk.
Seperti biasa, dia menghipnotisku. Dengan katanya dan sentuhannya yang lembut. Kesedihan yang sangat kental menggelayuti matanya. Meski ia tersenyum. Ada apa? Apa yang ada di benaknya? Apakah ia tidak suka menemuiku? Tapi aku suka.

Aku mendesah. Lalu melanjutkan tidurku di malam buta. Nyenyak, dihiasi mimpi tentangnya. Aku tak mendengar suara keributan dari ruang sebelah, tak lama setelah ia pergi.

*

Aku menjadi begitu terobsesi. Ya, obsesi. Tak seharipun benakku luput dari merangkai imaji tentang dia. Padahal ini baru persuaan kedua. Apakah ini? Ah, tapi ini tidak semestinya!

Aku tersenyum. Kembali mengingat perjumpaan pertama kami.
Saat itu ia begitu tergesa memasuki ruanganku. Oh, akhirnya ada yang menjenguk, pekik hatiku. Namun keterkejutannya yang sangat memupuskan harapan, bahwa ia datang untuk aku.

“Maaf, sepertinya saya salah tempat,” ia berkata sambil berdiri mematung. Matanya yang sendu melumat seluruh kesadaranku. 

Aku pikir ia akan segera berbalik menuju pintu. Tidak bisa, ia harus datang untuk aku! Dan kucoba untuk menahannya, sebelum ia membalikkan badan.

“Tunggu! Bagaimana Anda tahu bahwa Anda salah tempat?” tanyaku dengan nafas memburu.

Anehnya ia tetap mematung. Tidak bergegas pergi seperti perkiraanku.
Ia mendekatiku. Dekat, hingga ia berdiri di samping tempat dudukku. Tatapannya tertumbuk pada gambar yang sedang aku buat. 

“Ada apa?” tanyaku berusaha menyembunyikan gambar tersebut. Tapi badanku yang lemah tidak bisa menolak uluran tangannya yang tampak memaksa. 

Ia meraih kertas berisi goresan jariku. Memperhatikannya. Meraba sosok dalam gambar lalu meletakkan kembali kertas itu. Begitu saja. Tidak ada perkataan apapun.

Aku heran. Terlebih saat ia meraih tanganku dan menatap tajam. Perlahan ia mendekati wajahku. Aroma tubuhnya yang harum dan desah nafasnya yang sedikit memburu begitu terasa.

“Yakinlah, semua masih baik-baik saja. Setidaknya saat ini. Sekarang bukan waktumu. Istirahatlah.”

Dan tiba-tiba, ia mengecup keningku. Aku membeku. Bahkan lama setelah ia menghilang di balik pintu.

Aku meraih gambar yang aku buat. Aku tertegun, sosok dalam gambarku itu serupa sekali dengan dia.

Sedetik kemudian aku mendengar suara tangis dari ruang sebelah.

*

Aku selalu menyukai angka 8. Dan juga 3.
Delapan adalah angka sempurna. Dan aku suka angka tiga bukan karena mereka tampak serupa. Aku hanya suka. The best come from 3, some say. Maybe.

Dan kali ini aku lebih mengharapkan angka tiga. Ya, aku tidak sabar menunggu ketiga kalinya aku bertemu dia.

Aku masih ingat perjumpaan terakhir kami. Tiba- tiba saja ia membuka pintu menjelang malam. Ia melangkah mendekati tempatku berbaring.

Lembut ia menyentuh kepalaku. “Apa rasanya?” tiba-tiba ia bertanya.

“Aku sudah terbiasa,” senyumku. Berharap tangannya tetap di kepalaku.

“Kamu hebat. Sudah berapa lama di sini?”

Aku menyebutkan sejumlah angka. Dia tersenyum.

“Buku apa yang sedang kau baca?”, matanya melirik buku yang terbuka di sampingku.
VIRGIN SUICIDE.

“Kau suka kisah seperti ini? Kompleks”, ucapnya sambil meraih buku. Tubuhnya melintasi tubuhku. Semerbak harum yang tetap sama. Tak hanya pada tubuhku, kehangatan semerta menjalari seluruh ruangan.

Sebagian tubuh kami bersinggungan. Seperti disadarkan bahwa mungkin aku merasa sakit, tiba-tiba ia menarik tubuhnya dan menatapku lekat.
“Saya senang, kamu punya banyak kegiatan yang bisa menghiburmu. Lakukanlah, selama itu tidak membuat kamu kelelahan. Maaf, saya harus pergi,” perlahan ia beranjak dari sisiku. 

“Jadi, kamu akan pergi sekarang?” Aku sungguh berharap ia akan tinggal lebih lama kali ini. Tapi tidak.
Dia tak menjawab. Hanya mendaratkan kecupan di keningku. Lembut. Dengan anggun ia menuju pintu. Meninggalkanku sendiri.

Ya, kecupan itu.
Mungkin itu yang membuat aku begitu merindunya. Bahkan saat ini, saat aku merasakan kelemahan yang sangat.

Mama sudah 2 hari ini tidur menemaniku di tempat yang sudah kuanggap rumah ini. Begitu pula Frasya. Mereka mencoba menghiburku. Tapi tetap, hanya dia yang mungkin bisa membuatku bersemangat kembali.

Aku tersenyum ke arah sangkar di meja, dua kupu-kupu yang diberikan Frasya. Akan aku tunjukkan padanya saat ia datang.

21.30. 
Badanku semakin lemah. Aku perlu kamu. Datanglah. Perlahan mataku terasa basah.

Mama memegang jariku. Frasya tetap berusaha membuatku tersenyum dengan senyumannya yang lebar. Papa sibuk berbicara dengan pria berjas putih.

Tiba-tiba aku mencium aroma yang sangat kukenal.
Dia.
Ia hanya berdiri di pintu.
Cepat hampiri aku. Aku memandangnya dengan tatapan memohon.
Ia tetap bergeming. Tangannya mengepal dengan kuat.
Kepalanya menggeleng.
Samar aku membaca gerak bibirnya, “Maafkan aku.”

Secepat kilat ia sudah berada di hadapanku. Lembut ia mendekatkan wajahnya. Bukan kehangatan yang kurasakan. Seluruh ruangan terasa begitu dingin menusuk.

“Tenanglah, ini tidak akan sakit.” Lembut ia mendaratkan kecupan. Kali ini di bibirku. Cukup lama. Dan aku suka. Ketakutan yang aku suka.

Aku merasakan tubuhku tertarik dengan ringan. Ia meraih jemariku. Perlahan tubuhku terangkat.

“Sekarang waktumu untuk ikut denganku. Siap?” tanyanya.

Aku mengangguk. Sebelum aku menengok ke bawah, dimana Mama, Papa, Frasya, dan lainnya memeluk tubuh dinginku sambil meneteskan airmata.


Angel of death.jpg

*

__story of Aqeela : Kupu-kupu yang manis__
KISAH KUPU-KUPU YANG LUCU http://auntybety.blogspot.com/2012/03/kisah-kupu-kupu-yang-lucu.html?spref=tw

No comments:

Post a Comment