Sunday, April 1, 2012

SELAMAT ULANG TAHUN, KAMU


sketch by Bety Oktarina


1 April 2012. 

3 tahun. Sore ini.
Seharusnya ia sudah masuk Playgroup. Belajar bersosialisasi dan berbagi bersama anak sebayanya. Mendengarkan guru-gurunya bercerita sambil tertawa terkekeh. 

Sekarang.   
Seharusnya ia sedang bermain di istana pasir bersama teman-temannya. Berebut menaiki jungkat jangkit dan ayunan di taman sekitar kompleks di sore hari. Atau mungkin sedang tidur setelah merengek dibuatkan susu olehku.

Seharusnya.
Dia sedang aku peluk dengan damai. Saling berbagi wangi di tengah gelungan tubuh di atas ranjang. Memaksa aku untuk menyanyikan lagu pengantar tidur siang. Dan sebuah atau beberapa boneka untuk menemani sampai ia terlelap.

Damai.
3 tahun. Anak itu. Seharusnya sedang apa ia sekarang?

*

Pagi. Nopember 2008. 

Akhirnya tonjolan dalam perutku tak lagi malu-malu menunjukkan keberadaannya.

“Sudah 4. Ini sudah 4 bulan lebih! Oh Tuhan…..” jerit Mama tak tertahankan.

Aku menangis. Tanpa suara. Aku sudah tidak sanggup. Aku hanya terpekur menatap lantai. Papa bahkan tidak sudi lagi melihatku. 

Petra memandang nanar ke arahku. Satu tangannya masih memeluk Mama. Aku tahu apa yang ada di pikirannya. Aku tak lebih dari sampah yang sama sekali tak pantas menjadi contoh bagi adiknya.

Papa mengepalkan tangannya. Aku tahu apa yang ia harap mampu untuk lakukan. Memukulku sekeras-kerasnya. Tapi sekali lagi, Papa hanya diam. Diam yang mampu membunuhku.

“Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan, Padma. Tinggalkan lelaki itu. Dan enyahkan dia,” telunjuk papa tajam menusuk perutku.

“Semoga Tuhan memaafkanmu. Semoga Tuhan memaafkanku.” Dengan langkah tak lagi tenang, Papa yang berbalut seragam meninggalkan kami.

Petra membopong tubuh Mama masuk ke dalam kamar.

Dan Mbok Sur dan Pak Kijan tergopoh memapah tubuhku memasuki mobil. Aku tahu aku akan dibawa kemana.
             

*

Siang hari. Nopember 2008.

Aku menahan sakit. Sumpah, ini sakit. Bukan memikirkan aku. Tapi dia. Dia yang dipaksa untuk keluar dari tubuhku. Dia yang selama ini aku jaga. Dia yang selama ini aku sembunyikan di tempat yang ternyaman. Dia yang menjadi penguat aku bertahan. Sekarang ia menjerit. Aku bisa mendengar raungannya.

“Bunda!!! Tolong aku. Apa yang mereka lakukan dengan rumahku, Bunda? Mereka mengusir aku. Mereka berusaha menggusur aku. Aku akan dibawa kemana, Bunda? Bunda, hentikan ini. Sakit, Bunda. Sakit!”

Aku hanya menjerit. Seiring tangan kasar mengurut perutku. 
Maafkan Bunda, Nak. Maafkan.

*

Malam. Oktober 2008.

“Kamu harus bertanggung jawab, Krisna! Kita harus bertanggung jawab!” erangku memegang tangannya.

“Tanggung jawab apa, Heh???” matanya melotot ke arahku. Tidak ada lagi panggilan sayang. Tidak ada lagi tatapan mesra dari matanya.

“Ya. Kita akan sama-sama menghadap Papa. Kita akan bicara baik-baik,” bujukku meyakinkannya.

“Sialan! Harusnya kamu minum pil yang aku berikan bulan lalu. Nggak akan begini jadinya. Kamu pikir aku bodoh? Mengakui kepada Papamu sama aja bunuh diri!”

“Krisna! Itu sama saja dosa,” isakku.

“Dosa? Lalu yang kita lakukan waktu itu apa? Perbuatan suci? Heh, dengar ya. Aku nggak mau jadi orang tolol. Lagian nggak ada bukti kan kalau itu anakku?” tertawa Krisna meninggalkanku. 

"Aku masih punya mimpi yang lebih bagus daripada memiliki anak si usia muda, Padma. Ingat itu!" teriaknya.

Dan Krisna tak pernah kembali lagi.

*

April 2012.

“Selamat ulang tahun kamu.” 

Pedih aku membayangkan dirinya. Seperti apa rupanya? Apakah dia lelaki atau perempuan. Apakah wajahnya seelok Krisna? 

Rasa sesak tetiba menyergap. Aku bahkan tidak tahu dimana kuburnya.

Aku mengelus perutku.
Samar terdengar suara mendesis.

“Bunda, aku senang tinggal di sini, ini rumah yang nyaman sekali. Terima kasih atas kado ulang tahunnya. Terima kasih, Bunda.”

*

No comments:

Post a Comment